KETENTUAN KEPAILITAN DAN LIKUIDASI PERUSAHAAN DALAM UU NO.37/2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
Main Article Content
Abstract
ABSTRACT
In "Article 1131 of the Civil Code, it is explained that all the property of the debtor, whether movable or immovable, whether existing or new, will be there in the future, will be borne for all individual improvements." Apart from that, in "Article 1132 of the civil law code it is also explained that these objects are a mutual guarantee for everyone who will know the existence and income from the sale of objects from each body except when the creditors have reasons that can come first." In general, it is not necessary to prove that the debtor is unable to make payments on his debt for a status as bankrupt, and it is irrelevant whether the debtor stops making payments because he is unable or does not want to do so. Because the circumstances of the debtor are shown in a straightforward manner, courts in cases related to bankruptcy are not required to follow the systematics for proving civil procedural law. The author emphasizes that creditors take shortcuts that only benefit creditors. However, creditors must also be responsive to the situation and act as national advocates by providing loans aimed at the public. As a result, creditors should prioritize negative impacts that have the potential to occur for the community or debtors rather than just the creditor's safety.
Keywords: Bankruptcy; Liquidation; Delay; Debt
ABSTRAK
Pada “Pasal 1131 kitab undang-undang hukum perdata dijelaskan bahwa segala kebendaan orang yang berhutang baik yang bergerak ataupun yang tidak bergerak baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari akan menjadi tanggungan untuk segala peningkatan perseorangan”. Selain itu juga dalam “Pasal 1132 kitab undang-undang hukum perdata dijelaskan juga bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang akan mengetahui adanya dan pendapatan penjualan benda-benda dari masing-masing tubuh kecuali apabila di antara para yang berpiutang memiliki alasan yang bisa untuk didahulukan”. Pada umumnya tidak perlu dibuktikan bahwa debitur tidak sanggup untuk melakukan pembayaran terhadap utangnya untuk suatu status sebagai pailit, dan tidak relevan apakah debitur berhenti untuk melakukan pembayaran yang dikarenakan ia tak sanggup atau tidak ingin melakukannya. Karena keadaan debitur ditunjukkan secara lugas, maka pengadilan pada perkara terkait kepailitan tidak diharuskan untuk mengikuti sistematika untuk pembuktian hukum acara perdata. Penulis menegaskan bahwa kreditur mengambil jalan pintas yang hanya menguntungkan kreditur. Namun, kreditur juga harus tanggap terhadap situasi dan bertindak sebagai penolong bangsa dengan pemberian pinjaman yang ditujukan kepada masyarakat. Akibatnya, seharusnya kreditur lebih mendahulukan dampak negatif yang berpotensi terjadi bagi masyarakat atau debitur daripada sekedar keselamatan kreditur.
Kata Kunci: Kepailitan; Likuidasi; Penundaan; Utang
Article Details
References
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Buku dan Jurnal:
Irna Nurhayati, Tinjauan Terhadap Undang-Undang Kepailitan (UU No. 4 Tahun 1998), Mimbar Hukum Majalah Berkala Fakultas Hukum UGM No: 32/VI/1999.
Man Sastrawidjaya, 2006, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung.
Purwahid Patrik, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Dan Dari Undang-Undang), CV. Mandar Maju, Bandung.
Rudhy A. Lontoh, Denny Kailimang dan Benny Ponto, ed., 2001, Penyelesaian Utang-Piutang melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bandung: Alumni.
Sunarmi, 2010, Hukum Kepailitan, Medan: PT.Sofmedia.