WADAH PERTUNJUKAN SENI DI BEKASI

Main Article Content

Vicosta Christy
Tatang Hendra Pangestu

Abstract

Bekasi is referred to commuter city. A commuter is someone who travels to a city to work and returns to his hometown every day, usually from a place that is quite far from where he works. There is nothing interesting to invite travelers to this city. The city is home to millions of residents who mostly work in the capital city of Jakarta. The reason is because Jakarta is already overcrowded and the price of a residential unit in Jakarta has escalated. Bekasi society has high mobility. They departed from morning and returned when it was dark. The house is only used as a rest. There is no cultural trend in Bekasi as well as a shared space for residents to communicate with each other and express interest in their talents. There needs to be a forum to embrace the polarity of the city with nature to coexist in order to produce a more attractive environment and accommodate the city of Bekasi as an educational recreation area, combining the value of sociability and relaxation. The third place becomes a role that can contribute to the overall lifestyle of the community. For this reason, people need to realize that the third space is an undisputable asset. The concept of this third space is quite unique for the process of developing a place, because the third space breaks through a generation with a much better deal than the characteristics of other places. This project uses the trans programming method for the program in the project and the building typology method which will analyze several aspects of the performing arts buildings from the past to the present. The main concept of this project prioritizes the flexibility of space so that it can be used for several different activities.

 

Abstrak

Kota Bekasi sering disebut dengan kota komuter. Komuter adalah seseorang yang bepergian ke suatu kota untuk bekerja dan kembali ke kota tempat tinggalnya setiap hari, biasanya dari tempat tinggal yang cukup jauh dari tempat bekerjanya. Tidak ada hal yang menarik untuk mengajak para pelancong ke kota ini. Kota ini adalah rumah bagi jutaan penduduk yang sebagian besar bekerja di ibukota Jakarta. Alasannya mudah, karena Jakarta sudah sesak dan harga satu unit tempat tinggal di Jakarta sudah meroket. Masyarakat Bekasi memiliki mobilitas yang tinggi. Mereka berangkat dari pagi dan kembali saat hari sudah gelap. Rumah hanya dijadikan untuk beristirahat saja. Tidak terdapat tren kebudayaan di Bekasi sekaligus ruang bersama untuk warga saling berkomunikasi dan menuangkan minat bakatnya. Perlu adanya sebuah wadah untuk merangkul polaritas kota dengan alam untuk hidup berdampingan supaya menghasilkan lingkungan yang lebih menarik dan mengakomodasi kota Bekasi menjadi tempat rekreasi edukatif, menggabungkan nilai sosiabilitas dan relaksasi. Ruang ketiga menjadi peran yang bisa berkontribusi dengan keseluruhan gaya hidup masyarakat. Untuk itu masyarakat perlu menyadari bahwa, ruang ketiga menjadi aset yang tidak dapat diperdebatkan. Konsep ruang ketiga ini cukup unik untuk proses perkembangan sebuah tempat, karena ruang ketiga menerobos sebuah generasi dengan kesepakatan yang jauh lebih baik daripada karakteristik tempat lain.  Proyek ini menggunakan metode trans programming untuk program di dalam proyek dan metode tipologi bangunan dimana akan menganalisa beberapa aspek pada bangunan - bangunan ruang pertunjukan dari terdahulu hingga kekinian. Konsep utama bangunan ini mengutamakan fleksibilitas ruang sehingga bisa digunakan untuk beberapa kegiatan yang berbeda.

Article Details

Section
Articles

References

Achmad, A.K. (1980). Analisis Kebudayaan, DEPDIKBUD, Direktorat Kesenian Jakarta, hal 815.

Badriya, Y. (2016). 8 Karakteristik Kebudayaan Lengkap. Retrieved December 6, 2016 , from https://ilmuseni.com/seni-budaya/karakteristik-kebudayaan Daerah, Badan Perencanaan Pembangunan. (2016). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kota Bekasi Tahun 2013-2018 Revisi. Retrieved from http://bappeda.jabarprov.go.id/wp-content/uploads/2016/07/BAB-II-FINAL.pdf

Furuto, A. (2013). Performing Arts Studio of the National Theatre of Korea Second Prize Winning Proposal. Retrieved April 6, 2013, from https://www.archdaily.com/353853/performing-arts-studio-of-the-national-theatre-of-korea-second-prize-winning-proposal-archiplan

Goldthorpe, John H, Dan Chan, Tak W. (2005). Social Stratification of Cultural Participation : Theatre and Cinema, the Visual Arts and Reading. Oxford.

Journal, W. (2018). Mengenal Kemunculan dan Perkembangan Performance Arts di Indonesia. Retrieved May, 2018, from https://www.whiteboardjournal.com/ideas/mengenal-kemunculan-dan-perkembangan-performance-art-di-indonesia/

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2016). Analisis Partisipasi Kebudayaan.

Laksmana, F. I. (2014). Karakteristik Seni dan Budaya Indonesia. Retrieved May, 2014 , from http://febridrawingartist.blogspot.com/2014/05/karakteristik-seni-dan-budaya-indonesia.html

Maggiora, Martial Vial Della. (2019, Juli 18). KOODAARAM Kochi-Muziris Pavilion. Retrieved from https://www.archdaily.com/921181/koodaaram-kochi-muziris-pavilion-anagram-architects

Mori, T. (2015). New Artist Residency. Retrieved March 12, 2015, from https://www.archdaily.com/608096/new-artist-residency-in-senegal-toshiko-mori

Morrone, A. (2006). Guidelines for Measuring Cultural Participation. Montreal. UNESCO Institute for Statistics.

UNESCO. (2009). UNESCO Framework of Cultural Stratistics, Montreal. UNESCO Institute for Statistics.

Oldenburg, R. (1989). The Great Good Place. Da Capo Press : Cambridge.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Bekasi. (2018).