PASAR TEMATIK PELITA SUKABUMI: STRATEGI MENGHIDUPKAN KEMBALI PASAR DENGAN METODE URBAN AKUPUNKTUR

Main Article Content

Beatriks Meylika Bataric
Olga Nauli Komala

Abstract

Traditional markets are one of the most important parts of the city. Markets not only play an important role in the city's economy, but are also a social space for sellers, buyers and market participants. With the development of the more modern and digital age, modern markets and online shops have emerged, threatening the existence of increasingly abandoned traditional markets. The stigma of traditional markets as dirty, smelly, messy, and unsafe places, has led to fewer visitors and buyers coming to traditional markets. Pelita Market as the oldest and largest traditional market in Sukabumi City, is also affected by the shortage of visitors and the gradual loss of attractiveness in the community. Therefore, in order to revitalize the market as a commercial center and as a third space in society, a design strategy that can regain the image of the Pelita Market region is necessary. This study uses an urban acupuncture approach and a third place design method. Data was taken from primary data sources such as surveys and direct interviews, and secondary data sources were from literature, books, journals and the internet. The strategy to revive Pasar Pelita area is carried out with the scenario of "Journey to Pelita Sukabumi Thematic Market Area", where the roads around the market are used as a sub market area that can support Pelita Market as a regional main attractor. Based on this scenario, as a thematic market, each road segment has its own theme based on the commodities traded by traders. Jalan Perniagaan as a market for food and cloth, Jalan Pasar Timur as a market for staples, Jalan Kapten Harun Kabir as a market for second-hand fashion items, Jalan Station Barat and Gang Lipur as a souvenir market.


Keywords: thematic market, traditional market; third place; urban acupuncture


Abstrak


Pasar tradisional merupakan salah satu komponen penting di kota. Selain memegang peranan penting dalam perekonomian kota, pasar juga merupakan ruang bersosialisasi bagi penjual, pembeli, dan pengunjung pasar. Seiring dengan perkembangan zaman yang lebih modern dan digital, muncul pasar modern dan toko online yang lebih mudah diakses masyarakat dan mengancam keberadaan pasar tradisional. Stigma pasar tradisional sebagai tempat yang kotor, bau, berantakan, dan tidak aman menyebabkan semakin berkurangnya pengunjung dan pembeli yang datang ke pasar tradisional. Pasar Pelita sebagai pasar tradisional tertua dan terbesar di Kota Sukabumi, ikut terdampak sepi pengunjung dan mulai kehilangan daya tarik di masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya strategi desain yang dapat memulihkan citra kawasan Pasar Pelita agar dapat menghidupkan kembali pasar sebagai sentra perdagangan sekaligus tempat ketiga di masyarakat. Penelitian ini menggunakan pendekatan urban akupunktur dan metode desain tempat ketiga. Data diperoleh melalui sumber data primer seperti survei dan wawancara langsung, dan sumber data sekunder berasal dari literatur, buku, jurnal, dan web. Strategi menghidupkan kembali kawasan Pasar Pelita dilakukan dengan skenario "Journey to Kawasan Pasar Tematik Pelita Sukabumi", yaitu ruas jalan di sekitar pasar dijadikan sebagai sub market area yang dapat mendukung Pasar Pelita sebagai magnet kawasan. Berdasarkan skenario tersebut, sebagai pasar tematik setiap ruas jalan memiliki tema masing-masing berdasarkan komoditas yang diperjualbelikan oleh pedagang. Jalan Perniagaan sebagai pasar makanan dan bahan kain, Jalan Pasar Timur sebagai pasar bahan pokok, Jalan Kapten Harun Kabir sebagai pasar pakaian bekas, Jalan Stasiun Barat dan Gang Lipur sebagai pasar oleh-oleh.

Article Details

Section
Articles

References

Brata, I. B. (2016). Pasar Tradisional Di Tengah Arus Budaya Global. Jurnal Ilmu Manajemen Mahasaraswati, vol. 6, no. 1. Denpasar: Universitas Mahasaraswati.

Deloitte Indonesia. (2019). Deloitte Indonesia Perspectives. Deloitte Customer Insight Survey 2018. Diakses pada 11 Februari 2022, dari https://www2.deloitte.com/content/dam/Deloitte/id/Documents/about-deloitte/id-about-dip-edition-1-full-en-sep2019.pdf

Diaz, R. (2017). Medellin's Comuna 13 Shows Why All Great Public Spaces Should Be Kid-Friendly. ArchDaily. Diakses pada 11 Februari 2022, dari https://www.archdaily.com/882554/medellins-comuna-13-shows-why-allgreatpublic-spacesshould-be-kid-friendly

Dickenson, C. (2014). Looking at Ancient Public Space: The Greek Agora in Hellenistic and Roman Times. Denmark: Academia.

Himawan, A., Kartono, D. T., dan SN, S. (2013). Keterlibatan Warga Dalam pembentukan Ruang Publik (Analisa Pembentukan Ruang Publik Dalam Revitalisasi pasar tradisional di Kota Surakarta). Jurnal Analisa Sosiologi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Diakses pada 11 Februari 2022, dari https://jurnal.uns.ac.id/jas/article/view/17380/13890

Lefebvre, H. (1974). The Production of Space. Diterjemahkan oleh Donald Nicholson-Smith. Cambridge: Blackwell.

Lerner, J. (2014). Urban acupuncture. Harvard Business Review. Dakses pada 11 Februari 2022, dari https://hbr.org/2011/04/urban-acupuncture.html

Oldenburg, R. (1989). The Great Good Place. New York: Marlowe & Company.

Sutanto, A. (2020). Peta Metode Desain. Jakarta: Universitas Tarumanagara.

Syaiful, A., Lisniari M., Syaiful, A., Munthe, L., Dewi, R. C., Nugroho, E., Hartati, A. B., Arifiani, N. F., Nur, E., Latief, A., Achmad, A. Y., & Ardyanto, S. D. (2009). Kamus Istilah Bidang Pekerjaan Umum. Jakarta Selatan: Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia.