KAMPUNG LEUSER: TANTANGAN DAN PROSPEK SEBUAH PERMUKIMAN INFORMAL DI KEBAYORAN BARU

Main Article Content

Roberto Roberto
Erwin Fahmi

Abstract

Kebayoran Baru was a well-planned new town. However, over time, Kebayoran Baru has been transforming, whether it is planned or not. One form of transformation in Kebayoran Baru has been the presence of informal settlements, such as those on Jalan Leuser. The kampong, which is claimed by its residents has been inhabited since 1955, has faced various challenges along the way, one of which is the threat of land expropriation and eviction. The threat of eviction stems from a land dispute involving the residents of Kampung Leuser as the party occupying the land and PAM Jaya as the party who claims to have rights to the land. Equiped with an HGB certificate under its name, PAM Jaya in 2016 requested residents to leave the land immediately. Residents who claimed to have lived on the land for more than 60 years firmly rejected PAM Jaya's claim and fought back. This study uses a qualitative research approach and a semi-autonomous social field perspective, aiming to understand the challenges of effective citizen control over the land and the prospects for future settlements. The challenges are formulated based on the background of the people's control over the land, the process, and its development until now. Meanwhile, prospects are presented through possible scenarios, either pessimistic, moderate, or optimistic scenarios. The results show that until now (2019), four years after the eviction plan began, Kampung Leuser still survives. In fact, the residents have also sued BPN as the party that issued the HGB certificate for PAM Jaya. This proves that the survival of Kampung Leuser is not impossible. Of the three scenarios that can be pursued in the future, the moderate scenario can provide a sense of justice for various parties. Furthermore, this dispute is expected to provide a lesson for the field of regional and urban planning, both practically and theoretically, regarding solutions in the management of informal settlements, both in the new city of Kebayoran Baru, as well as in other new cities in Indonesia.

Keywords: informal settlements; semi-autonomous social field; Kampung Leuser – Kebayoran Baru

 

Abstrak

Kebayoran Baru merupakan kota baru yang direncanakan dengan baik. Namun, seiring berjalannya waktu, Kebayoran Baru mengalami transformasi, baik direncanakan maupun tidak. Salah satu bentuk transformasi di Kebayoran Baru adalah hadirnya permukiman informal, seperti yang antara lain berada di Jalan Leuser. Kampung yang diklaim oleh warga telah dihuni sejak 1955 ini, dalam perjalanannya mengalami berbagai tantangan, salah satunya adalah ancaman pengambil-alihan lahan dan penggusuran. Ancaman penggusuran ini bermula dari sengketa tanah yang melibatkan pihak warga Kampung Leuser selaku pihak yang menempati lahan dan PAM Jaya selaku pihak yang mengklaim memiliki hak atas lahan tersebut. Berbekal sertifikat HGB atas namanya, pihak PAM Jaya pada 2016 meminta warga untuk segera meninggalkan lahan tersebut. Warga yang mengaku sudah tinggal di lahan tersebut sejak lebih dari 60 tahun dengan tegas menolak klaim pihak PAM Jaya dan melakukan perlawanan. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan perspeltif semi autonomous social field, bertujuan untuk memahami tantangan penguasaan efektif warga atas tanah tersebut, dan prospek permukimannya ke depan. Tantangan dirumuskan melalui latar belakang penguasaan warga atas lahan tersebut, proses, dan perkembangannya hingga saat ini. Sementara, prospek disajikan melalui skenario jalan keluar yang dapat ditempuh, baik skenario pesimis, moderat, maupun optimis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hingga saat ini (2019), empat tahun setelah rencana penggusuran bermula, Kampung Leuser masih bertahan. Bahkan, pihak warga juga sudah menggugat BPN selaku pihak yang mengeluarkan sertifikat HGB untuk PAM Jaya. Hal ini membuktikan bahwa bertahannya eksistensi Kampung Leuser bukanlah hal yang tidak mungkin. Dari tiga skenario yang dapat ditempuh ke depan, maka skenario moderat dapat memberikan rasa keadilan bagi berbagai pihak. Lebih jauh diharapkan sengketa ini dapat menjadi pembelajaran bagi bidang ilmu perencanaan wilayah dan kota baik secara praktis maupun teoritis mengenai solusi dalam pengelolaan permukiman informal, baik di kota baru Kebayoran Baru, maupun di kota-kota baru lainnya di Indonesia.

Article Details

Section
Articles

References

Adi, G.N. (2016). Jokowi Warns of Illegal Levies in Land Certification.

Castles, L. (2007). Profil Etnik Jakarta. Jakarta, Masup Jakarta.

Claudio, G. dan Fahmi, E. (2020). “Rencana Sabuk Hijau Timur Kota Baru Kebayoran: Kebijakan Setengah Hati? Studi tentang Transformasi Kawasan”. Jurnal Muara Sains, Teknologi, Kedokteran, dan Ilmu Kesehatan vol 4 No. 2 Oktober 2020

Fernandes, E. (2011). Regularization of Informal Settlements in Latin America. Boston, The Lincoln Institute of Land Policy.

Furchan, A. (1992). Pengantar Metode Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional.

Kuswartojo, Tjuk. 2019. Kaca Benggala: Perkembangan Habitat Manusia Di Indonesia. Bandung: Ukara Lawang Buwana.

Moore, S. F. (1973). "Law and Social Change: The Semi-Autonomous Social Field as an Appropriate Subject of Study." Law & Society Review 7(4): 719-746.

Prihatin, R. B. (2014). "Fenomena Penggusuran di Jakarta. Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini". Info Singkat Vol. VI No. 17/I/P3DI/September/2014. Jakarta.

Soesilo, Moh. nd. Perjalanan Hidup. tanpa nama penerbit

Srinivas, H. (1991). "Viability of informal credit to finance low-income housing: Case study of three squatter settlements in Bangalore, India". Unpublished master thesis. Bangkok, Asian Institute of Technology Division of Human Settlements Development.

Srinivas, H. (2005). "Defining Squatters Settlements." Global Development Research Center Web site 9.

Sudiro, M. (1953). Pembangunan Kotabaru Kebajoran. Jakarta, Kementerian Pekerdjaan Umum dan Tenaga R.I. Bagian Umum.

Wahid, F., Sæbø, Ø., & Furuholt, B. (2015, May). "The Use of Information System in Indonesia’s Land Management". Proceedings of the 13th International Conference on Social Implications of Computers in Developing Countries. Negombo, Sri Lanka.