PENDEKATAN FENGSHUI DALAM DESAIN RUANG PUBLIK UNTUK MENGEMBALIKAN CITRA PASAR BARU, JAKARTA PUSAT
Main Article Content
Abstract
Historically, Pasar Baru has long been the trading centre of Jakarta. Being one of trading area at West Jakarta, Pasar Baru became a meeting place of various ethnics and social groups that created a place of acculturation and tradition. Formerly, Pasar Baru was known as a place where the locals and travellers go to buy textile, clothes, shoes and sport accessories. Now Pasar Baru is challenged when it has to face the era of globalization and modernization that making it a deserted place. Competition among modern shopping centres and electronics has pressed the volume of selling at Pasar Baru down while its conventional design of architecture has made this area no more an interesting place to visit, hence being deserted by the customers. Hence, its popularity is continuing to decrease. Many shops closed or moved to more popular locations. That is to say that Pasar Baru has experienced a degradation of trading and cultural value. Such is the phenomenal case of ‘placeless place’, when Pasar Baru being the area with such a magnitude and powerful meaning has now been losing everything. The objective of this study is to revive the busy and interesting image of Pasar Baru. The method used is the feng shui approach, starting from data analysis, field observations and interviews in order to comprehensively understand the socio-economic dynamics and environmental conditions in Pasar Baru. A holistic approach is taken by combining efforts to preserve cultural heritage and sustainable economic development. It is hoped that the results of this research can become a new strategy in re-developing Pasar Baru's identity as a rich trading center with a rich cultural heritage.
Keywords: image; Pasar Baru; placeless place
Abstrak
Pasar Baru telah lama menjadi pusat perdagangan dan kawasan bersejarah Kota Jakarta. Berfungsi sebagai salah satu kawasan perdagangan di Jakarta Barat, Pasar Baru menjadi titik pertemuan berbagai kelompok etnis dan sosial serta menciptakan ruang pertukaran budaya dan tradisi. Dahulu, Pasar Baru dikenal sebagai tempat penjualan tekstil, pakaian, sepatu, dan perlengkapan olahraga yang menjadi daya tarik bagi pengunjung lokal maupun wisatawan, namun sekarang Pasar Baru menghadapi berbagai tantangan ketika berhadapan dengan era globalisasi dan modernisasi yang menjadikan kawasan tersebut mulai sepi. Persaingan dengan pusat perbelanjaan modern dan perdagangan elektronik telah menekan tingkat penjualan di Pasar Baru, sementara desain arsitektural yang konvensional membuat kawasan ini kurang menarik sehingga popularitas Pasar Baru menurun dan ditinggalkan pengunjung. Banyak toko yang tutup atau berpindah ke lokasi yang lebih diminati. Dengan perkataan lain, Pasar Baru mengalami degradasi perdagangan dan nilai budaya. Fenomena ini merupakan contoh kasus placeless place, yaitu saat ketika Pasar Baru sebagai kawasan yang pernah memiliki daya tarik dan kekuatan makna sekarang kehilangan segalanya. Tujuan dari penelitian ini adalah mengembalikan citra kawasan Pasar Baru yang ramai dan diminati masyarakat tadi. Metode yang digunakan adalah pendekatan fengshui digunakan mulai dari analisis data, observasi lapangan dan wawancara guna memahami secara komprehensif dinamika sosial ekonomi dan kondisi lingkungan di Pasar Baru. Pendekatan secara holistik dilakukan dengan menggabungkan upaya pelestarian warisan budaya dan pembangunan ekonomi berkelanjutan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi strategi baru dalam pengembangan kembali identitas Pasar Baru sebagai pusat perdagangan yang kaya dengan warisan budaya yang kaya.
Article Details
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
This work is licensed under a Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur/ STUPA Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International LicenseReferences
Adhiwignyo, P. D., & Handoko, B. (2015). Kajian Arsitektural dan Filosofis Budaya Tionghoa pada Kelenteng Jin De Yuan, Jakarta (Doctoral dissertation, Bandung Institute of Technology).
Castree, N., Kitchin, R., & Rogers, A. (2013). A dictionary of human geography. Oxford University Press, USA Darmawan, E. (2009). Ruang publik dalam arsitektur kota. Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Hantono, D., Sidabutar, Y. F., & Hanafiah, U. I. (2018). Kajian Ruang Publik Kota Antara Aktivitas dan Keterbatasan. Langkau Betang: Jurnal Arsitektur, 5(2), 80-86
Hashem, H., Abbas, Y. S., Akbar, H. A., & Nazgol, B. (2013). Comparison the concepts of sense of place and attachment to place in Architectural Studies. Malaysia Journal of Society and Space, 9(1), 107-117.
Johnson, J., & Larsen, S. C. (2013). A deeper sense of place. Stories and Journeys of Indigenous-Academic Collaboration.
Knapp, R. G. (Ed.). (2019). China's island frontier: Studies in the historical geography of Taiwan. University of Hawaii Press.
Kohl, D. G. (1978). Chinese architecture in the Straits Settlements and Western Malaya.
Kustedja, S., Sudikno, A., & Salura, P. (2012). Feng-shui: Elemen Budaya Tionghoa Tradisional. Melintas, 28(1), 61-89..
Puspitasari, C. (2015). Ayo Mengenal Pasar Baru Jakarta. Jakarta: Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Pancasila.
Relph, E. (2016). The paradox of place and the evolution of placelessness. In Place and placelessness revisited (pp. 20-34). Routledge.
Saad, A. Sense of Place: Psychological, Phenomenological and Typological Perspectives.
Shamai, S. (1991). Sense of place: An empirical measurement. geoforum, 22(3), 347-358.