PENERAPAN DESAIN ARSITEKTUR EMPATI SEBAGAI UPAYA MEREDEFINISI REHABILITASI PECANDU NARKOBA

Main Article Content

Richard Giovanni
Denny Husin

Abstract

Drug use is not entirely negative, what is dangerous about drugs is uncontrolled use, and one of the consequences is addiction, but not all addicts want to continue to use drugs. This project is a place for drug addicts who desire to recover regardless of their addiction, empathy is essential. If you look at the current condition of rehabilitation, not all can access rehabilitation facilities because the price is high so that not a few end up in prison. Inside rehabilitation feel like they are being punished and isolated because of the programs and physical facilities they provide, not much different from being in prison. This project tries to solve this by design with understanding addicts need to recover, not locking them up but preparing them to return to society and aftercare. But in reality, rehabilitation is only effective if the addict wants to quit, so this project used dis-programming content by combining drug rehabilitation and regulation, which looks contradictory but makes it easier to monitor drug use and its distribution. Applying the concept of a different form of panopticon with dispersed and natural surveillance so it doesn't create feelings of pressure, transparency but still has privacy. Located in West Jakarta, so as not to alienate drug addicts and make this building a new community vessel for recovering addicts, watching over others and engaging in activities to socialize with the community again.


Keywords: addiction;  community; dis-program; empathic ; panopticons


Abstrak


Penggunaan narkoba tidak sepenuhnya negatif, yang berbahaya dari narkoba yaitu penyebaran dan pemakaian tidak terkontrol salah satu akibatnya adalah adiksi, namun tidak semua pecandu narkoba ingin terus ketergantungan. Proyek ini menjadi tempat bagi pecandu narkoba yang ingin sembuh terlepas dari adiksinya, empati menjadi faktor penting. Jika dilihat pada kondisi rehabilitasi yang ada saat ini, tidak semua dapat mengakses rehabilitasi karena harganya yang tinggi sehingga tidak sedikit yang berakhir di penjara, di dalam rehabilitasi pun akan merasa seperti dihukum dan terisolasi karena program dan juga fasilitas fisik yang tidak jauh berbeda dengan di penjara. Hal tersebut yang berusaha diselesaikan dengan desain yang dapat memahami kebutuhan pecandu tidak mengurung tetapi mempersiapkan mereka kembali ke masyarakat. Kenyataannya rehabilitasi hanya efektif jika pecandu sudah ingin berhenti, pada proyek ini konten dis-programming digunakan dengan menggabungkan rehabilitasi dan regulasi narkoba, terlihat bertolak belakang tetapi sebenarnya memudahkan pengawasan penggunaan narkoba dan penyebarannya. Mengusung konsep bentuk panopticons yang berbeda dengan pengawasan yang tersebar dan alami sehingga tidak memunculkan perasaan tertekan, transparansi tapi masih memiliki privasi. Terletak di Jakarta Barat, agar tidak mengasingkan para pecandu narkoba serta menjadikan bangunan ini untuk menjadi wadah komunitas baru bagi para pecandu yang sembuh mengawasi sesama dan terlibat aktivitas untuk bersosialisasi dengan masyarakat kembali.

Article Details

Section
Articles

References

Channon, B. (2019). Happy by Design: A Guide to Architecture and Mental Wellbeing. RIBA Publishing.

Goleman, D. (1996). Emotional Intelligence. New York: Bantam Books.

Hairina, Y., & Komalasari, S. (2017, Mei). Kondisi Psikologis Narapidana Narkotika Di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II Karang Intan, Martapura, Kalimantan Selatan. Jurnal Studia Insania, 94-104. doi:10.18592/jsi.v5i1.1353

Hajlooa, N., Kelvirb, H. R., & Rezaeic, M. K. (2016). Architecture of Addiction Treatment Centers and Psychological Statuse ofAddicts. European Science publishing Ltd

Phillips, L. A., & Shaw, A. (2013). Substance use more stigmatized than smoking and obesity. Journal of Substance Use, 18(4), 247–253.