REVOLUSI PASAR INDUK GEDEBAGE DENGAN PERANCANGAN RUANG KREATIF PUBLIK DALAM MEMAJUKAN PASAR TRADISIONAL SEBAGAI PUSAT GAYA HIDUP SEIRING PERKEMBANGAN ZAMAN

Main Article Content

Alexander Nikolas Tanata Harleeputra
Stephanus Huwae
J.M. Joko Priyono Santoso

Abstract

The Gedebage Main Market in Bandung has experienced degradation both physically and in the number of visitors or traders as time goes by. Various lifestyle changes can be felt, has been adjusted to the convenience obtained. It was recorded that in 2018, there are 1.000 trading rooms available at the Gedebage Main Market, only 500 were filled and it’s continued to reduce (Palau, E. 2021). Among the 500 inhabited trading rooms, there are still groceries and similar stalls in the traditional market cluster. In fact, with its status as a main market, it has a very important role for daily people’s need in Bandung. Physically, the existing buildings area have decreased, inculding the lack of management awareness. Therefore, a complete revolution is needed considering the potential on the surrounding area, such as Bandung whom famous for its fashion products. By using the theory of Organic Architecture to design creative public spaces as a solution in revolutionizing the Gedebage Main Market and making it as a “center of public lifestyle”. The method that used is qualitative and descriptive Thus, the “Neo-Gedebage” revolution became effective and efficient, resulting in traditional market that became a space that communities can carry out their daily activities. The results of Organic Architecture in the form of the “Neo-Gedebage” Market are able to distribute visitors according to the various lifestyle.


Keywords: Lifestyle; Public Creative Hub; Revolution; Traditional Market


Abstrak


Pasar Induk Gedebage di Kota Bandung telah mengalami penurunan baik secara fisik maupun jumlah pengunjung ataupun pedagang seiring perkembangan zaman. Berbagai perubahan gaya hidup dapat dirasakan, menyesuaikan dengan kemudahan yang didapatkan. Tercatat pada tahun 2018 dari 1.000 ruang dagang yang tersedia pada Pasar Induk Gedebage, hanya 500-600 ruang dagang yang terisi dan terus menurun (Palau, E. 2021). Diantara 500 ruang dagang yang terhuni, masih terdapat kios basah dan sejenis dalam rumpun pasar tradisional. Padahal dengan statusnya sebagai pasar induk membuat peranannya sangat penting terhadap kehidupan masyarakat di Kota Bandung. Secara fisik, bangunan eksisting kawasan sudah mengalami penurunan termasuk kurangnya kepedulian pengelola. Oleh karena itu, diperlukan adanya revolusi menyeluruh mengingat potensi yang ada, seperti Kota Bandung sebagai kota yang terkenal dengan hasil fashion. Dengan menggunakan teori Arsitektur Organik untuk merancang ruang kreatif publik, menjadi solusi dalam merevolusi Pasar Induk Gedebage dan menjadikannya sebagai “pusat gaya hidup masyarakat”. Sehingga metode yang digunakan merupakan metode kualitatif dan deskriptif. Dengan demikian, Revolusi Pasar Induk Gedebage menjadi efektif dan tepat guna, menghasilkan pasar tradisional yang tidak hanya menjadi pusat kegiatan transaksional saja, namun juga menjadi wadah masyarakat dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Hasil Arsitektur Organik dalam bentuk Pasar “Neo-Gedebage” mampu mendistribusikan pengunjung sesuai dengan gaya hidup masing-masing masyarakat.

Article Details

Section
Articles

References

Alexandri, MB. (2019). Creative industries: Strategy and challenges in the Craft Sub-sector. Review Integrative Business and Economics Research.

Booyens, I. (2012). Creative industries, inequality and social development: developments, impacts and challenges in Cape Town.

British Council of Creative Economy. (2015). Creative Hub Kit.

Cartwright, L. (2017). Intoduction : What Are Creatice Art Spaces and Why Do They Exist ?

Dananjaya, I. (2019). Perancangan Creative Space dengan Pendekatan Ekologis di Canggu.

Dewi, P. (2016). Ketertarikan Publik terhadap Keberadaan Creative Space

Haryotejo, B. (2014). Dampak Ekspansi Hypermarket Terhadap Pasar Tradisional di Daerah. Kementerian Perdagangan.

Howkins, J. (2001). The Creative Economy : How People Make Money From Ideas. London.

Hutagalung, G. (2015). Kampung Vertikal di Kawasan Waterfront 9/10 Ulu Palembang dengan Pendekatan Urban Acupuncture.

Kompas. (2020). Pasar tradisional: pengertian, ciri dan jenisnya. Diakses dari https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/28/060000169/pasar-tradisional-pengertian-ciri-dan-jenisnya?page=all pada 25 Juni 2022.

Matheson, J. (2013). British Council Creative Hub Kit. Edinburgh

Palau, E. (2021). Pasar Gedebage: Pasar Tradisional yang Digandrungi Milenial. Diakses dari https://bandungbergerak.id/article/detail/1584/pasar-gedebage-pasar-tradisional-yang digandrungi-milenial pada 26 Juni 2022

Pascasuseno, A. (2019). Ekonomi Kreatif : Rencana Pembangunan Arsitektur Nasional 2015-2-019.

Simatupang, T. (2007). Gelombang Ekonomi Kreatif.

Suartha, N. (2016). Revitalisasi Pasar Tradisional Bali Berbasis Pelanggan.

Subowo, E. (2002). Pola Keterikatan Pasar Modern Dengan Pasar Tradisional. Diklat Manajemen Pasar Daerah.

Sugiarto, E. (2018). Ekonomi Kreatif Masa Depan Indonesia.

Sutanto, A. (2020). Peta Metode Design, e-book, Universitas Tarumanagara : Jakarta.

Pearson, D. (2001). New Organic Architecture : The Breaking Wave. University of California Press : California.

Thamrin, A. (2003). Manajemen Pemasaran. PT. Rajawali Pers.

Thoring, K. (2019). Designing Creative Space.

Wicaksono. (2011). Pengaruh Modal Awal, Lama Usaha, Dan Jam Kerja Terhadap Pendapatan Pedagang Kios Di Pasar Bintoro Demak. Universitas Diponegoro.

Widiyanto, R. (2009). Indonesian Culture.

Wright, F. (1939). An Organic Architecture.

Yimeng, Zhang (2015). Rethinking the Dimensions in Urban Acupuncture.

Zumrotin, K. (2002). Pola Keterikatan Pasar Modern Dengan Pasar Tradisional. Diklat Manajemen Pasar Daerah, Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Dalam Negeri.