https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/issue/feedJurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)2024-10-31T08:46:24+00:00Nafiah Solikhahjurnalstupa@ft.untar.ac.idOpen Journal Systems<p><strong>Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (STUPA)</strong> merupakan Jurnal Ilmiah Jurusan Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Tarumanagara dengan p-ISSN: 2685-5631 dan e-ISSN: 2685-6263 sebagai wadah publikasi artikel ilmiah dengan tema: Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (STUPA).</p>https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/32696Cover Jurnal STUPA V6N2 - OKTOBER 20242024-10-26T15:05:16+00:00Jurnal STUPAjurnalstupa@ft.untar.ac.id<p>Cover Jurnal STUPA V6N2 - OKTOBER 2024</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/32697Redaksi Jurnal STUPA V6N2 - OKTOBER 20242024-10-26T15:06:41+00:00Jurnal STUPAjurnalstupa@ft.untar.ac.id<p>@2024 - Redaksi Jurnal STUPA V6N2 - OKTOBER 2024</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/32722Daftar Isi Jurnal STUPA V6N2 - OKTOBER 20242024-10-31T08:43:39+00:00Jurnal STUPAjurnalstupa@ft.untar.ac.id<p>Daftar Isi Jurnal STUPA V6N2 - OKTOBER 2024</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30859PENERAPAN SISTEM BUDIDAYA IKAN BERKELANJUTAN DENGAN KONSEP NATURAL PADA RESTORASI LINGKUNGAN, SOSIAL DAN PEREKONOMIAN KAMPUNG NELAYAN KAMAL MUARA2024-08-19T06:34:26+00:00Juan Nathanie Wiliantojuan.nathaniew@gmail.comAgustinus Sutantoagustinuss@ft.untar.ac.id<p><em>Kampung Nelayan Kamal Muara, once a vibrant coastal community, is now ensnared in environmental and social degradation. Marine pollution, reclamation, and excessive exploitation of natural resources have triggered the death of marine life, habitat destruction, silting, and changes in ocean currents. This has not only taken away livelihoods and economies but also a sense of security, connection to the environment, cultural identity, and has the potential to turn Kamal Muara into a "placeless place." This research aims to combat degradation and rebuild a sense of place in Kamal Muara through sustainable aquaculture architecture. Literature studies have shown that sustainable aquaculture offers an innovative solution to restore coastal ecosystems, improve seawater quality, and empower communities. The research method combines qualitative and quantitative approaches. Data is collected through surveys, interviews, observations, and secondary data analysis. The results show that the aquaculture system in Kamal Muara can increase marine biodiversity, seawater quality, and fishermen's income. This system can also strengthen cultural identity and traditions. This research proves aquaculture to be an effective strategy for restoring coastal ecosystems and empowering communities in Kamal Muara. Sustainable aquaculture architecture focuses not only on ecological and economic functions but also on social and cultural aspects. Architectural designs that are sensitive to the local context and community needs can help rebuild a sense of place in Kamal Muara, counteract the phenomenon of "placelessness," and create meaningful spaces for this coastal community.</em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><strong><em>Environmental degradation</em></strong><em>; </em><strong>Kamal <em>Muara Fishing Village</em><em>; Marine pollution ; Placeless place; Sustainable aquaculture</em></strong></p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Kampung Nelayan Kamal Muara, dahulu komunitas pesisir yang dinamis, kini terjerat degradasi lingkungan dan sosial. Pencemaran laut, reklamasi, dan eksploitasi sumber daya alam berlebihan memicu kematian biota laut, kerusakan habitat, pendangkalan, dan perubahan arus laut. Hal ini tak hanya merenggut mata pencaharian dan ekonomi, tapi juga rasa aman, keterikatan dengan lingkungan, identitas budaya, dan berpotensi menjadikan Kamal Muara sebagai <em>"placeless place".</em> Penelitian ini hadir sebagai upaya melawan degradasi dan membangun kembali rasa tempat di Kamal Muara melalui arsitektur <em>akuakultur</em> berkelanjutan. Kajian literatur menunjukkan <em>akuakultur</em> berkelanjutan menawarkan solusi inovatif untuk memulihkan ekosistem pesisir, meningkatkan kualitas air laut, dan memberdayakan masyarakat. Metode penelitian menggabungkan kualitatif dan kuantitatif. Data dikumpulkan melalui survei, wawancara, observasi, dan analisis data sekunder. Hasil menunjukkan bahwa sistem <em>akuakultur</em> di Kamal Muara dapat meningkatkan keanekaragaman hayati laut, kualitas air laut, dan pendapatan nelayan. Sistem ini pun dapat memperkuat identitas budaya dan tradisi.Penelitian ini membuktikan <em>akuakultur</em> sebagai strategi efektif dalam memulihkan ekosistem pesisir dan memberdayakan masyarakat di Kamal Muara. Arsitektur <em>akuakultur</em> berkelanjutan tak hanya berfokus pada fungsi <em>ekologis</em> dan ekonomi, tetapi juga aspek sosial dan budaya. Desain arsitektur yang sensitif terhadap konteks lokal dan kebutuhan masyarakat dapat membantu membangun kembali rasa tempat di Kamal Muara, menangkal fenomena <em>"placeless place",</em> dan menciptakan ruang yang bermakna bagi komunitas pesisir ini.</p> <p> </p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30869TRANSFORMASI KWITANG : MENUJU PEMULIHAN IDENTITAS MELALUI PENDEKATAN ARSITEKTUR PROGRAMATIK2024-06-28T06:19:30+00:00Davis Rozydavisrozy@gmail.comAgustinus Sutantoagustinuss@ft.untar.ac.id<p><em>Kwitang, a neighborhood in Central Jakarta, is famous for its pencak silat skills and for being a hotspot for book lovers. Before Kwitang became known as a legendary book center, in 1953, the area was still quiet due to the lack of activity. The situation changed when Toko Buku Kwitang 13 and book carts arrived, attracting children and making the area lively. However, change came with the local government's crackdown which led to the dispersal of traders and a decline in book sales. The Kwitang area struggles to attract buyers also because of the shift in interest to digital formats such as e-books. The existence of disruption 4.0 and declining literacy towards books have reduced the number of visitors, especially during the pandemic. This research uses the documentation method and qualitative descriptive analysis. The programmatic architectural concept approach can redevelop the identity of the Kwitang Area as a literacy and cultural center, and maintain its identity as a lively and dynamic destination for book lovers. It is hoped that with this step, Kwitang Area can become an area attractor and restore the identity that develops and remains relevant in the midst of changing times. This effort involves the addition of modified functions that support social, cultural, and economic interactions, as well as the introduction of various facilities and activities that are relevant to the times.</em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>Kwitang; 4.0 Disruption; Programatic Architecture</em></p> <p><strong>Abstrak </strong></p> <p>Kwitang, sebuah kelurahan di Jakarta Pusat, terkenal karena keahlian pencak silat dan menjadi pusat perhatian bagi para pecinta buku. Sebelum Kwitang dikenal sebagai sentra buku legendaris, pada tahun 1953, kawasan ini masih sepi karena minimnya aktivitas. Situasi berubah ketika Toko Buku Kwitang 13 dan gerobak buku hadir, menarik minat banyak anak dan menjadikan kawasan tersebut ramai. Namun, perubahan terjadi dengan adanya penertiban oleh pemerintah daerah yang menyebabkan penyebaran pedagang dan penurunan penjualan buku. Kawasan Kwitang kesulitan menarik pembeli juga karena adanya pergeseran minat ke format digital seperti <em>e-book</em>. Adanya disrupsi 4.0 dan menurunnya literasi terhadap buku telah mengurangi jumlah pengunjung, terutama selama pandemi. Penelitian ini menggunakan metode dokumentasi dan analisis deskriptif kualitatif. Adanya pendekatan konsep arsitektur programatik dapat mengembangkan kembali identitas Kawasan Kwitang sebagai pusat literasi dan budaya, serta mempertahankan identitasnya sebagai destinasi yang ramai dan dinamis bagi pencinta buku. Diharapkan dengan langkah ini, Kawasan Kwitang dapat menjadi atraktor kawasan dan mengembalikan identitas yang berkembang dan tetap relevan di tengah perubahan zaman. Upaya ini melibatkan penambahan fungsi-fungsi termodifikasi yang mendukung interaksi sosial, budaya, dan ekonomi, serta pengenalan berbagai fasilitas dan kegiatan yang relevan dengan perkembangan zaman.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30870REVITALISASI TAPAK EX-KANTOR BORSUMIJ MEDAN MENJADI FASILITAS PENDUKUNG UMKM DENGAN METODE ARSITEKTUR SIMBIOSIS2024-08-19T06:42:20+00:00Felicia Jovanfeliciajovan1313@gmail.comAgustinus Sutantoagustinuss@ft.untar.ac.id<p><em>Globalization and developments over time create changes in all aspects including buildings and architecture, especially changes and developments in urbanization and cities, population growth which creates urban architecture that is oriented towards more efficient land use by prioritizing products or brands rather than places or people, technological developments as well. supports large-scale development in a shorter time with 'standards', does not reflect or respond to surrounding conditions, creates buildings that make up a city that have the same shape, nature and characteristics of most developing cities both in Indonesia and abroad. world, eliminating the uniqueness and characteristics of the region. This research will discuss one of the abandoned buildings in Medan which has been abandoned for around 50 years, a Dutch heritage building with a Dutch colonial architectural style which is a combination of classical architectural style, with more modern geometry. The method that will be used in this research is regional analysis which also consists of collecting the development and history of the area using the Revitalization </em><em>with</em><em> Symbiotic Architecture design method, to create space from abandoned buildings into something useful for the surrounding community that connects the past, present and future. front. The results of the research are the construction of buildings with facilities to support MSME activities, identifying locations in trade zones to support MSME actors, support local brands and support regional economic development</em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>Neglected; Revitalization; symbiosis</em></p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Globalisasi dan perkembangan zaman menciptakan perubahan dalam segala aspek termasuk bangunan dan arsitektur, terutama perubahan dan perkembangan urbanisasi dan perkotaan, pertumbuhan populasi yang menciptakan arsitektur perkotaan yang berorientasi pada pemanfaatan lahan yang lebih efisien dengan mementingkan tentang produk atau brand daripada tentang place atau person perkembangan teknologi juga mendukung pembangunan berskala besar dalam waktu yang lebih singkat dengan “standar”, tidak mencerminkan ataupun merespon terhadap keadaan sekitar, menciptakan bangunan-bangunan yang membentuk sebuah kota memiliki bentuk, sifat, dan karakteristik yang sama pada sebagian besar kota yang berkembang baik di Indonesia maupun di dunia, menghilangkan keunikan dan karakteristik kawasan. Penelitian ini akan membahas tentang salah-satu bangunan terbengkalai di Medan yang sudah ditelantarkan sekitar 50 tahun lamanya, bangunan peninggalan Belanda dengan gaya arsitektur kolonial Belanda yang berupa perpaduan gaya arsitektur klasik, dengan geometri yang lebih modern. Metode yang akan digunakan dalam penelitian kali ini berupa analisis kawasan yang juga berupa pengumpulan perkembangan dan sejarah kawasan dengan metode perancangan Revitalisasi dengan Arsitektur Simbiosis, untuk menciptakan ruang dari bangunan yang terbengkalai menjadi sesuatu bermanfaat bagi masyarakat sekitar yang menghubungkan antara masa lalu, masa kini dan masa depan. Hasil dari penelitian berupa pembentukan bangunan dengan fasilitas untuk mendukung kegiatan UMKM mengenal lokasi yang berada pada zona perdagangan untuk mendukung pelaku UMKM, mendukung brand lokal dan mendukung perkembangan ekonomi kawasan.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30871PENAMBAHAN PROGRAM AKTIVITAS UNTUK MENGEMBALIKAN KUALITAS PLACE PADA MALL PLUIT VILLAGE 2024-08-19T06:44:53+00:00Daniel Wijayadaniel.wijaya810@gmail.comNina Carinaninac@ft.untar.ac.id<p><em>Pluit Village Mall, which was established in 1996 and has an area of 86,691 square meters, used to be the main entertainment center in the Pluit area. However, the number of visitors continues to decrease every year. Pluit Village Mall did not anticipate the changing times that resulted in changing activity patterns. The facilities remain the same, the architectural style lags and the lack of innovation makes the people of Pluit abandon this mall. To determine the factors that caused the decline in the number of visitors at Pluit Village Mall, the author used comparative, qualitative, and direct observation research methods. Data collected from various sources, including journals and the internet, were compared with current theoretical findings. The results of the comparison show that additional buildings that offer a variety of new facilities that are different from the old ones are needed to re-attract visitors and improve the quality of Pluit Village Mall. A "Sportstainment" support facility is proposed to connect Pluit Village Mall with Pluit Reservoir. It is hoped that this will be a successful strategy to attract more visitors, both from Pluit residents and from the rest of North Jakarta. Mall Pluit Village can transform into a new destination of interest to a wide range of people by presenting new and exciting facilities. Not only is the latest generation looking for a more diverse and dynamic shopping and entertainment experience, but longtime visitors will also want to appeal to the new generation.</em></p> <p><strong><em> Keywords: </em></strong><em>Comparative research; Mall Pluit Village; Program; Sportstainment; Strategy</em></p> <p><strong>Abstrak </strong></p> <p>Mall Pluit Village, yang didirikan pada tahun 1996 dan memiliki luas 86.691 meter persegi, dulunya merupakan pusat hiburan utama di kawasan Pluit. Namun, jumlah pengunjung terus berkurang setiap tahunnya. Mall Pluit Village tidak mengantisipasi perubahan zaman yang mengakibatkan perubahan pola aktivitas. Fasilitasnya yang tetap sama, gaya arsitekturnya yang tertinggal, dan kurangnya inovasi membuat masyarakat Pluit meninggalkan mal ini. Untuk menentukan faktor-faktor yang menyebabkan penurunan jumlah pengunjung di Mall Pluit Village, penulis menggunakan metode penelitian komparatif, kualitatif, dan observasi langsung. Data yang dikumpulkan dari berbagai sumber, termasuk jurnal dan internet, dibandingkan dengan temuan teori saat ini. Hasil komparasi menunjukkan bahwa bangunan tambahan yang menawarkan berbagai fasilitas baru yang berbeda dengan yang lama diperlukan untuk kembali menarik pengunjung dan meningkatkan kualitas Mall Pluit Village. Konsep fasilitas pendukung "<em>Sportstainment</em>" diusulkan untuk menghubungkan Mall Pluit Village dengan Waduk Pluit. Diharapkan ini akan menjadi strategi yang berhasil untuk menarik lebih banyak pengunjung, baik dari penduduk Pluit maupun dari seluruh Jakarta Utara. Mall Pluit Village dapat berubah menjadi destinasi baru yang diminati berbagai kalangan dengan menghadirkan fasilitas baru dan menarik. Tidak hanya generasi baru yang mencari pengalaman berbelanja dan hiburan yang lebih beragam dan dinamis, tetapi pengunjung lama juga ingin menarik kembali pembaruan ini. Di tengah persaingan ketat dengan mal-mal lainnya di Jakarta, menggabungkan elemen olahraga dan hiburan dalam satu tempat dapat menjadi kunci sukses dalam mengembalikan kualitas Mall Pluit Village.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30873REVITALISASI KAWASAN HARMONI: PENANGANAN SUDUT SIMPANG HARMONI DENGAN KARAKTER HIJAU2024-08-19T06:46:09+00:00Frans Michaelfransmichael335@gmail.comNina Carinaninac@ft.untar.ac.id<p>Harmoni junction reached its heyday in the 19th century marked by the emergence of the Societeit de Harmonie building and followed by the construction of hotels in the vicinity. However, the Harmoni intersection has experienced degradation of the area's vitality due to changes and developments. The Harmoni area in recent years has only become a transit point for Transjakarta users and is not as busy as it was during its heyday. Currently, Harmoni Intersection is undergoing development in terms of transportation with the construction of the Harmoni MRT station and the renovation of the Harmoni Transjakarta Central Shelter. In line with the development carried out by the government in terms of public transportation, it is necessary to develop functions and activities that can revive the Harmony Area. The method used is a qualitative and comparative method by examining the history of the development of the Harmony Area until it reached its heyday and the turning point of the reason for degradation to date. To obtain a proposal for a suitable function for the Harmony Area by handling the abandoned corner of the Harmoni Intersection of the former Hotel Des Galeries. The concept of a breathing place as a new landscape for the city of Jakarta can be a solution to revitalize the Harmony Intersection in the middle of the increasingly crowded city of Jakarta. In addition, the concept of a breathing place is harmonized with the idea of green architecture in helping to deal with pollution in Jakarta. Meanwhile, the addition of main entertainment functions such as aviaries as exhibitions, exhibitions about the history of Harmony Intersection and city parks, as well as main functions according to the needs of public transportation users such as working areas and coffee shops.</p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>Breathing Place; District Degradation; Green Architecture; Harmoni District; Revitalization</em></p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Simpang Harmoni mencapai masa kejayaannya pada abad 19 ditandai dengan munculnya bangunan Societeit de Harmonie dan diikuti dengan pembangunan hotel-hotel di sekitarnya. Namun, simpang Harmoni mengalami degradasi kevitalan kawasan akibat perubahan dan perkembangan zaman. Kawasan Harmoni beberapa tahun terakhir hanya menjadi tempat transit bagi pengguna Transjakarta dan tidak ramai aktivitas seperti saat masa kejayaannya. Saat ini, Simpang Harmoni sedang mengalami pengembangan dalam sisi transportasi dengan adanya pembangunan stasiun MRT Harmoni dan Renovasi Halte Sentral Transjakarta Harmoni. Selaras dengan pengembangan yang dilakukan pemerintah dari sisi transportasi publik, perlu dilakukan pengembangan fungsi dan aktivitas yang dapat menghidupkan Kawasan Harmoni kembali. Metode yang digunakan yaitu metode kualitatif dan komparatif dengan mengkaji sejarah dari perkembangan Kawasan Harmoni hingga mencapai masa kejayaannya dan titik balik alasan terjadi degradasi hingga saat ini. Untuk memperoleh usulan fungsi yang cocok bagi Kawasan Harmoni dengan penanganan Sudut Simpang Harmoni bekas Hotel Des Galeries yang terbengkalai. Konsep breathing place sebagai lanskap baru bagi Kota Jakarta, dapat menjadi solusi untuk memvitalkan kembali Simpang Harmoni di tengah Kota Jakarta yang semakin padat. Selain itu, konsep breathing place diselaraskan dengan konsep arsitektur hijau dalam membantu penanganan polusi di Jakarta. Sementara itu, dilakukan juga penambahan fungsi utama hiburan seperti aviari sebagai pameran, pameran tentang histori Simpang Harmoni dan taman kota, serta fungsi utama sesuai kebutuhan pengguna transportasi publik seperti working area dan coffee shop.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30874REGENERASI PASARAYA MANGGARAI SEBAGAI RUANG REKREASI DAN KOMERSIAL DENGAN PENDEKATAN TRANSPROGRAMMING2024-08-19T06:47:18+00:00Gilang Fauzigilangfauzianyang@gmail.comSuwandi Supatraybhan50@gmail.com<p>City life is now increasingly modern and dynamic, accompanied by advances in digital technology which have caused changes in the lifestyle of city residents. Pasaraya Manggarai is a place that has been affected by this modernization and has experienced significant decline because it is unable to adapt to changing times. The emergence of new and more modern shopping centers resulted in the market starting to lose interest because it could not compete, until finally in 2020 the market stopped operating and the condition of the market is now an abandoned space considered Placeless. The market location holds many memories and is a witness to the development of the Manggarai area, which was once a commercial center until now it has become a major transit area. Therefore, the main objective of this project is to change the face of the Pasaraya into a new commercial and recreational area and maximize Manggarai's potential as a central station. Through the application of contextual methods and transprogramming, it can produce interesting, adaptive and integrated programs with the Manggarai area. In the end, the project will lead to the development of a shopping center, recreation area and cultural education center with a modern touch. The rebuilding of this market is designed to become an attraction in the Manggarai area. Later programs such as Shopping Retail, Game Sports, Communal & Co-Working Space, Reflexology, Hydrotherapy, Bike Park, Bike Exhibition, Interactive Museum, Art Gallery, Exhibition Hall and Public Green Space. This project is expected to become a place to stop, create space for interaction, grow new communities, improve the community's economy and become a new identity for the dynamic Manggrai area.</p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>Contextual; Placeless; Recreation; Shopping Center; Transprogramming</em></p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Kehidupan kota kini semakin modern dan dinamis dengan diiringi oleh kemajuan teknologi digital yang menyebabkan perubahan gaya hidup masyarakat kota. Pasaraya Manggarai menjadi tempat yang terkena dampak modernisasi ini sehingga mengalami kemerosotan signifikan karena tidak mampu beradaptasi dengan perubahan zaman. Munculnya pusat perbelanjaan yang baru dan lebih modern mengakibatkan pasaraya mulai kehilangan ketertarikan karena tidak dapat bersaing, hingga akhirnya pada tahun 2020 pasaraya berhenti beroperasional dan kondisi pasaraya kini menjadi ruang terbengkalai dianggap Placeless. Titik lokasi pasaraya menyimpan banyak memori dan menjadi saksi perkembangan kawasan Manggarai yang dulu merupakan pusat perniagaan hingga sekarang menjadi kawasan transit utama. Oleh karena itu, tujuan utama proyek ini mengubah wajah pasaraya menjadi area komersial dan rekreasi baru serta memaksimalkan potensi Manggarai sebagai stasiun sentral. Melalui penerapan metode kontekstual dan transprogramming dapat menghasilkan program menarik, adaptif dan terintegrasi dengan kawasan Manggarai. Pada akhirnya Proyek akan mengarah pada pengembangan sebuah pusat perbelanjaan, area rekreasi dan pusat edukasi budaya dengan sentuhan modern, Penmbangunan Kembali pasaraya ini dibuat untuk menjadi atraktor di kawasan Manggarai. Nantinya program seperti Shopping Retail, Game Sports, Communal & Co-Working Space, Reflexology, Hydrotherapy, Bike Park, Bike Exhibition, Interactive Museum, Art Gallery, Exhibition Hall dan Ruang Hijau Publik. Proyek ini diharapkan menjadi tempat singgah, terciptanya ruang interaksi, tumbuhnya komunitas baru, meningkatkan perekonomian masyarakat serta menjadi indentitas baru kawasan manggrai yang dinamis.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30875PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PEDAGANG PASAR LOAK KEBAYORAN LAMA MELALUI PENATAAN TATA RUANG PASAR2024-08-19T06:48:26+00:00Hendra Hardoyohendrahardoyo2002@gmail.comSuwandi Supatrasuwandis@ft.untar.ac.id<p>The prediclection of buying second-hand goods has become popular in early 2024 among millennials. One of the most popular places to find quality second-hand goods is at the Kebayoran Lama flea market. The placement of traders in the Kebayoran Lama flea market is not well organised, the traders have stalls scattered around the road pavement with semi-permanent buildings or only with mats. Public facilities around Kebayoran Lama cannot function properly, especially on sidewalks and some roads that are disrupted due to the activities of the Kebayoran Lama flea market. This research aims to provide a more appropriate place for market traders, as well as to reorganise the Kebayoran Lama flea market traders. This market has potential as a centre of economic activity for the Kebayoran Lama community. Contextual method is used as a design approach in responding to the surrounding area as a design concept later. The research results show that the Kebayoran Lama flea market is not yet comfortable for traders and visitors, even though the flea market has economic potential for traders. Novelty is the need for facilities that can respond to the needs of the old kebayoran flea market by re-conceptualising the market to be more modern and organised with architectural disciplines.</p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>Contextual; Layout; </em><em>Market; Old kebayoran</em></p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Kegemaran membeli barang-barang bekas menjadi populer dalam awal tahun 2024 bagi kalangan <em>milenial</em>. Salah satu tempat terkenal untuk mencari barang bekas berkualitas adalah di Pasar Loak Kebayoran Lama. Penempatan para pedagang di Pasar Loak Kebayoran Lama tidak tertata dengan baik, para pedagang memiliki lapak yang bersebaran di sekitar trotoar jalan dengan bangunan semi permanen atau hanya beralaskan dengan tikar. Fasilitas publik di sekitar Kebayoran Lama tidak dapat berfungsi dengan baik, terutama pada trotoar dan beberapa jalan yang terganggu akibat adanya aktivitas Pasar Loak Kebayoran Lama. Penulisan ini bertujuan untuk memberikan tempat yang lebih layak bagi para pedagang Pasar, serta melakukan penataan kembali para pedagang Pasar Loak Kebayoran Lama. Pasar ini memiliki potensi sebagai pusat kegiatan ekonomi bagi masyarakat Kebayoran Lama. Metode kontekstual digunakan sebagai pendekatan desain perancangan dalam merespons keadaan sekitar kawasan sebagai konsep perancangan nantinya. Hasil penelitan menunjukkan bahwa Pasar Loak kebayoran lama belum nyaman bagi para pedagang dan pengunjung, padahal Pasar Loak memiliki potensi ekonomi untuk para pedagang. Kebaruan dibutuhkannya fasilitas yang dapat merespons kebutuhan di Pasar Loak Kebayoran Lama dengan mengkonsep ulang Pasar menjadi lebih modern dan tertata dengan displin ilmu arsitektur.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30876PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENINGKATAN KUALITAS HIDUP: MENGEMBALIKAN IDENTITAS KAMPUNG KERANG HIJAU MUARA ANGKE2024-08-19T06:49:47+00:00Richelle Angeline LizarRichelleangeline@gmail.comSuwandi Supatraybhan50@gmail.com<p>Kampung Kerang Hijau, which is part of Kampung Nelayan Muara Angke, is known as the center of Jakarta's green mussel catch, which has become its trademark. However, the village is facing problems that threaten the sustainability of its identity in the current era. This research aims to identify these problems and offer architectural solutions to restore the village's identity. A descriptive qualitative method was used, focusing on the detailed depiction of spatial and building phenomena based on individual experiences. Data was collected through direct observation and interviews with local residents to understand their problems and aspirations. Infrastructure development and improving the quality of life of fishermen in Kampung Kerang Hijau are expected to restore the essence and identity of the village. The architectural solution chosen is expected to overcome the problems faced by this village and strengthen its identity. Thus, it is expected that this village can maintain its existence and cultural uniqueness while adapting to changing times. This research is expected to provide a deeper insight into the problems faced by the village, and offer appropriate solutions to support the sustainability and restoration of the identity of Kampung Kerang Hijau in Muara Angke. The proposed solutions include a residential design on stilts that has connectivity between residences and other public facilities on the second floor so that residents' activities are not hampered when floods hit, village public facilities that support residents' daily activities and needs as well as community socialization, and a green mussel breeding program to improve the quality of green mussel harvests.</p> <p><strong>Keywords: </strong>Identity; Infrastructure; Kerang Hijau Village; People; Placeless Place</p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Kampung Kerang Hijau, yang merupakan bagian dari Kampung Nelayan Muara Angke, dikenal sebagai pusat hasil tangkapan Kerang Hijau di Jakarta, yang menjadi ciri khasnya. Namun, kampung ini menghadapi masalah yang mengancam keberlangsungan identitasnya pada era saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi masalah tersebut dan menawarkan solusi arsitektur guna memulihkan identitas kampung. Metode deskriptif kualitatif digunakan, dengan fokus pada penggambaran rinci fenomena ruang dan bangunan berdasarkan pengalaman individu. Untuk memahami permasalahan dan tuntutan warga setempat, pengumpulan data dilakukan melalui observasi langsung dan wawancara terhadap warga setempat. Pengembangan infrastruktur dan peningkatan kualitas hidup nelayan di Kampung Kerang Hijau diharapkan dapat mengembalikan esensi dan identitas kampung. Solusi arsitektural yang dipilih diharapkan dapat mengatasi masalah yang dihadapi kampung ini dan memperkuat jati dirinya. Dengan demikian, diharapkan kampung ini dapat mempertahankan keberadaan dan keunikan budayanya sambil beradaptasi dengan perubahan zaman. Penelitian ini diharapkan memberikan pandangan yang lebih dalam tentang permasalahan yang dihadapi kampung tersebut, serta menawarkan solusi yang tepat guna mendukung keberlangsungan dan pemulihan identitas Kampung Kerang Hijau di Muara Angke. Solusi yang diusulkan antara lain adalah desain hunian panggung yang memiliki konektivitas antar hunian dan fasilitas umum lainnya pada lantai dua agar aktivitas para warga tidak terhambat saat banjir melanda, fasilitas umum kampung yang mendukung aktivitas dan kebutuhan sehari-hari warga juga sosialisasi warga, dan program perkembangbiakan kerang hijau guna menaikkan kualitas hasil panen kerang hijau.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30877INTEGRASI RUANG DAN KEHIDUPAN MELALUI ADAPTIVE REUSE DI KAWASAN SENEN, JAKARTA PUSAT2024-08-19T06:54:26+00:00Rainy Rainyrainysitorus@gmail.comTheresia Budi Jayantitheresiaj@ft.untar.ac.id<p><em>The Grand Theater Senen was one of the first single cinema buildings in Jakarta to be very popular in the 1980s. The Senen Grand Theatre's downturn was caused by the defeat of the competition due to the emergence of modern cinemas, as well as the degradation of the Senen area as a result of the monetary crisis. Although the government has attempted to revitalize the Senen Area several times, there are only a few crowded points. As a result of the degradation, the GTS was abused as a venue for blue films, drug sales, and prostitution. Currently, the building is abandoned. The location of the building is in Simpang Lima or Senen Triangle Area, one of the high-mobility intersections in central Jakarta. In this context, the research aims to understand the role of environmental damage and area degradation in building conditions, by proposing Adaptive Reuse as a primary solution. The plan includes the development of people-crossing bridges (JPOs), capsule hotels for commuters, rental offices, and commercial areas, which not only enhance connectivity but also create a more comfortable, secure, and sustainable environment, so that GTS can support the economic growth of communities especially in the dynamic Senen Area, while improving the quality of life of people and improving neglected environmental conditions, making GTS a functional hub that can facilitate both outdoor and indoor accessibility, providing safe and comfortable accommodation.</em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>Adaptive reuse; Commuter; Hotel capsule</em>; <em>Interconnection</em>; R<em>ent virtual office</em></p> <h3>Abstrak</h3> <p><em>Grand</em> <em>Theater</em> Senen merupakan salah satu gedung bioskop tunggal pertama di Jakarta yang sangat populer pada era 80-an. Kemunduran <em>Grand</em> <em>Theater</em> Senen disebabkan oleh kalah saing karena kemunculan bioskop modern, juga terjadinya degredasi pada Kawasan Senen yang disebabkan oleh krisis <em>moneter</em>. Walaupun pemerintah sudah berupaya melakukan revitalisasi Kawasan Senen beberapa kali, namun hanya ada beberapa titik yang ramai. Akibat dari degredasi tersebut, <em>GTS</em> disalahgunakan sebagai tempat pemutaran film biru, penjualan narkoba, dan prostitusi. Saat ini, bangunan tersebut terbengkalai. Lokasi bangunan ada di Simpang Lima atau Kawasan Segitiga Senen, salah satu persimpangan yang memiliki mobilitas tinggi di Jakarta Pusat. Dalam konteks ini, penelitian bertujuan untuk memahami peran kerusakan lingkungan dan degradasi kawasan dalam kondisi bangunan, dengan mengusulkan Adaptive Reuse sebagai solusi utama. Rencana ini mencakup pengembangan jembatan penyeberangan orang (<em>JPO</em>), hotel kapsul untuk komuter, kantor sewa, dan area komersial, yang tidak hanya meningkatkan konektivitas namun juga menciptakan lingkungan yang lebih nyaman, aman, dan berkelanjutan, sehingga <em>GTS</em> dapat mendukung pertumbuhan ekonomi masyarakat terutama di Kawasan Senen yang dinamis, sambil meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan memperbaiki kondisi lingkungan yang terabaikan, menjadikan <em>GTS</em> sebagai sebuah hub fungsional yang dapat memudahkan aksesibilitas baik dari luar maupun dalam ruangan, penyediaan akomodasi yang aman dan nyaman.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30878MENGEMBALIKAN IDENTITAS MUARA ANGKE MELALUI STRATEGI PENGELOLAAN BUDIDAYA IKAN YANG BERKELANJUTAN2024-08-19T06:55:49+00:00Arlene Wibinarleneewibinn@hotmail.comTheresia Budi Jayantitheresiaj@ft.untar.ac.id<p>Muara Angke, once a place rich in meaning and identity for fishermen, is facing a series of phenomena that have transformed it into a placeless place. Fishermen who once relied on the waters for their livelihoods now face significant challenges in finding sustenance from what they once called "place." The aim of this research is to explore the role of architecture in assisting the community in maintaining economic resilience and cultural significance to ensure sustainable programs. The methods employed include data analysis, field observations, and interviews to comprehensively understand the socio-economic dynamics and environmental conditions in Muara Angke. The proposed architectural solution includes the design of a fish processing industry and training for fishermen that facilitates economic activities, as well as providing commercial spaces to attract the general public. The findings of this research are expected to make a significant contribution to the local economic development of Muara Angke and restore the meaning and identity of "place" for the fishermen. Additionally, the research findings are anticipated to provide new insights into sustainable natural resource management strategies in coastal areas affected by environmental changes. The novelty of this research lies in its holistic approach, integrating social, economic, and environmental aspects in addressing the challenges faced by the fishing communities in Muara Angke from an architectural perspective.</p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>Fishermen; Identity; Muara Angke; Placeless place; Sustainable</em></p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Muara Angke, dulunya merupakan sebuah tempat kaya akan makna dan identitas bagi para nelayan, menghadapi fenomena yang mengubahnya menjadi tempat yang kehilangan keberadaannya, menjadikannya <em>placeless place</em>. Nelayan yang dulunya menggantungkan hidup mereka pada hasil tangkapan di perairan, kini menghadapi tantangan besar untuk mencari dari tempat yang dahulu mereka panggil sebagai "<em>place</em>". Tujuan dari penelitian adalah mengeksplorasi peran arsitektur dalam membantu masyarakat dalam menjaga resiliensi ekonomi dan signifikansi budaya tempat agar mendapatkan program berkelanjutan. Metode yang digunakan meliputi analisis data, observasi lapangan, dan wawancara untuk memahami secara holistik dinamika sosial-ekonomi dan kondisi lingkungan di Muara Angke. Solusi arsitektur yang diusulkan meliputi desain industri pengelolaan ikan dan pelatihan bagi para nelayan yang memfasilitasi kegiatan ekonomi, serta menyediakan ruang komersial untuk menarik masyarakat umum. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi lokal di Muara Angke serta memulihkan kembali makna dan identitas "<em>place</em>" bagi para nelayan. Temuan dari penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan wawasan baru terhadap strategi pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan di kawasan pesisir yang terdampak perubahan lingkungan. Kebaruan dari penelitian ini adalah pendekatan holistik yang menggabungkan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan dalam upaya untuk mengatasi tantangan yang dihadapi oleh komunitas nelayan di Muara Angke secara arsitektural.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30880DESAIN MODUL HUNIAN KHUSUS SENIMAN 2024-08-19T07:02:10+00:00Norlando Thomson Carlheinzt Yobethomsonyobe@gmail.comSuwardana Winatasuwardanaw@ft.untar.ac.id<p>The Ismail Marzuki Park Art Center has become an area for artists to work and exhibit. In 2019-2024, the art center is undergoing revitalization, but artists and culturalists are protesting this change, one of which is the change of the artist's special wedding function to the hotel. This leads to a loss of identity in the area because the artists who were supposed to revive the area of the art center now disappear and set up their own posko with a badge. In fact, artists with a wide range of skills also need space to work. The purpose of writing this journal is to study, understand, and explore the humane modules that support the artist in creating, preserving, and displaying or showcasing the work of the artist. In addition, this space can also accommodate tools and materials other than the reactions of the artist with his art in the space, so that the discovery of sufficient space loads can be achieved. It is obtained and studied through spatial study methods, literature studies, or other mediators that can support it. Therefore, a number of space indicators are suitable for artists with direct analysis methods on self-made two- or three-dimensional space image modules. As a result, there are some recommended spaces to be used in the artist's special dwellings.</p> <p><strong>Keywords:</strong> Art; Artist; Creation; Space</p> <p><strong>Abstrak </strong></p> <p>Pusat seni Taman Ismail Marzuki telah menjadi area untuk berkarya dan menampilkan karya para seniman. Pada tahun 2019-2024 pusat seni ini mengalami revitalisasi, namun para seniman dan budayawan memprotes perubahan ini salah satunya adalah karena perubahan fungsi wisma khusus seniman menjadi hotel. Hal ini menimbulkan Hilangannya identitas pada kawasan karena seniman yang semestinya menghidupkan area pusat seni, kini menghilang dan mendirikan posko sendiri dengan tagar <em>savetim.</em> Sebenarnya seniman dengan berbagai macam keterampilan yang dimiliki juga membutuhkan ruang untuk berkarya. Tujuan penulisan jurnal ini adalah untuk mempelajari, memahami, dan mengeksplorasi modul hunian yang mendukung seniman untuk berkreasi, menyimpan, dan memajang atau menunjukkan karya yang telah dibuat oleh sang seniman. Selain itu, ruang ini juga dapat mengakomodasi alat-alat dan bahan-bahan selain itu aksi-reaksi seniman dengan seninya di dalam ruang tersebut, agar penemuan terhadap muatan ruang yang cukup dapat tercapai. Hal ini didapatkan dan dipelajari melalui metode studi ruang, kajian literatur, maupun mediator-mediator lain yang dapat mendukung. Oleh karena itu, dibuat beberapa Indikator ruang yang cocok untuk seniman dengan metode analisis langsung pada modul gambar ruang yang dibuat sendiri secara dua maupun tiga dimensi. Hasilnya ada beberapa ruang yang direkomendasikan untuk digunakan pada hunian khusus seniman.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30882PENERAPAN METODE ARSITEKTUR KESEHARIAN DALAM PERANCANGAN DESAIN MEETING POINT DI GUNUNG SAHARI, JAKARTA PUSAT2024-08-19T07:08:34+00:00Scholastica Violetha Meylinascholetha@gmail.comDoddy Yuonododdyy@ft.untar.ac.id<p><em>Golden Truly Mall is a place for recreation, a place to eat, a gathering place for various groups of people both from the surrounding area and outside because of its strategic location, in the city center, and close to TransJakarta transportation. Based on the results of a qualitative survey of the surrounding community, there are still many who feel they have missed the "Golden Truly Mall". In creating a new meeting point, it is necessary to collect data using qualitative methods to study the needs of the local community. So using everyday architectural methods, this project focuses on people's needs and habits in using public spaces. Apart from considering their various needs, we also consider several aspects of the simple modern economy that can support people's businesses in the field of online commerce, as well as increase their productivity as students and workers. Because the surrounding community consists of various age groups, this meeting point also has various points and spatial functions that have been considered for their needs based on their age. In this way, it is hoped that this place can become a shared home, especially for the local community. Where all their needs can be fulfilled in this place.</em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>Architecture; Everydayness architecture; Placeless place; Transit hub</em></p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Golden Truly Mall merupakan sebuah tempat rekreasi, tempat makan, tempat berkumpulnya berbagai kalangan masyarakat baik dari daerah sekitar maupun dari luar karena lokasinya yang strategis, berada di pusat kota, dan dekat dengan transportasi TransJakarta. Berdasarkan hasil survey kualitatif terhadap masyarakat sekitar, masih banyak yang merasa kehilangan “Mall Golden Truly”. Dalam menciptakan sebuah titik pertemuan yang baru, maka perlu dilakukan pengumpulan data dengan metode kualitatif untuk mempelajari kebutuhan masyarakat daerah tersebut. Sehingga dengan metode arsitektur keseharian, proyek ini berfokus pada kebutuhan dan kebiasaan masyarakat dalam menggunakan ruang publik. Selain mempertimbangkan berbagai macam kebutuhan mereka, juga mempertimbangkan beberapa aspek perekonomian modern sederhana yang bisa mendukung usaha masyarakat dalam bidang perdagangan secara daring, serta meningkatkan produktifitas mereka sebagai pelajar dan pekerja. Karena masyarakat sekitar terdiri dari berbagai kelompok usia, maka titik temu ini juga memiliki berbagai titik dan fungsi ruang yang sudah dipertimbangkan untuk kebutuhan mereka berdasarkan usianya. Dengan demikian, diharapkan tempat ini bisa menjadi rumah bersama, terutama bagi masyarakat sekitar. Dimana segala kebutuhan mereka dapat terpenuhi di tempat ini.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30885PENATAAN KEMBALI KAWASAN PASAR MINGGU DENGAN PENERAPAN KONSEP TRANSIT ORIENTED DEVELOPMENT2024-08-19T07:10:21+00:00Fernando Cunnorisfernando.315200012@stu.untar.ac.idDoddy Yuonododdyy@ft.untar.ac.id<p><em>The Pasar Minggu, which has long been known as an important trade and transportation center in Jakarta, is now facing significant degradation due to chaotic and disorganized conditions. This chaos not only causes a decline in the environmental quality and efficiency of the area, but also eliminates the element of integration that previously characterized Pasar Minggu. To overcome this problem, this research explores the potential for re-developing the Pasar Minggu area into a Transit-Oriented Development (TOD) area. The TOD approach aims to maximize regional potential by integrating public transportation modes, increasing connectivity, and optimizing land use. Through design that pays attention to transportation integration, it is hoped that this area can become more orderly, comfortable and sustainable. This research also emphasizes the importance of follow-up studies to ensure comprehensive planning and effective implementation. In this way, the transformation of the Pasar Minggu area can be achieved optimally, restoring its social and economic functions, and making it an example of successful TOD implementation in urban Indonesia. To overcome this problem, this research explores the potential for re-developing the Pasar Minggu area into a Transit-Oriented Development (TOD) area. The TOD approach aims to maximize regional potential by integrating public transportation modes, increasing connectivity, and optimizing land use. Through design that pays attention to transportation integration, it is hoped that this area can become more orderly, comfortable and sustainable. This research also emphasizes the importance of further studies to ensure comprehensive planning and effective implementation, so that the transformation of the Pasar Minggu area can be achieved optimally, restoring its social and economic function, and making it an example of successful TOD implementation in urban Indonesia.</em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>Chaos; Mixed-used; Transit</em></p> <h1>Abstrak</h1> <p>Kawasan Pasar Minggu, yang selama ini dikenal sebagai pusat perdagangan dan transportasi penting di Jakarta, kini menghadapi degradasi signifikan akibat kondisi yang semrawut dan tidak teratur. Kesemrawutan ini tidak hanya menyebabkan penurunan kualitas lingkungan dan efisiensi kawasan, tetapi juga menghilangkan unsur pembauran yang sebelumnya menjadi ciri khas Pasar Minggu. Untuk mengatasi masalah ini, penelitian ini mengeksplorasi potensi pengembangan ulang kawasan Pasar Minggu menjadi kawasan <em>Transit-Oriented Development</em> (<em>TOD</em>). Pendekatan <em>TOD</em> bertujuan untuk memaksimalkan potensi kawasan dengan mengintegrasikan moda transportasi umum, meningkatkan konektivitas, serta mengoptimalkan penggunaan lahan. Melalui desain yang memperhatikan integrasi transportasi, diharapkan kawasan ini dapat menjadi lebih teratur, nyaman, dan berkelanjutan. Penelitian ini juga menekankan pentingnya studi lanjutan untuk memastikan perencanaan yang <em>komprehensif</em> dan implementasi yang efektif. Dengan demikian, transformasi kawasan Pasar Minggu dapat tercapai secara optimal, mengembalikan fungsi sosial dan ekonominya, serta menjadikannya contoh penerapan <em>TOD</em> yang berhasil di perkotaan Indonesia. Untuk mengatasi masalah ini, penelitian ini mengeksplorasi potensi pengembangan ulang kawasan Pasar Minggu menjadi kawasan <em>Transit-Oriented Development (TOD)</em>. Pendekatan <em>TOD</em> bertujuan untuk memaksimalkan potensi kawasan dengan mengintegrasikan moda transportasi umum, meningkatkan konektivitas, serta mengoptimalkan penggunaan lahan. Melalui desain yang memperhatikan integrasi transportasi, diharapkan kawasan ini dapat menjadi lebih teratur, nyaman, dan berkelanjutan. Penelitian ini juga menekankan pentingnya studi lanjutan untuk memastikan perencanaan yang <em>komprehensif</em> dan implementasi yang efektif, sehingga transformasi kawasan Pasar Minggu dapat tercapai secara optimal, mengembalikan fungsi sosial dan ekonominya, serta menjadikannya contoh penerapan <em>TOD</em> yang berhasil di perkotaan Indonesia.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30886RUANG BUDAYA SEBAGAI REPRESENTASI PERKEMBANGAN MASYARAKAT BATAK DI KAWASAN CAWANG DAN CILILITAN2024-08-19T07:11:32+00:00Christian Agung Jaya Nababanchirstianagungjaya@yahoo.comDoddy Yuonododdyy@ft.untar.ac.id<p><em>Cawang and Cililitan are areas located in Kramat Jati subdistrict, East Jakarta. This region is known for its predominantly Batak population and high crime rates. Historically, Cawang and Cililitan were associated with criminality, including ethnic conflicts between Bataks and Ambonese, UKI student unrest, and involvement with drugs and petty crime. However, despite these dark pasts, the areas have transformed into a popular cultural destination for Bataks from North Sumatra. The region has a long history and strong Batak culture, with Batak residents often involved in criminal activities such as ethnic conflicts, student unrest, drug involvement, and petty crime. Despite being shrouded by negative stories of criminality, Cawang and Cililitan have risen with the progressive thinking of its residents. As time has progressed, the community, including the Batak population, has become more developed in their thinking, leading to improved conditions in the area.To enhance the area's image and promote Batak culture, a Cultural Center was built. This center serves as a symbol of progress and a platform to elevate Batak perspectives and essence. The architectural design combines traditional Batak elements like gorga and ulos with modern and sustainable touches. The integration of green buildings and solar panels results in energy-efficient and environmentally friendly structures. The Cultural Center in Cawang and Cililitan is a testament to the harmonization of culture and modernization, guiding the area towards a brighter future.</em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>Batak Ethnic; Cawang and Cililitan; Cultural Center; Neo Vernacula</em><em>r</em></p> <h1>Abstrak</h1> <p>Cawang dan Cililitan merupakan wilayah yang terletak di Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur. Daerah ini cukup dikenal dengan masyarakatnya yang didominasi oleh Suku Batak dan juga tingkat kriminalitasnya yang tinggi. Cawang dan Cililitan, dua wilayah di Jakarta Timur ini dulunya identik dengan kriminalitas, kini bertransformasi menjadi tujuan wisata budaya Batak yang ramai. Dikenal sebagai tempat perantauan orang Batak dari Sumatera Utara, wilayah ini memiliki sejarah panjang dan budaya Batak yang kental. Orang Batak yang tinggal di Cawang dan Cililitan dulunya seringkali terlibat tindak kriminalitas seperti kerusuhan antara orang Batak dan orang ambon (antar suku), kerusuhan mahasiswa UKI (antar fakultas), keterlibatan masyarakat dengan narkoba serta marakanya <em>premanisme</em> dan pencurian di kawasan tersebut. Meskipun sempat diselimuti cerita kelam kriminalitas, Cawang dan Cililitan bangkit dengan pemikiran maju masyarakatnya. Seiring berkembangnya zaman pada kawasan tersebut membuat masyarakat di wilayah tersebut termasuk masyarakat Batak lebih berkembang dalam segi pemikiran yang mana hal tersebut menyebabkan peningkatan kondusifitas pada wilayah tersebut. Upaya untuk meningkatkan citra kawasan dan memajukan budaya Batak melahirkan solusi yaitu dengan membangunnya sebuah <em>Cultural Center</em>. <em>Cultural Center</em> ini bukan hanya simbol kemajuan, tetapi juga wadah untuk mengangkat pandangan dan esensi orang Batak. Mengusung konsep arsitektur neo-vernakular, desainnya memadukan unsur tradisional Batak seperti gorga dan ulos dengan sentuhan modern dan berkelanjutan. Penggabungan bangunan hijau dan solar panel menghasilkan struktur yang hemat energi dan ramah lingkungan. <em>Cultural Center</em> Cawang dan Cililitan menjadi bukti nyata harmonisasi budaya dan kemajuan zaman, mengantarkan wilayah ini menuju masa depan yang lebih cerah.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30887PENERAPAN DESAIN BIOFILIK PADA PERANCANGAN RUANG PUBLIK DI KAWASAN GUNUNG SAHARI2024-08-19T07:19:05+00:00Steven Natastevennata123@gmail.comAgnatasya Listianti Mustaramagnatasyal@ft.untar.ac.id<p>Gunung Sahari is one of the areas in Jakarta. This area has been known for a long time as an office and government area, making this area one of the areas that is quite busy for the public to pass through. However, recently, this area has experienced some decline, such as many buildings starting to be neglected and abandoned by their owners because there are no visitors. So that in order to attract public attention again, the Gunung Sahari area requires several additional functions, one of which is public space. Public space itself is a room that is able to accommodate various kinds of community activities that occur in it. So public spaces are currently in demand by the wider community as a place to relax, entertain and gather with relatives and family. However, not all public spaces can provide good accommodation due to factors such as heat from the sun, air, wind, etc., which can affect the comfort level of the public space itself. So, one way to respond to this is by implementing several natural elements into public spaces using biophilic design. Biophilic design itself refers to the inclusion of natural elements into a room. Currently, incorporating natural elements into the spaces in buildings has become a trend. As seen in several buildings such as malls, offices and several other public buildings. Incorporating Biophilic elements in buildings can also be a solution to several problems such as dealing with heat in the building, making the building atmosphere more comfortable, minimizing stress levels for room users, etc. Gunung Sahari area also requires biophilic design. By implementing biophilic elements in this area, it can help attract visitors to return to this area.</p> <p><strong>Keywords: </strong>architecture; biophilic design; community; gunung sahari; public space</p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Gunung Sahari adalah salah satu kawasan yang ada di Jakarta. Kawasan ini sudah dikenal sejak lama sebagai kawasan perkantoran dan pemerintahan, sehingga membuat kawasan ini menjadi salah satu kawasan yang cukup ramai untuk dilalui oleh masyarakat. Namun belakangan ini, kawasan ini mengalami beberapa penunrunan, seperti mulai banyak bangunan yang tidak terurus dan ditinggal oleh pemiliknya karena sepi akan pengunjung. Sehingga untuk dapat kembali menarik perhatian masyarakat, kawasan Gunung Sahari memerlukan beberapa fungsi tambahan, salah satunya ruang publik. Ruang publik sendiri adalah ruangan yang mampu menampung berbagai macam aktivitas-aktivitas masyarakat yang terjadi didalamnya. Sehingga ruang publik saat ini sedang diminati oleh masyarakat luas sebagai tempat bersantai, hiburan, dan berkumpul bersama kerabat dan keluarga. Namun, tidak semua ruang publik dapat memberikan akomodasi yang baik akibat faktor-faktor seperti panas matahari, udara, angin, dll, yang dapat mempengaruhi tingkat kenyamanan dari ruang publik itu sendiri. Sehingga, salah satu cara untuk menanggapi hal tersebut adalah dengan menerapkan beberapa unsur alam kedalam ruang publik dengan menggunakan desain biofilik. Desain biofilik sendiri mengacu pada pemasukan unsur alam yang ada kedalam suatu ruangan. Saat ini, memasukkan unsur alam dalam ruang-ruang pada bangunan sendiri sudah menjadi sebuah tren. Seperti yang terlihat pada beberapa bangunan seperti bangunan mall, kantor, dan beberapa bangunan publik lainnya. Memasukkan unsur biofilik dalam bangunan juga dapat menjadi solusi untuk beberapa masalah seperti mengatasi panas di dalam bangunan, membuat suasana bangunan menjadi lebih nyaman, meminimalisir tingkat stres pada pengguna ruangan, dll. Kawasan Gunung Sahari pun tidak luput dari hal ini karena memerlukan desain biofilik. Dengan adanya penerapan unsur biofilik pada kawasan ini dapat membantu menarik minat pengunjung untuk kembali mengunjungi kawasan ini.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30888PERPADUAN IDENTITAS LOKAL DAN GLOBAL PADA DESAIN PASAR KULINER BENDUNGAN HILIR2024-08-19T07:20:14+00:00Isabel Gloria Permatasari Sutandigloriasutandi01@gmail.comAgnatasya Listianti Mustaramagnatasyal@ft.untar.ac.id<p><em>Globalization, commercialization and mass communication have brought cultural and geographical homogenization into urban space, giving rise to the term placeless place, namely the reduction of the unique characteristics and identity of a place. One of the places experiencing this phenomenon is the market and Bendungan Hilir Area. Bendungan Hilir Market, which was founded in 1972, used to have the meaning of a "place" with historical value and regional character. However, as time goes by, the value of this “place” disappears due to the influence of globalization. Now, Bendungan Hilir Market is considered less relevant and no longer able to accommodate the needs of the community, resulting in the loss of the value of authenticity, uniqueness and community connection to the market, resulting in a placeless place process. Referring to this background, there is a problem regarding the architectural completion of placeless place at Bendungan Hilir Market. Therefore, the aim of this design is to revive identity, historical ties, and community connections in the current context of globality. The design approach used is the cross-programming and contextual method through spatial experience with the traditional culinary market, meeting hub and supporting mixed use program activity stages. The traditional culinary market is a space that accommodates the main potential in the Bendungan Hilir area, namely as a culinary and commercial area. The meeting hub is the meeting center for the cities of Jakarta and Bendungan Hilir. As well as, supporting the mixed use program to accommodate community activities and services. This stage of activity will be a bond between the local community of Bendungan Hilir, and the global city of Jakarta environment, by creating a sense of place that is integrated with a mix of local and global identity elements.</em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>globality; locality; traditional culinary market; placeless place</em></p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Globalisasi, komersialisasi, dan komunikasi massa telah membawa homogenisasi budaya dan geografis ke dalam ruang kota, memunculkan istilah <em>placeless place</em>, yaitu berkurangnya karakteristik dan identitas unik suatu tempat. Salah satu tempat yang mengalami fenomena ini adalah pasar dan kawasan Bendungan Hilir. Pasar Bendungan Hilir, yang berdiri sejak tahun 1972, dulunya memiliki makna sebagai "<em>place</em>" dengan nilai sejarah dan karakter kawasan. Namun, seiring waktu, nilai "<em>place</em>" ini menghilang karena pengaruh globalisasi. Kini, Pasar Bendungan Hilir dinilai kurang relevan dan tidak lagi mampu mewadahi kebutuhan masyarakatnya, mengakibatkan hilangnya nilai keaslian, keunikan, dan koneksi masyarakat terhadap pasar tersebut, sehingga mengalami proses <em>placeless place</em>. Mengacu pada latar belakang tersebut, terdapat permasalahan bagaimana penyelesain arsitektural <em>placeless place </em>pada Pasar Bendungan Hilir. Oleh karena itu, tujuan dari desain ini adalah untuk menghidupkan kembali identitas, ikatan historis, dan koneksi masyarakat dengan konteks globalitas sekarang ini. Pendekatan desain yang digunakan adalah metode <em>cross-programming </em>dan <em>contextual </em>melalui pengalaman ruang dengan tahapan aktivitas <em>traditional culinary market, meeting hub </em>serta<em> supporting mixed use program. Traditional culinary market </em>merupakan ruang yang mengakomodasi potensi utama di kawasan Bendungan Hilir yaitu sebagai kawasan kuliner dan komersial. <em>Meeting hub </em>menjadi pusat pertemuan kota Jakarta dan Bendungan Hilir. Serta, <em>supporting mixed use program </em>untuk mewadahi kegiatan serta pelayanan masyarakat. Tahapan aktivitas ini akan menjadi pengikat antara masyarakat lokal Bendungan Hilir, dengan lingkungan Globalitas Kota Jakarta, dengan menciptakan <em>sense of place</em> yang terintergrasi dengan perpaduan unsur identitas lokal dan global.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30890REPROGRAM MALL TAMAN PALEM UNTUK MENGHIDUPKAN KEMBALI KAWASAN CENGKARENG TIMUR 2024-08-19T07:25:49+00:00Daniel Henryhenrydanil1010@gmail.comRudy Suryarudys@ft.untar.ac.id<p>Every place has meaning, because place is not only about physicality and activities but also about meaning. Meaning is an identity that a place has, when the memory of humans who collectively interpret a place. The loss of meaning can be caused by several things, one of which is continuous development. Taman Palem Mall also lost its identity due to development. The first mall in Cengkareng became the first modern shopping center in Cengkareng, this mall became the only gathering point in this area, residents from several villages in Cengkareng and outside Cengkareng came for their respective needs, but after the construction of the jorr toll road at that time separated Cengkareng into two, namely west and east Cengkareng, limiting access to the palm garden mall. The separation of Cengkareng resulted in only west Cengkareng which continued to experience growth while east Cengkareng where this mall is located did not experience growth, so this had an impact on the decline of this mall. The location of this mall is strategic because it is on the connecting road between areas so it has the potential to be redeveloped and drive the growth of this area. Reprogram is chosen as a method that will be done to this mall, this is expected in addition to restoring the meaning of this mall can also build the area, especially East Cengkareng. The reprogram is also based on the contextual user and the needs of the East Cengkareng area and is expected to become a new attraction for this area.</p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>Cengkareng; contextual; development; mall taman palem; reprogram</em></p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Setiap tempat memiliki makna, karena tempat bukan hanya bicara soal fisik dan aktivitas tapi tempat juga berbicara soal makna. Makna merupakan sebuah identitas yang dimiliki suatu tempat, ketika memori manusia yang secara kolektif memaknai suatu tempat. Hilangnya makna bisa disebabkan beberapa hal, salah satunya adalah pembangunan yang terus berlanjut. Mall Taman Palem juga kehilangan identitasnya akibat pembangunan yang terjadi. Mall pertama di Cengkareng ini menjadi pusat perbelanjaan modern pertama di Cengkareng, mall ini menjadi titik kumpul satu-satunya di kawasan ini, warga dari beberapa kelurahan di Cengkareng dan diluar Cengkareng datang untuk keperluannya masing-masing, namun setelah pembangunan jalan tol jorr waktu itu memisahkan Cengkareng menjadi dua yaitu Cengkareng barat dan timur sehingga membatasi akses menuju Mall Taman Palem. Terpisahnya Cengkareng mengakibatkan hanya Cengkareng barat yang terus mengalami pertumbuhan sedangkan Cengkareng Timur tempat mall ini berada tidak mengalami pertumbuhan, sehingga ini berdampak pada menurunnya mall ini. Secara lokasi mall ini strategis karena berada di jalan penghubung antar kawasan sehingga berpontensi untuk dibangun kembali dan menggerakan pertumbuhan kawasan ini. Reprogram dipilih sebagai metode yang akan dilakukan terhadap mall ini, hal ini diharapkan selain untuk mengembalikan makna mall ini juga dapat membangun kawasan terutama Cengkareng Timur. Reprogram yang dilakukan juga didasari kontekstual user dan kebutuhan kawasan Cengkareng Timur yang dan diharapkan dapat menjadi daya tarik baru kawasan ini.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30892KEBERLANJUTAN IDENTITAS LOKAL: REVITALISASI PASAR BERINGIN DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL2024-08-19T07:27:03+00:00Hen Chinhenching37@gmail.comRudy Suryarudys@ft.untar.ac.id<p>A space becomes a place when the area has its own identity and as time goes by, there will be a place that experiences degradation which is ultimately called a placeless place. Traditional markets are one place that often experiences this phenomenon. One of the traditional markets that experiences the placeless place phenomenon is the Beringin Market, located in Singkawang, West Kalimantan. This market was founded in 1973 and is a silent witness to the social, economic, and cultural development of Singkawang, which is rich in Chinese culture. However, as time progressed, the Beringin Market failed to adapt to modern life and experienced various problems which then slowly began to be abandoned by new generations. Now the Beringin Market has experienced a drastic decline which has made it lose its uniqueness and place of attraction to this market. Therefore, an architectural strategy is needed that can restore the meaning and identity of the Beringin Market and maintain it in the long term. This design aims to strengthen the identity, culture, economy, and historical significance of the Beringin Market by using a contextual approach method that refers to the analysis of the area from a social, cultural, natural, and physical building perspective. Through the contextual approach method, it is hoped that it can re-weave the identity and meaning eroded by the times and make the Beringin Market a cultural tourism market.</p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>beringin market; contextual; placeless place; Singkawang</em></p> <p><strong>Abstrak </strong></p> <p>Sebuah tempat menjadi sebuah place saat kawasan tersebut memiliki identitasnya tersendiri dan seiiring dengan berkembangnya zaman, akan ada suatu tempat yang mengalami degradasi yang akhirnya disebut sebagai placeless place. Pasar tradisional merupakan salah satu tempat yang sering mengalami fenomena ini. Salah satu pasar tradisional yang mengalami fenomena placeless place yaitu Pasar Beringin yang terletak di kota Singkawang, Kalimantan Barat. Pasar ini didirikan pada tahun 1973 dan menjadi salah satu saksi bisu dalam perkembangan sosial, ekonomi dan budaya kota Singkawang yang kaya akan budaya Tionghua. Namun seiring berkembangnya zaman, Pasar Beringin gagal dalam beradaptasi dengan kehidupan modern dan mengalami berbagai masalah yang kemudian secara perlahan pasar ini mulai ditinggalkan oleh generasi-generasi baru. Kini Pasar Beringin telah mengalami penurunan drastis yang membuatnya kehilangan keunikan dan place attactment terhadap pasar ini. Oleh karena itu, diperlukan sebuah strategi arsitektural yang dapat mengembalikan makna dan identitas dari Pasar Beringin dan mempertahankannya dalam jangka panjang. Tujuan dari desain ini yaitu untuk memperkuat kembali identitas, budaya, ekonomi dan makna sejarah dari Pasar Beringin dengan menggunakan metode pendekatan kontekstual yang mengacu pada analisis kawasan dari segi sosial, budaya, alam, dan fisik bangunan. Melalui metode pendekatan kontekstual, diharapkan dapat merajut kembali identitas dan makna yang terkikis oleh perkembangan zaman serta menjadikan Pasar Beringin sebagai pasar wisata-budaya.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30893COLLABORATIVE-HUB SEBAGAI UPAYA MENGENANG KAWASAN HARMONI2024-08-19T07:28:19+00:00Jessica Christiani Dewijsscchrst1@gmail.comSutarki Sutisnasutarkis@ft.untar.ac.id<p>The Harmoni area is an area that is getting busier every day and is an active commercial area. This area has a collection of history that cannot be felt by the current generation. Some points in this place are very dark and vulnerable when all offices and shops are closed at night. Many old buildings are empty and abandoned. This area has the potential to become an old city area that provides a new sense of nostalgic space for each generation and can also function as a place of entertainment for the surrounding and outside communities. The historical value of this area is increasingly eroded, which should be a lesson for the community about how the city of Jakarta got here. This study discusses efforts to preserve abandoned historical areas through continuous restoration in accordance with technological advances and the times to suit the current generation by conducting observations, collecting and analyzing data at the location. By adapting activities in places that have been done before, such as including public spaces, gathering places, or party places and utilizing the potential of areas that have good accessibility considering that this area has the largest transit point in Jakarta so that the area can keep up with the times. This activity is implemented in an empty land located on Jalan Juanda which is within a radius of 150 meters from the Harmoni node. This implementation aims to restore the character of the area that has been degraded so that it comes back to life and is crowded with visitors.</p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>harmoni; location; public area; transit</em></p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Kawasan Harmoni merupakan daerah yang semakin ramai setiap hari dan merupakan area komersial yang aktif. Wilayah ini memiliki sekumpulan sejarah yang tidak dapat dirasakan oleh generasi saat ini. Beberapa titik di tempat ini sangat gelap dan rawan pada saat semua perkantoran dan toko tutup di malam hari. Banyak bangunan lama yang kosong dan terbengkalai. Wilayah ini berpotensi menjadi kawasan kota lama yang memberikan perasaan ruang nostalgia baru bagi setiap generasi dan juga dapat berfungsi sebagai tempat hiburan bagi komunitas sekitar dan luar. Nilai sejarah dari wilayah ini semakin tergerus, yang seharusnya dapat menjadi pelajaran bagi masyarakat tentang bagaimana kota Jakarta sampai di sini. Penelitian ini membahas tentang upaya untuk melestarikan wilayah bersejarah yang telah ditinggalkan melalui pemulihan yang berkesinambungan sesuai dengan kemajuan teknologi dan zaman agar sesuai dengan generasi sekarang dengan cara melakukan observasi, mengumpulkan dan menganalisis data pada lokasi. Dengan mengadaptasi aktivitas-aktivitas pada tempat-tempat yang pernah dilakukan sebelumnya seperti memasukan ruang publik, tempat berkumpul, atau tempat berpesta serta memanfaatkan potensi dari kawasan yang memiliki aksesibilitas yang baik mengingat kawasan ini memiliki titik transit terbesar di Jakarta sehingga kawasan dapat mengikuti perkembangan zaman. Aktivitas ini dterapkan dalam lahan kosong yang berlokasi di Jalan Juanda yang berada dalam radius 150 meter dari simpul Harmoni. Penerapan ini bertujuan untuk mengembalikan kembali karakter kawasan yang telah mengalami degradasi agar kembali hidup dan ramai pengunjung.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30894ADAPTIVE REUSE SEBAGAI UPAYA MEMBANGKITKAN KEMBALI MEMORI EX - BANDARA KEMAYORAN2024-08-19T07:29:37+00:00Faniatus Salma Fitriasalmafania80@gmail.comSutarki Sutisnasutarkis@ft.untar.ac.id<p><em>The former Kemayoran Airport is one of the historical buildings that holds significant historical value and potential for the Kemayoran area. However, with the development of the Kemayoran area, this building needs to be addressed and abandoned. If utilized, this building has historical potential and could serve as a space for the local community or the preservation of Betawi culture, which is indeed synonymous with Kemayoran itself. Moreover, Kemayoran has been designated as a business area and can be utilized as a new recreational area. By implementing the concept of adaptive reuse, it is hoped that a new face can be given to this area. By preserving the airport's memory and adding green spaces, the building can become multifunctional. The collaboration between two different functions can also become a characteristic of this building. The results of this study show that the adaptive reuse method can create a new place in the community. By combining the historical value of the Kemayoran area with its current environment, this building can have two main program functions that will be harmonious. The memory of Kemayoran Airport and the Cultural Field will provide a space for the community and a space for the history of Kemayoran Airport. This renewal can revive a valuable and forgotten history and create a new environment and space for the surrounding community and its users.</em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>adaptive reuse; former Kemayoran Airport; placeless place</em></p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Bandara Lama Kemayoran merupakan salah satu bangunan bersejarah yang memiliki nilai sejarah serta potensi bagi kawasan Kemayoran. Namun, dengan seiring perkembangan daerah Kemayoran, bangunan ini di abaikan keberadaanya dan dibiarkan terbengkalai. Padahal jika dimanfaatkan bangunan ini memiliki potensi sejarah dan dapat menjadi wadah bagi komunitas sekitar ataupun pelestarian kebudayaan Betawi yang memang identik dengan Kemayoran sendiri. Selain itu, Kemayoran sendiri ditetapkan menjadi area bisnis dan dapat dimanfaatkan sebagai salah satu area rekreasi baru. Dengan penerapan konsep adaptive reuse diharapkan dapat memberikan wajah baru bagi kawasan ini. Dengan berfokus mempertahankan memori yang telah ada pada bandara ini dan menambahkan fasilitas ruang hijau dan terbuka menjadi bangunan multifungsi bagi lingkungan. Pemanfaatan sejarah dari kawasan juga menjadi salah satu dari pembaruan ini. Kolaborasi antara dua fungsi berbeda juga dapat menjadi salah satu ciri pada bangunan ini. Hasil dari penelitan ini menunjukan bahwa dengan metode adaptive reuse akan menghasilkan sebuah tempat baru di masyarakat. Dengan memadukan nilai sejarah dari kawasan Kemayoran dengan keadaan lingkungan ini dapat menciptakan bangunan ini akan memiliki dua fungsi profram utama yang akan di gabungkan secara harmonis. Memori Bandara Kemayoran dan Lapangan budaya akan menyedikan wadah bagi komunitas dan wadah bagi sejarah bandara kemayoran. Pembaruan ini juga dapat menghidupkan kembali sebuah sejarah yang berharga dan telah dilupakan, tetapi juga dapat menciptakan lingkungan dan ruang baru bagi masyarakat sekitar serta penggunanya.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30896PENERAPAN KONSEP MULTISENSORI DALAM PERANCANGAN RUANG INTERPRETASI BERBASIS TEKNOLOGI DI SUNDA KELAPA2024-06-28T08:16:09+00:00Ralph Louis Salislouissalis@gmail.comAlvin Hadiwonoalvinh@ft.untar.ac.id<p><em>Indonesia is an archipelagic country with seas covering 70% of its territory so that people's activities at sea are quite busy, one of which is buying and selling activities on sea routes. This can be seen from the spread of port points in Indonesia. Sunda Kelapa Harbor is one of Indonesia's ancient ports, located in North Jakarta. Historically, this port was the main port for buying and selling activities on the island of Java. In the 19th century, this port experienced shallowing so that this port began to be replaced and busy community activities at Sunda Kelapa Harbor began to decline and the value of this port as a 'place' began to fade. Therefore, this research was carried out to look for architectural solutions with spatial experience and accompanied by supporting facilities that are more in demand in this century. The research carried out resulted in a solution in the form of designing an interpretation center supported by other programs. The design was carried out using a multisensory design method involving technology as an adaptation to the times so that it is more interesting and interactive.</em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>interpretation, sunda kelapa, place, technology</em></p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Indonesia merupakan negara kepulauan dengan lautan seluas 70% dari wilayahnya sehingga aktivitas masyarakat di laut cukup padat salah satunya kegiatan jual beli jalur laut. Hal ini dapat dilihat dari tersebarnya titik pelabuhan di Indonesia. Pelabuhan Sunda Kelapa merupakan salah satu pelabuhan kuno Indonesia yang terletak di Jakarta Utara. Pada sejarahnya, pelabuhan ini merupakan pelabuhan utama dalam kegiatan jual beli di Pulau Jawa. Pada abad ke-19 pelabuhan ini mengalami pendangkalan sehingga pelabuhan ini mulai tergantikan dan kesibukan aktivitas masyarakat di Pelabuhan Sunda Kelapa mulai menurun dan nilai pelabuhan ini sebagai ‘tempat’ mulai memudar. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mencari solusi arsitektural dengan pengalaman ruang dan disertai dengan fasilitas penunjang yang lebih diminati pada abad ini. Dari penelitian yang dilakukan menghasilkan solusi berupa perancangan pusat interpretasi yang didukung program lainnya. Perancangan dilakukan dengan metode desain multisensori yang dilibatkan dengan teknologi sebagai salah satu penyesuaian terhadap zaman sehingga lebih menarik dan interaktif.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30897PENERAPAN KONSEP ARSITEKTUR NARATIF PADA EKSTENSI MUSEUM BAHARI2024-06-28T08:18:41+00:00Yegar Sahaduta Elia Kadangyegarsahaduta54@gmail.comAlvin Hadiwonoalvinh@ft.untar.ac.id<p><em>The Maritime Museum plays a crucial role in preserving and disseminating knowledge about maritime culture and history. In an effort to expand the functions and appeal of this museum, the application of the right architectural concept is paramount. This research explores how the application of the narrative architecture concept can be used to design an extension of the Maritime Museum. Narrative architecture, which incorporates storytelling elements into its design, allows visitors to experience and understand maritime history more deeply and interactively. Through case study analysis and field observations, this research identifies key elements that must be considered in the design of the extension. The research findings show that integrating elements of maritime culture and history into architectural design can enhance visitor experience, strengthen the museum's identity, and support cultural conservation efforts. The narrative architecture approach not only enriches the aesthetic value of the building but also significantly contributes to the education and preservation of maritime heritage. Recommendations include involving the local community and maritime experts in the design process, as well as adopting new technologies to create more interactive and engaging spaces for various visitor groups. Additionally, education programs and community-based activities focused on maritime culture are suggested to increase public engagement and support the preservation of maritime heritage. Thus, the Maritime Museum can become a dynamic, relevant, and inspiring center for education and cultural preservation for all generations. This inclusive and collaborative approach will not only enhance the museum's appeal but also ensure that the values of maritime culture and history remain alive and understood by the wider society.</em></p> <p><strong><em>Keywords:</em></strong> extension; maritime culture; maritime history; narrative architecture</p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Museum Bahari memegang peran penting dalam pelestarian dan penyebaran pengetahuan mengenai budaya dan sejarah bahari. Dalam upaya untuk memperluas fungsi dan daya tarik museum ini, penerapan konsep arsitektur yang tepat menjadi sangat krusial. Penelitian ini mengeksplorasi bagaimana penerapan konsep arsitektur naratif dapat digunakan untuk merancang ekstensi Museum Bahari. Arsitektur naratif, yang menggabungkan elemen-elemen cerita dalam desainnya, memungkinkan pengunjung untuk merasakan dan memahami sejarah bahari secara lebih mendalam dan interaktif. Melalui analisis kasus studi, observasi lapangan, penelitian ini mengidentifikasi elemen-elemen kunci yang harus dipertimbangkan dalam perancangan ekstensi tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa integrasi elemen-elemen budaya bahari dan sejarah bahari dalam desain arsitektur dapat meningkatkan pengalaman pengunjung, memperkuat identitas museum, dan mendukung upaya konservasi budaya. Pendekatan arsitektur naratif tidak hanya memperkaya nilai estetika bangunan, tetapi juga memberikan kontribusi signifikan terhadap edukasi dan pelestarian warisan bahari. Saran yang diberikan mencakup melibatkan komunitas lokal dan pakar maritim dalam proses desain, serta mengadopsi teknologi baru untuk menciptakan ruang yang lebih interaktif dan menarik bagi berbagai kalangan pengunjung. Selain itu, program pendidikan dan aktivitas berbasis komunitas yang berfokus pada budaya bahari juga disarankan untuk meningkatkan keterlibatan publik dan mendukung pelestarian warisan maritim. Dengan demikian, Museum Bahari dapat menjadi pusat edukasi dan pelestarian budaya yang dinamis, relevan, dan menginspirasi bagi semua generasi. Pendekatan yang inklusif dan kolaboratif ini tidak hanya akan memperkuat daya tarik museum tetapi juga memastikan bahwa nilai-nilai budaya dan sejarah bahari tetap hidup dan dipahami oleh masyarakat luas.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30898ARSITEKTUR BUDAYA TUGU: SEBUAH KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN SEJARAH PERKAMPUNGAN PORTUGIS DI JAKARTA UTARA2024-06-28T08:21:25+00:00Shela Natasyashellanatasya43@gmail.comAlvin Hadiwonoalvinh@ft.untar.ac.id<p><em>Kampung Tugu is one of the oldest villages in Jakarta, having been established in 1678. Kampung Tugu is known as a Christian-Portuguese village which is a cultural heritage area. The cultural heritage in Tugu Village is in the form of a building known as the Tugu Church. Currently, Kampung Tugu is undergoing changes, with most of the surrounding land now being used for container parking and industrial activities. As a result, Kampung Tugu area looks less attractive, and not many people know about this tourist </em><em>area </em><em>and create a placeless impression</em><em>. </em><em>The purpose of this research is to develop the historical tourism area in an effort to revive the memory of Tugu Culture consisting of Mande-Mande and Rabo-Rabo traditions as well as Keroncong music, which are the characteristics of the area of Kampung Tugu which must be preserved. </em><em>Developing the tourist area and insight </em><em>of</em><em> Kampung Tugu by adding cultural attractions in the form of a cultural space that focuses on preserving keroncong music and introducing typical culinary delights from Kampung Tugu. It is hoped that this cultural space can become the new face of Kampung Tugu to maintain the continuity of its existence, revive the character of the area and open new spaces in the hope that it can accommodate the surrounding area and become an attraction for the outside community. The design uses an adaptive and contextual design approach to the surroundings that responds to modern conditions. </em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>cultural heritage; historical tourism; kampung tugu; tugu culture</em></p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Kampung Tugu termasuk sebagai kampung tertua di Jakarta, yang sudah ditetapkan sejak tahun 1678. Kampung Tugu dikenal sebagai kampung Kristen – Portugis yang termasuk kawasan cagar budaya. Cagar budaya yang ada di Kampung Tugu berupa sebuah bangunan yang dikenal sebagai Gereja Tugu. Saat ini Kampung Tugu mengalami perubahan, dengan sebagian besar lahan di sekitarnya kini digunakan untuk parkir kontainer dan kegiatan industri. Adanya perubahan membuat Kawasan Kampung Tugu menjadi terlihat kurang menarik, tergolong tidak banyak yang mengetahui mengenai kawasan sejarah ini dan terciptanya kesan <em>placeless</em>. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan kawasan menjadi wisata sejarah sebagai upaya membangkitkan kembali memori dari budaya tugu yang terdiri dari, Tradisi Mande-Mande dan Rabo-Rabo serta musik Keroncong, yang menjadi karakter kawasan dari Kampung Tugu yang harus dilestarikan. Mengembangkan area wisata dan wawasan Kampung Tugu dengan penambahan atraksi budaya dalam bentuk ruang kebudayaan yang berfokus pada pelestarian musik keroncong dan mengenalkan kuliner khas dari Kampung Tugu. Ruang kebudayaan ini diharapkan dapat menjadi wajah baru Kampung Tugu untuk menjaga keberlanjutan dari eksistensi untuk menghidupkan karakter kawasan dan membuka ruang baru dengan harapan dapat mewadahi sekitar dan menjadi daya tarik bagi masyarakat luar. Perancangan menggunakan metode pendekatan desain yang adaptif dan kontekstual terhadap sekitar yang merespon kondisi modern.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30970RUANG EKSPRESI DAN APRESIASI BAGI MUSISI JALANAN DI KAWASAN SENEN, JAKARTA PUSAT2024-08-20T10:52:13+00:00Glorius Timoty Yuonotimotyuono@gmail.comAlvin Hadiwonoalvinh@ft.untar.ac.id<p><em>The city of Jakarta has a profession called Street Musician. However, many streets are affected by economic pressures in the development of the city of Jakarta. Street musicians have no platform and are starting to be neglected. There is a need for space to accommodate the activities of street musicians in the city of Jakarta. The aim is to help develop quality musicians and entertainment spaces for the city of Jakarta, where currently music is embedded in everyday lifestyle.</em> <em>Based on data collected through interviews and observations, there is a formation process that represents the reality of the perpetrators, namely street musicians themselves. From various kinds of phenomena, facts and rules, the author can use them as a reference to define space in accordance with existing discourse. There are several factors that influence a musician's performance, including sound factors, lighting factors, performance space, and audience and circulation space. If these factors are taken into account properly, they can support musicians in presenting works that visitors can enjoy well too. If there is space for the musicians and the audience, they can enjoy the musicians' expressions comfortably so that they will naturally appreciate the musicians' performances. These spaces need to be combined well because they have different identities, namely spatial (architecture) and musical. Pasar Senen, which used to have a rich artistic culture, will be re-emerged as a space for musicians to express themselves, creating spaces for musicians to gather and improving the quality of musicians at Pasar Senen and in its surroundings.</em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>appreciation space; expression space; street musicians</em></p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Kota Jakarta memiliki salah satu profesi yang di sebut Musisi Jalanan. Namun musisi jalanan terkena dampak tekanan ekonomi dalam perkembangan kota Jakarta. Musisi Jalanan tidak memiliki wadah dan mulai terabaikan. Perlu adanya ruang untuk mewadahi aktifitas dari musisi jalanan di kota jakarta. Tujuannya adalah untuk membantu mengembangkan kualitas musisi dan ruang hiburan bagi kota Jakarta, dimana saati ini musik sudah melekat dalam gaya hidup sehari-hari. Berdasarkan data-data yang terkumpul melalui wawancara dan pengamatan, terdapat proses pembentukan yang merepresentasikan realitas pelaku yaitu musisi jalanan sendiri. Dari berbagai macam fenomena, fakta dan aturan, penulis dapat menjadikannya sebagai acuan untuk mendefinisikan ruang yang sesuai dengan wacana yang ada. Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh pada penampilan musisi, diantaranya adalah fakor suara, faktor pencahayaan, ruang penampilan, dan ruang penonton dan sirkulasi. Faktor-faktor tersebut apabila di perhitungkan dengan baik dapat mendukung musisi menampilkan karya yang dapat dinikmati pengunjung dengan baik juga. Apabila ruang musisi dan penonton terpenuhi mereka dapat menikmati ekspresi musisi dengan nyaman sehingga dengan sendirinya mereka akan memberikan apresiasi dari penampilan musisi. Ruang-ruang ini perlu dikombinasikan dengan baik karena memiliki identitas yang berbeda yaitu keruangan (Arsitektur) dan musik. Pasar senen yang dulunya memiliki kekayaan budaya seni, akan dimunculkan kembali sebagai ruang untuk musisi berekspresi, menciptakan ruang-ruang untuk para musisi berkumpul dan meningkatkan kualitas musisi di Pasar Senen maupun di sekitarnya.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30899PERANCANGAN FUNGSI BARU MAL BLOK M BERORIENTASI TRANSIT DENGAN PENDEKATAN FENOMENOLOGI2024-08-20T10:53:39+00:00Rafael Kelvin Herawanrkherawan@gmail.comNafiah Solikhahnafiahs@ft.untar.ac.id<p><em>The purpose of this study is to propose new functions that can revive Blok M Mall in the present day. Originally, Blok M Mall was a market that emerged due to the establishment of the Blok M terminal. Over time, the transportation modes in the Blok M area have continued to develop, transforming it into a transit area rather than just a terminal. However, Blok M Mall stopped developing and can now be considered defunct and inactive. Therefore, using the phenomenological method, the author attempts to understand the phenomena occurring at Blok M Mall over time by studying the users during its peak period from various sources and understanding how they transited and engaged in activities at Blok M Mall. This will result in a scope of understanding to find suitable functions for current users who are still actively transiting, enabling them to engage in activities at Blok M Mall once again. The method also includes superimpose (referring to the discussion of the method in the main text).</em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>B</em><em>lok </em><em>M</em><em>; function; phenomenology; transit</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Tujuan dari studi ini adalah untuk bisa menemukan usulan fungsi baru yang bisa menghidupkan kembali Mal Blok M di masa kini. Awal mulanya Mal Blok M merupakan pasar yang muncul akibat lahirnya terminal Blok M. Dalam perjalanannya, moda di kawasan Blok M terus berkembang dan tidak hanya terminal saja hingga menjadi sebuah kawasan transit. Namun demikian, Mal Blok M justru berhenti berkembang hingga di saat ini bisa dikatakan mati dan tidak berjalan. Oleh karena itu, dengan metode fenomenologi, penulis mencoba memahami fenomena yang terjadi di Mal Blok M dari masa ke masa dengan memahami pengguna di masa jaya Mal Blok M dari berbagai sumber dan mengetahui bagaimana mereka melakukan transit serta turut beraktivitas di Mal Blok M, akan menghasilkan gambaran ruang lingkup untuk bisa menemukan fungsi yang cocok bagi pengguna di masa kini yang masih terus aktif melakukan transit agar bisa kembali beraktivitas di Mal Blok M lagi.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30900REDESAIN TOKO BUKU GUNUNG AGUNG DENGAN PENERAPAN ARSITEKTUR NARATIF UNTUK MENGEMBALIKAN IDENTITAS KAWASAN KWITANG 2024-08-20T10:55:43+00:00Ivan Gunawanliem.ivan31@gmail.comNafiah Solikhahnafiahs@ft.untar.ac.id<p><em>The loss of identity in an area or building can be understood as placelessness, which can lead to the reduction or even disappearance of locality in an area. One place experiencing the phenomenon of placelessness is the Kwitang area. Kwitang area used to be closely associated with literary life, as evidenced by the emergence of many bookstores. One bookstore that played a significant role in the Kwitang area is Toko Buku Gunung Agung. Which was also a pioneer of modern bookstores in Indonesia. Over time, due to changing of reading trends, the existence of Toko Buku Gunung Agung diminished, especially with its closure in 2023. Currently, the building experiences placelessness and cannot be utilized. Therefore, the problem with this bookstore is how architecture can restore the value of Toko Buku Gunung Agung. The aim is to provide a design proposal that can enhance the value of Toko Buku Gunung Agung. The design approach used is Narrative Architecture, telling the history of the Kwitang area's development, then showing how literary existence in the Kwitang area and its connection to Toko Buku Gunung Agung. This narrative architecture is implemented in the spatial program arrangement, including communal gardens, a History Garden, a Library, an Art Space Gallery, a Co-working Space, and a Rooftop Garden.</em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>book store; </em><em>K</em><em>witang; narrative architecture; placeless place</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Hilangnya identitas pada suatu kawasan atau bangungan bisa diartikan sebagai <em>placeless</em>, dan hal ini dapat menyebabkan berkurang atau bahkan hilangnya lokalitas pada suatu kawasan. Salah satu tempat yang mengalami fenomena <em>placeless</em> adalah Kawasan Kwitang. Kawasan Kwitang dahulu merupakan kawasan yang erat kaitannya dengan kehidupan literasi. Hal ini ditunjukan dengan adanya fenomena munculnya banyak toko buku. Salah satu toko buku yang memiliki peranan yang signifikan terhadap kawasan Kwitang adalah Toko Buku Gunung Agung Kwitang, sekaligus menjadi perintis toko buku modern di Indonesia. Dalam perkembangannya, karena adanya perubahan <em>trend</em> membaca, menyebabkan eksistensi dari Toko Buku Gunung Agung menjadi berkurang, terlebih ditutupnya toko buku itu pada tahun 2023. Saat ini, bangunan tersebut mengalami <em>placeless</em> yang tidak dapat difungsikan. Oleh karena itu, permasalahan dari toko buku itu adalah bagaimana peranan arsitektur bisa mengembalikan <em>value</em> dari Toko Buku Gunung Agung. Dengan tujuan untuk memberikan usulan desain yang dapat meningkatkan <em>value </em>pada Toko Buku Gunung Agung. Pendekatan desain yang digunakan adalah Arsitektur Naratif, dengan menceritakan sejarah perkembangan Kawasan kwitang<em>,</em> lalu memperlihatkan bagaimana eksistensi literasi pada kawasan Kwitang, dan kaitannya dengan Toko Buku Gunung Agung. Arsitektur naratif ini diimplementasikan pada penataan program ruang seperti taman komunal, <em>History Garden</em>, Perpustakaan, <em>Art Space Gallery</em>, <em>Co-working Space</em>, hingga <em>Rooftop Garden.</em></p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30901PERANCANGAN IDENTITAS TEMPAT PADA SEKOLAH CANDRA NAYA DENGAN PENDEKATAN NARASI ARSITEKTUR2024-08-20T10:57:45+00:00Natania Saputra Wijayasaputrawijayanatania@gmail.comNafiah Solikhahnafiahs@ft.untar.ac.id<p>A place will have meaning as a Place, if there is contiguity, uniqueness, and connection both physically and non-physically. In its development, a place can experience degradation from activity or physicality known as Placeless Place. One of the places that experienced this phenomenon was Candra Naya School. At first, the existence of Candra Naya School had existed since 1946 in the Candra Naya Building, but due to changes in land use, Candra Naya School was moved to Jl. Jembatan Besi II. Since its move in 1993 until its current existence, Candra Naya School has lost its authenticity, uniqueness, disconnection with its environment and sense of belonging, making Candra Naya School experience the process of Placeless Place. Referring to this background, there is a problem of how to solve the architectural Placeless Place at Candra Naya School. Therefore, the purpose of this design is to restore the identity, uniqueness, historical ties, and meaning of student life at Candra Naya School. The design approach used is Narrative Architecture through space experience with the stages of Edu-cial, Society-Hub, and Historium activities.Edu-cial is a community-oriented educational space where interaction between students and the community occurs. Society-Hub is a space to accommodate activities and serve the community. And, Historium is a space about the historical journey of Candra Naya School. These stages of activity will become a bond between students, the community, and Candra Naya School so that a Sense of Place is created and becomes a Place again.</p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>edu-cial; historium;</em><em> narrative architecture; placeless place; society-hub</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Suatu tempat akan memiliki makna sebagai Place, jika terdapat keontetikan, keunikan, dan koneksi baik secara fisik maupun non fisik. Dalam perkembangannya, tempat dapat mengalami degradasi dari aktivitas atau fisik dikenal dengan istilah Placeless Place. Salah satu tempat yang mengalami fenomena tersebut adalah Sekolah Candra Naya. Pada awalnya, eksistensi Sekolah Candra Naya sudah ada sejak tahun 1946 di Gedung Candra Naya, namun akibat pergantian tata guna lahan membuat Sekolah Candra Naya dipindahkan ke Jl. Jembatan Besi II. Sejak kepindahannya di tahun 1993 hingga eksistensinya saat ini, Sekolah Candra Naya kehilangan keotentikan, keunikan, diskoneksi dengan lingkungannya dan sense of belonging sehingga menjadikan Sekolah Candra Naya mengalami proses Placeless Place. Mengacu pada latar belakang tersebut, terdapat permasalahan bagaimana penyelesaian arsitektural Placeless Place pada Sekolah Candra Naya. Oleh karena itu, tujuan dari desain ini adalah untuk mengembalikan identitas, keunikan, ikatan historis, serta memaknai kehidupan siswa di Sekolah Candra Naya. Pendekatan desain yang digunakan adalah Arsitektur Naratif melalui pengalaman ruang dengan tahapan aktivitas Edu-cial, Society-Hub, serta Historium. Edu-cial merupakan ruang pendidikan yang berorientasi pada masyarakat dimana terjadi interaksi antara siswa dan masyarakat. Society-Hub merupakan ruang untuk mewadahi kegiatan serta melayani masyarakat. Serta, Historium merupakan ruang tentang perjalanan sejarah Sekolah Candra Naya. Tahapan aktivitas ini akan menjadi pengikat antar siswa, masyarakat, dan Sekolah Candra Naya itu sehingga terciptanya Sense of Place dan menjadi Place kembali.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30902IMPLEMENTASI EVERYDAYNESS DAN TRANSPROGRAMMING PADA PUSAT PERBELANJAAN MELAWAI PLAZA2024-08-20T10:58:53+00:00Hannah Graciahagralu22@gmail.comNafiah Solikhahnafiahs@ft.untar.ac.id<p>The Blok M area was previously known as a favorite "hang out" place for young people in the 80s and 90s. This is demonstrated by the existence of 'Lintas Melawai' as an exhibition for private vehicles together with popular Indonesian works inspired by the area. The popularity of Blok M was also influenced by the development of business and shopping centers which at that time were the only area that had 3 shopping centers at once in Jakarta, namely Plaza Aldiron, Plaza Melawai, and Plaza Blok M. Melawai Plaza, which was founded in 1983, was crowded with visitors at the same time. with the popularity of 'Lintas Melawai'. Entering the 2000s, shopping centers in the Blok M area began to quiet down due to the emergence of interest in more modern shopping centers in the south of Jakarta. This condition also had an impact on Melawai Plaza, plus the impact of the Covid-19 pandemic in 2019-2021 which caused most shops to go bankrupt and were forced to close. Currently Melawai Plaza is a placeless building with its "hanging out" identity lost and its design less flexible to current developments. Therefore, it is hoped that the research can reconnect lost historical identities, repair the disconnect between users and Melawai Plaza, and adapt to regional and contemporary developments. Through an everydayness approach to collecting existing building data and transprogramming to process the data into different program configurations, program proposals were obtained, namely Retail and Interactive ExhibiGold, Communal Space, and Skate Park. It is hoped that the resulting design proposal will wrap Melawai Plaza in a new identity and give the meaning of place to Melawai Plaza.</p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>everydayness</em>; Melawai Plaza; <em>placeless place</em>; <em>transprogramming</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Kawasan Blok M dahulu dikenal sebagai tempat “nongkrong” favorit bagi kawula muda di era 80 hingga 90an. Hal ini ditunjukkan dengan adanya ‘Lintas Melawai’ sebagai ajang pameran kendaraan pribadi bersama karya-karya populer tanah air yang terinspirasi dari kawasan tersebut. Popularitas Blok M juga dipengaruhi oleh perkembangan pusat bisnis dan perbelanjaan yang kala itu menjadi satu-satunya kawasan yang memiliki 3 pusat perbelanjaan sekaligus di Jakarta, yaitu Plaza Aldiron, Plaza Melawai, dan Plaza Blok M. Melawai Plaza yang berdiri sejak tahun 1983 ramai dikunjungi bersamaan dengan popularitas ‘Lintas Melawai’. Memasuki tahun 2000an, pusat perbelanjaan di kawasan Blok M mulai sepi karena munculnya peminat pusat-pusat perbelanjaan di selatan Jakarta yang lebih modern. Kondisi ini juga berimbas pada Melawai Plaza, ditambah adanya dampak pandemi Covid-19 pada tahun 2019-2021 yang menyebabkan sebagian besar toko bangkrut dan terpaksa tutup. Saat ini Melawai Plaza menjadi bangunan placeless dengan identitas “nongkrong”-nya yang hilang dan desainnya yang kurang fleksibel terhadap perkembangan zaman. Oleh karena itu, penelitian diharapkan dapat menghubungkan kembali identitas historis yang hilang, memperbaiki diskoneksi antara pengguna dan Melawai Plaza, serta menyesuaikan perkembangan kawasan dan zaman. Melalui pendekatan everydayness untuk pengumpulan data bangunan eksisting dan transprogramming untuk mengolah data menjadi konfigurasi program yang berbeda, didapatkan usulan program, yaitu Retail and Interactive ExhibiGold, Communal Space, serta Skate Park. Usulan perancangan yang dihasilkan, diharapkan akan membungkus Melawai Plaza dalam identitas baru serta memberi makna place pada Melawai Plaza.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30354ADAPTIVE RE-USE UNTUK REVITALISASI EKS. BANDARA KEMAYORAN, JAKARTA PUSAT2024-08-20T11:46:30+00:00Fernando Lukasfernando.315190106@stu.untar.ac.idBudi Adelar Sukadabudia@ft.untar.ac.id<p>Jakarta is rich in historical memories left over from the colonial era. However, many of these buildings are now just remnants of a valuable past. Unfortunately, some of these structures have been left neglected, leading to significant deterioration over time. It's regrettable because these historical buildings hold cherished memories and meanings. Consequently, these buildings have fallen into the phenomenon of "Placeless Place." One prominent example is the former Kemayoran Airport, which ceased operations in 1991. Once serving international and domestic routes as Jakarta's first airport, it now lacks significance in the eyes of Jakarta's populace. Much of the Kemayoran Airport area has been repurposed for housing and other uses. What remains is a derelict waiting lounge used from 1940 to 1984. Yet, if utilized effectively, it could transform the cityscape through the revitalization of old buildings. With a focus on preserving the memories of the former Kemayoran Airport and safeguarding its remaining relics, this renewal effort must be executed judiciously. Employing Adaptive Re-use as a method to revitalize this old airport site could effectively restore its identity with new functions and purposes. It is hoped that this revitalization will breathe new life into the Kemayoran Airport, restoring its building's identity and delivering significant benefits to the community.</p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>adaptive re-use</em>; <em>kemayoran airport; placeless place; revitalization</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Jakarta kaya akan memori sejarah yang merupakan peninggalan dari era kolonial. Kini, bangunan-bangunan ini hanya meninggalkan sejarah yang berharga. Akan tetapi, beberapa dari bangunan tersebut dibiarkan tidak terurus, sehingga mengalami banyak kerusakan seiring berjalannya waktu. Sangat disayangkan, karena bangunan bersejarah ini memiliki kenangan dan makna tersendiri. Akhirnya, bangunan-bangunan ini mengalami fenomena Placeless Place. Salah satu contohnya adalah Eks. Bandara Kemayoran, yang sudah tidak beroperasi sejak tahun 1991. Sebuah bangunan yang sebelumnya memiliki makna sebagai bandara pertama di Jakarta yang melayani rute internasional dan domestik, sekarang tidak lagi memiliki arti di mata masyarakat Jakarta. Sebagian besar area Bandara Kemayoran sudah dialih fungsikan menjadi perumahan dan juga kegunaan lainnya. Sekarang, tersisa sebuah bangunan ruang tunggu yang digunakan pada tahun 1940 – 1984 yang kini terbengkalai begitu saja. Padahal, jika di manfaatkan dengan baik akan menghadirkan wajah kota yang baru dengan hasil dari merevitalisasi bangunan lama. Dengan fokus mempertahankan memori dari Eks. Bandara Kemayoran dan menjaga peninggalan – peninggalan yang masih tersisa di upayakan pembaharuan ini harus dilakukan dengan tepat. Menggunakan metode Adaptive Re-use sebagai salah satu cara untuk merevitalisasi kawsan bandara lama ini. Adaptive Re-use dapat menjadi metode efektif untuk mengembalikan identitas bangunan ini dengan fungsi serta kegunaan yang baru. Diharapkan dengan adanya fungsi baru ini, Eks. Bandara Kemayoran akan kembali hidup dan mengembalikan identitas bangunanya, serta memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30904PENERAPAN ARSITEKTUR NARATIF DI KAWASAN LOKASARI UNTUK MENGHIDUPKAN MEMORI KOLEKTIF PRINSEN PARK 2024-06-28T08:51:30+00:00Rudy Dharma Tjhindrarudydharma100@gmail.comBudi Adelar Sukadabudia@ft.untar.ac.id<p>Prinsen Park is the pioneer of the film industry in Indonesia which has given birth to many famous artists and actor and was given a nicknamed as tangkiwood. The glory of Prinsen Park began to fade due to a decline in interest in watching films and the development of analog television in the 1970s. Prinsen Park or what is now called Lokasari began to lose its original identity since the rejuvenation program which was implemented in 1985 and popping up of nightclubs in the area at the 90s. This project aims to restore the image of Prinsen Park and make the Lokasari area the center of community activities in Taman Sari. The cross section method was used to collect data through the process of observing existing areas accompanied by comparisons with historical evidence written in journals and books. The credibility of the data collected was strengthened through interviews with people regarding their impressions of the former location until now. The results of the analysis are a collection of collective community memories which were used in the design process to create the atmosphere of Prinsen Park in Lokasari. The atmosphere of Prinsen Park is presented again through the architectural narrative method. Narrative architecture plays a role in forming a collective memory which is useful in building an image of an area and building sense of place and sense of belonging among users to maintain the history of Prinsen Park and become a new chapter for the Lokasari.</p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>Lokasari; memory; narrative; park; Prinsen</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Prinsen Park merupakan cikal bakal dari industri perfilm-an di Indonesia yang telah melahirkan banyak seniman dan aktor serta diberi julukan tangkiwood. Kejayaan dari Prinsen Park mulai pudar disebabkan penurunan minat menonton film dan berkembangnya televisi analog pada tahun 1970-an. Prinsen Park atau yang sekarang bernama Lokasari mulai kehilangan identitas aslinya sejak dilaksanakan program peremajaan pada tahun 1985 disertai dengan mulai menjamurnya klub malam di kawasan tersebut pada tahun 90-an. Proyek ini bertujuan untuk mengembalikan citra Prinsen Park dan menjadikan kawasan Lokasari sebagai pusat kegiatan masyarakat di Taman Sari. Metode <em>cross section</em> digunakan dalam pengumpulan data melalui proses observasi kawasan eksisting disertai perbandingan terhadap bukti sejarah yang tertulis pada jurnal dan buku, data yang dikumpulkan diperkuat kredibilitasnya melalui wawancara pada masyarakat mengenai impresi terhadap kawasan lokasari terdahulu hingga sekarang. Hasil analisis berupa kumpulan memori kolektif masyarakat yang digunakan dalam proses desain untuk menghadirkan suasana Prinsen Park di Lokasari. Suasana dari Prinsen Park kembali dihadirkan melalui metode naratif arsitektur. Arsitektur naratif berperan dalam membentuk memori kolektif yang berguna dalam membangun citra dari sebuah kawasan dan membangun <em>sense of place</em> serta <em>sense of belonging</em> pada pengguna untuk menjaga sejarah dari Prinsen Park dan menjadi lembaran baru bagi kawasan Lokasari.</p> <p><strong> </strong></p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30905REVITALISASI BIOSKOP GRAND THEATER SENEN MENJADI DISTRIK SENI BERKONSEP RUANG KETIGA2024-06-28T08:53:32+00:00Martris Loa Sorosmartris.315170168@stu.untar.ac.idMartin Halimmartinh@ft.untar.ac.id<p><em>The Senen area was once home to many artists who eventually became known as Seniman Senen. Due to the flourishing art scene at that time, Senen developed a reputation as an art center. Unfortunately, the art in the area has disappeared, leaving the Seniman Senen without a space to create. One of the icons of Senen is the Grand Theater Senen, a historic cinema building in Jakarta, which no longer functions as it used to. The building has declined in functionality due to prostitution activities, leading to its closure and abandonment. Given the site's potential, the Grand Theater Senen, now a placeless place, is planned for revitalization by changing the program and function of the building according to the needs of the area and its users. The primary community in the area consists of traders and commuters. Through contextual architectural principles analysis, it is found that traders need better spaces for their businesses as their trade is slowing down. Commuters, who often have to wait for public transportation, feel bored and tired, requiring spaces for rest and refreshing. These contextual architectural principles are applied by designing in accordance with the needs of the users and the area's conditions. Therefore, the design of an art district with a third place concept is expected to meet these needs. The design aims to provide a place for rest, refreshment, socializing, trading, and a space for the Seniman Senen to create, thereby reviving the art in the area.</em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>architecture; art district; grand theater senen; revitalization; third place</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Kawasan Senen dahulunya terdapat banyak pendatang yang berkarya seni, yang pada akhirnya dikenal sebagai Seniman Senen. Akibat majunya seni kala itu, Kawasan Senen akhirnya memiliki karakteristik sebagai pusat seni. Namun sayangnya, seni pada kawasan sudah hilang yang menyebabkan Seniman Senen tidak lagi memiliki ruang untuk berkarya. Pada Kawasan Senen terdapat ikon kawasan yaitu Grand Theater Senen yang merupakan sebuah bangunan bioskop bersejarah di Jakarta yang sekarang sudah tidak lagi memiliki fungsi bangunan seperti sedia kala. Bangunan ini mengalami kemunduran fungsi dikarenakan adanya kegiatan prostitusi sehingga pada akhirnya bangunan ini harus tutup dan terbengkalai. Akan adanya potensi tapak yang baik, Grand Theater Senen yang sudah menjadi <em>placeless place</em> direncanakan untuk dilakukan revitalisasi dengan mengubah program dan fungsi bangunan sesuai dengan kebutuhan kawasan dan pengguna. Jenis masyarakat yang memayoritasi kawasan adalah pedagang dan komuter. Melalui analisis yang menggunakan metode prinsip arsitektur kontekstual, pedagang memerlukan ruang untuk berdagang yang lebih mendukung dikarenakan dagangan yang mulai sepi. Komuter yang harus menunggu jadwal keberangkatan transportasi umum seringkali merasa jenuh dan lelah, sehingga memerlukan ruang untuk beristirahat dan <em>refreshing</em>. Prinsip arsitektur kontekstual tersebut kemudian diterapkan dengan merancang desain yang disesuaikan dengan kebutuhan pengguna dan kondisi kawasan. Maka dari itu, perancangan distrik seni berkonsep ruang ketiga diharapkan dapat menjadi solusi dari kebutuhan yang ada. Perancangan ini bertujuan untuk menjadi sarana untuk beristirahat, <em>refreshing, </em>bersosialisasi, berdagang, dan menjadi ruang bagi para Seniman Senen untuk berkarya sehingga dapat menghidupkan lagi seni dari kawasan.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30909RUANG MUSIK DAN KERJA PADA BANGUNAN EX TOKO TIO TEK HONG DI PASAR BARU JAKARTA PUSAT2024-06-28T11:26:41+00:00Daniel Williyantodaniel.315200005@stu.untar.ac.idMekar Sari Sutejamekars@ft.untar.ac.id<p><em>Pasar Baru is a trading area in the Sawah Besar District, Central Jakarta. Established in the 19th century, it is one of Jakarta's oldest shopping centers. Initially a bustling trading hub inhabited by the Chinese and Dutch, Pasar Baru's historical buildings have now undergone functional transformations, with diminishing community recognition of their historical significance. Over time, many historic buildings in Pasar Baru have lost their identity, becoming "placeless places" despite their strategic location near transit points and iconic areas of Central Jakarta. The research aims to revive this historically significant area amidst the development of the city's cultural tourism districts. Revitalization efforts involve introducing activity programs designed to attract visitors and restore the original functions of these heritage buildings. Emphasis is placed on preserving the cultural heritage of the area. The study anticipates enhancing the cultural image of Pasar Baru, transforming it from a neglected "placeless place" into a culturally vibrant center that holds meaningful relevance in contemporary Jakarta.</em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>education; historical; iconic</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Kawasan Pasar Baru merupakan kawasan perdagangan di Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat. Pasar Baru merupakan kawasan yang dibangun pada abad ke-19, dan kawasan di sekitarnya merupakan salah satu pusat perbelanjaan tertua di kota Jakarta. Awal mula berdirinya kawasan ini merupakan pusat perdagangan yang banyak dihuni oleh orang Tiong Hoa dan juga Belanda. Namun, kawasan Pasar Baru dengan banyaknya bangunan historical yang ada di dalamnya, sekarang telah berubah fungsi dan masyarakat tidak lagi mengenal nilai historical bangunan yang penting dalam kawasan tersebut. Seiring waktu, banyak bangunan historic di kawasan Pasar Baru kehilangan identitasnya dan menjadi placeless place, padahal tempat ini memiliki potensi dan lokasi strategis yang berada dekat dengan beberapa titik transit dan kawasan bangunan ikonik Jakarta Pusat. Tujuan penelitian ini adalah untuk menghidupkan kembali tempat bersejarah yang terhimpit oleh perkembangan kawasan wisata budaya kota, metode revitalisasi dilakukan dengan menambahkan program-program aktivitas yang mendukung dan menarik pengunjung untuk datang. Revitalisasi dilakukan dengan fokus utama pada pelestarian warisan budaya kawasan ini. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan citra budaya dari bangunan yang saat ini placeless place menjadi aktif kembali dan memberikan kontribusi signifikan dalam memperkaya citra budaya Pasar Baru yang saat ini terpinggirkan, menjadi pusat aktivitas kultural yang berarti dan relevan.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30910MARKET HALL YANG INKLUSIF DAN BERKELANJUTAN PADA PASAR GLODOK, JAKARTA BARAT 2024-06-28T11:36:25+00:00Andreas Rahmat Agungawenandreas11@gmail.comMekar Sari Sutejamekars@ft.untar.ac.id<p><em>Glodok is a Chinatown area that has been established since the 17th century, located in Taman Sari Village, West Jakarta. The name Glodok comes from the word 'Golodog' which means the entrance to the Sunda kingdom before it was controlled by the Dutch. The Glodok area itself is famous as a trading area that sells wholesale goods ranging from electronics, textiles, culinary delights and even traditional Chinese medicine which has been around since the early 18th century. One example is Glodok Market, which is the largest electronics market in Jakarta and known to all Indonesian people as a center for wholesale electronic goods and has become one of the wheels of the economy in Jakarta in its era. This legendary electronics market, which has been around since 2001, is starting to fade to the point of almost closing, especially since the emergence of the e-commerce market and the Covid-19 outbreak. There is also a reason why Glodok Market cannot compete because the function and space program is very homogeneous and there is no new and fresh innovation. The aim of this research is to revive Glodok Market with new innovations and more heterogeneous programs, so that visitor interest can return. It is hoped that qualitative and quantitative approaches, through the Re-design design concept that will be applied to this building, can provide new and innovative program variations.</em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>heterogeneous; innovation; market</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Glodok merupakan kawasan pecinan yang telah berdiri sejak abad ke 17, yang berada pada Kelurahan Taman Sari, Jakarta Barat. Nama Glodok berasal dari kata <em>‘Golodog’ </em>yang memiliki arti pintu masuk kerajaan Sunda sebelum dikuasai oleh Belanda. Kawasan Glodok sendiri terkenal sebagai kawasan perdagangan yang menjual barang – barang grosiran mulai dari elektronik, tekstil, kuliner bahkan pengobatan tradisional <em>Chinese</em> yang telah berdiri dan sejak awal abad 18. Salah satu contoh adalah Pasar Glodok, yang merupakan pasar elektronik terbesar yang ada di Jakarta dan dikenal seluruh masyarakat Indonesia sebagai pusat barang grosir elektronik dan telah menjadi salah satu roda perekonomian di Jakarta pada era-nya. Pasar elektronik legendaris yang sudah berdiri sejak tahun 2001 ini kian mulai meredup hingga nyaris tutup terlebih lagi sejak adanya pasar <em>e-commerce </em> dan wabah Covid-19. Ada pula alasan mengapa Pasar Glodok tidak dapat bersaing karena fungsi dan program ruang yang sangat homogen serta tidak adanya inovasi yang baru dan segar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghidupkan kembali Pasar Glodok dengan inovasi yang baru serta program yang lebih heterogen, sehingga minat pengunjung dapat kembali. Pendekatan kualitatif dan kuantitatif, melalui konsep perancangan <em>Re-design</em> yang akan diterapkan pada bangunan ini diharapkan dapat memberikan variasi program yang baru dan inovatif.</p>2024-10-31T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30911PENDEKATAN FENGSHUI DALAM DESAIN RUANG PUBLIK UNTUK MENGEMBALIKAN CITRA PASAR BARU, JAKARTA PUSAT2024-06-28T11:39:45+00:00Ivy Meivodaivymeivodaa21@gmail.comMekar Sari Sutejamekars@ft.untar.ac.id<p>Historically, Pasar Baru has long been the trading centre of Jakarta. Being one of trading area at West Jakarta, Pasar Baru became a meeting place of various ethnics and social groups that created a place of acculturation and tradition. Formerly, Pasar Baru was known as a place where the locals and travellers go to buy textile, clothes, shoes and sport accessories. Now Pasar Baru is challenged when it has to face the era of globalization and modernization that making it a deserted place. Competition among modern shopping centres and electronics has pressed the volume of selling at Pasar Baru down while its conventional design of architecture has made this area no more an interesting place to visit, hence being deserted by the customers. Hence, its popularity is continuing to decrease. Many shops closed or moved to more popular locations. That is to say that Pasar Baru has experienced a degradation of trading and cultural value. Such is the phenomenal case of ‘placeless place’, when Pasar Baru being the area with such a magnitude and powerful meaning has now been losing everything. The objective of this study is to revive the busy and interesting image of Pasar Baru. The method used is the feng shui approach, starting from data analysis, field observations and interviews in order to comprehensively understand the socio-economic dynamics and environmental conditions in Pasar Baru. A holistic approach is taken by combining efforts to preserve cultural heritage and sustainable economic development. It is hoped that the results of this research can become a new strategy in re-developing Pasar Baru's identity as a rich trading center with a rich cultural heritage.</p> <p><strong><em>Keywords: i</em></strong><em>mage; Pasar Baru; placeless place</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Pasar Baru telah lama menjadi pusat perdagangan dan kawasan bersejarah Kota Jakarta. Berfungsi sebagai salah satu kawasan perdagangan di Jakarta Barat, Pasar Baru menjadi titik pertemuan berbagai kelompok etnis dan sosial serta menciptakan ruang pertukaran budaya dan tradisi. Dahulu, Pasar Baru dikenal sebagai tempat penjualan tekstil, pakaian, sepatu, dan perlengkapan olahraga yang menjadi daya tarik bagi pengunjung lokal maupun wisatawan, namun sekarang Pasar Baru menghadapi berbagai tantangan ketika berhadapan dengan era globalisasi dan modernisasi yang menjadikan kawasan tersebut mulai sepi. Persaingan dengan pusat perbelanjaan modern dan perdagangan elektronik telah menekan tingkat penjualan di Pasar Baru, sementara desain arsitektural yang konvensional membuat kawasan ini kurang menarik sehingga popularitas Pasar Baru menurun dan ditinggalkan pengunjung. Banyak toko yang tutup atau berpindah ke lokasi yang lebih diminati. Dengan perkataan lain, Pasar Baru mengalami degradasi perdagangan dan nilai budaya. Fenomena ini merupakan contoh kasus <em>placeless place</em>, yaitu saat ketika Pasar Baru sebagai kawasan yang pernah memiliki daya tarik dan kekuatan makna sekarang kehilangan segalanya. Tujuan dari penelitian ini adalah mengembalikan citra kawasan Pasar Baru yang ramai dan diminati masyarakat tadi. Metode yang digunakan adalah pendekatan <em>fengshui</em> digunakan mulai dari analisis data, observasi lapangan dan wawancara guna memahami secara komprehensif dinamika sosial ekonomi dan kondisi lingkungan di Pasar Baru. Pendekatan secara holistik dilakukan dengan menggabungkan upaya pelestarian warisan budaya dan pembangunan ekonomi berkelanjutan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi strategi baru dalam pengembangan kembali identitas Pasar Baru sebagai pusat perdagangan yang kaya dengan warisan budaya yang kaya.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30349STRATEGI DESAIN DALAM BANGUNAN KOMERSIAL TERINTEGRASI STASIUN KEBAYORAN2024-06-28T11:47:07+00:00Vania Melianavaniamk351@gmail.comSidhi Wiguna Tehsidhi@ft.untar.ac.id<p><em>Kebayoran Lama Utara Subdistrict has various kinds of facilities, for example Kebayoran Lama Market and Kebayoran Station. In the past, this area was a trading center for the surrounding community and continues to grow. Nowadays, the phenomena of physical degradation (changes in building conditions) and land function degradation (changes in trading activities) are starting to occur in this area. As a result, the surrounding commercial buildings experienced a decline and the Kebayoran area began to lose its identity as a trading center area. When a place has no identity, then the place has no sense of place or ties to people. This can be said to be placelessness (Relph, 1976). Based on data and studies, the Kebayoran Lama area is called a placeless place, where the place does not have a sense of place which includes the identity of the place itself. Therefore, architecture exists as an intervention in regional phenomena and issues, one form of which is a design strategy to strengthen the identity of the Kebayoran Lama area. Qualitative research methods supported by primary and secondary data collection were used to obtain this strategy. The research results show that the design strategy that can be implemented is through optimizing the function and redevelopment methods of the Kebayoran Station integrated commercial building. Redevelopment was carried out by dismantling the entire building to optimize the function program. The proposed program functions as a solution to the issue of placeless places and supports regional facilities including supermarkets, department stores, food courts and tenants.</em></p> <p><strong>Keywords: </strong>Kebayoran Lama; placeless; redevelopment; Stasiun Kebayoran</p> <p>Abstrak</p> <p>Kelurahan Kebayoran Lama Utara memiliki berbagai macam fasilitas, contohnya seperti Pasar Kebayoran Lama dan Stasiun Kebayoran. Pada masa lalu, kawasan ini menjadi wilayah pusat perdagangan bagi masyarakat sekitar dan terus berkembang. Pada masa kini, fenomena degradasi fisik (perubahan kondisi bangunan) dan degradasi fungsi lahan (perubahan aktivitas perdagangan) mulai terjadi di kawasan ini. Dampaknya, bangunan komersial di sekitarnya mengalami penurunan dan kawasan Kebayoran mulai kehilangan identitasnya sebagai wilayah pusat perdagangan. Ketika tempat tidak memiliki identitas, maka tempat tidak memiliki<em> sense of place</em> atau ikatan dengan manusia. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai <em>placelessness </em>(Relph, 1976). Berdasarkan data dan studi, kawasan Kebayoran Lama disebut dengan <em>placeless place</em> di mana tempat tidak memiliki <em>sense</em> <em>of</em> <em>place</em> yang mencakup identitas dari <em>place</em> itu sendiri. Oleh karena itu, arsitektur hadir sebagai intervensi terhadap fenomena dan isu kawasan, salah satu bentuknya yaitu strategi desain untuk memperkuat identitas kawasan Kebayoran Lama. Metode penelitian kualitatif didukung pengumpulan data primer maupun sekunder digunakan untuk mendapatkan strategi tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi desain yang dapat dilakukan yaitu melalui optimalisasi fungsi dan metode <em>redevelopment </em>bangunan komersial terintegrasi Stasiun Kebayoran. Pembangunan kembali dilakukan dengan membongkar keseluruhan bangunan untuk mengoptimalkan program fungsi. Usulan program fungsi menjadi solusi isu <em>placeless place</em> dan pendukung fasilitas kawasan meliputi <em>supermarket</em>, <em>department store</em>, <em>foodcourt</em>, dan <em>tenant</em>.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30912PEMAKNAAN KEMBALI MEMORI KOLEKTIF DI SUNDA KELAPA MELALUI OBJEK WISATA SEJARAH DAN EDUKASI DENGAN METODE KONTRAS HARMONIS2024-06-28T11:52:28+00:00Felicia Tenezufeliciatenezu@gmail.comSidhi Wiguna Tehsidhi@ft.untar.ac.id<p><em>Sunda Kelapa area is the forerunner of the economic driver in Jakarta that has been operating since the 5th century AD and has gone through several eras. More than just being the oldest port in Jakarta, the Sunda Kelapa area is designated as a historical tourist destination to open the knowledge of future generations about the nation's journey. Along with the times, the Sunda Kelapa area has experienced degradation of historical value and collective memory so that it is categorized as a placeless place. This is because the Sunda Kelapa area does not have a 'place' that attracts tourists to explore tourist objects around the area as an issue. The problem caused is the fading of local identity and collective memory, both historically and culturally so that the sense of place attachment to the area is decreasing. The goal is to recall the historical value and collective memory of Sunda Kelapa in an adaptive way without dismissing these values. With the method of harmonious contrast approach, the focus of architectural design emphasizes on creating tension and visual interest as a blend of past and present.</em><em> The steps used include: 1) data collection, 2) survey, 3) analysis and conclusion. The result of the design is to create a historical and educational tourism environment that is adaptive, interactive, and digitized in an effort to revive historical values and collective memory in the midst of globalization so that the Sunda Kelapa area has a sense of place and identity.</em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>degradation; identity; memory; tourism</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Kawasan Sunda Kelapa merupakan cikal bakal penggerak perekonomian di Jakarta yang telah beroperasi sejak abad ke-5 Masehi dan telah melalui beberapa zaman. Lebih dari sekadar sebagai pelabuhan tertua di Jakarta, kawasan Sunda Kelapa ditetapkan sebagai destinasi wisata sejarah untuk membuka pengetahuan generasi mendatang mengenai perjalanan bangsa. Seiring dengan perkembangan zaman, kawasan Sunda Kelapa mengalami degradasi nilai historis dan memori kolektif sehingga dikategorikan sebagai <em>placeless place</em>. Hal ini disebabkan kawasan Sunda Kelapa tidak memiliki ‘<em>place</em>’ yang menarik perhatian wisatawan untuk menjelajahi objek-objek wisata di sekitar kawasan sebagai sebuah isu. Masalah yang ditimbulkan adalah pudarnya identitas lokal dan memori kolektif, baik secara sejarah dan budaya sehingga rasa <em>place attachment</em> pada kawasan semakin menurun. Tujuannya untuk mengingatkan kembali nilai historis dan memori kolektif Sunda Kelapa dengan cara adaptif tanpa menepikan nilai-nilai tersebut. Dengan metode pendekatan kontras harmonis, fokus desain arsitektur menekankan pada terciptanya ketegangan dan <em>visual interest</em> sebagai perpaduan masa lalu dan masa kini. Langkah-langkah yang digunakan antara lain: 1) pengumpulan data, 2) survey, 3) analisis dan kesimpulan. Hasil perancangan untuk menciptakan lingkungan wisata sejarah dan edukasi yang adaptif, interaktif, dan terdigitalisasi dalam upaya meningatkan kembali nilai historis dan memori kolektif di tengah lajunya globalisasi sehingga kawasan Sunda Kelapa memiliki <em>sense of place</em> dan identitas.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30913PASAR RAWA BELONG SEBAGAI PUSAT PERDAGANGAN DAN WADAH AKTIVITAS MASYARAKAT DALAM PELESTARIAN KEBUDAYAAN BETAWI2024-06-28T11:55:43+00:00Kelvin Hartantokelvinhartanto05@gmail.comTony Winatatonywinata@ft.untar.ac.id<p>Ayub Rawa Belong Market is located in Ayub Road, North Sukabumi district, Kebon Orange district. It is a market of promotion and marketing of various needs such as foodstuffs, culinary trade and shops. However, there are still many problems emerging in this market that tend to contradict the history of Rawa Belong Village. In the beginning, Rawa Belong was identical with the sale of its flowers, which is now expanding with the presence of the Bunga Bunga Belong which is located on the Sulaiman Street and sells various kinds of flowers. This village is also supposed to advance its culture and traditions. Besides, it is seen from the physical buildings and spaces used as trading locations, which are now far from ideal. Furthermore, since the building functions only in the morning and there is no activity during the day, the building facilities are not identical to the market in the area where the market is open for 24 hours, which leaves the site abandoned and has no activity. Therefore, the Job Market in Rawa Belong requires mature planning and planning to produce an ideal design. The market must also express its identity as a representation of Southeast Asian culture. It supports the efforts of the local government to revive this market. During the planning process, literature reviews and comparative studies were conducted to determine the most appropriate market space programmes for the international service scale. The method of everydayness and localities which studies the history, culture, and culture of Betawi and Rawa Belong. In addition, consider the context values of places that shape market characteristics. This process creates a market with educational, entertainment and commercial facilities.</p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>Betawi; Cultural Cente;r Flower Market; Placelessness; Sense Of Place</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Pasar Ayub Rawa Belong terletak di Jalan Ayub, Kecamatan Sukabumi Utara, Kecamatan Kebon Jeruk. Merupakan pasar promosi dan pemasaran berbagai kebutuhan seperti bahan makanan, perdagangan kuliner dan warung. Namun masih banyak permasalahan yang muncul di pasar ini yang cenderung bertentangan dengan sejarah Kampung Rawa Belong. Pada awalnya Kampung Rawa Belong identik dengan penjualan bunganya, yang sekarang ini berkembang dengan adanya Pasar Bunga Rawa Belong yang terletak di Jalan Sulaiman dan menjual berbagai jenis bunga. Kampung ini juga seharusnya mengedepankan budaya dan tradisinya. Selain itu, terlihat dari fisik bangunan dan ruang yang digunakan sebagai lokasi perdagangan, yang kini jauh dari idealnya. Selain itu, karena fungsi bangunan hanya beroperasi pada pagi hari dan tidak ada aktivitas pada siang hari, maka fasilitas bangunan tersebut belum identik dengan pasar yang berada pada daerah tersebut dimana pasar pada daerah tersebut buka selama 24 jam. Hal tersebut menyebabkan tempat itu terbengkalai dan tidak memiliki aktivitas. Oleh karena itu, Pasar Ayub di Rawa Belong memerlukan perencanaan dan perancangan yang matang untuk menghasilkan desain yang ideal. Pasar juga harus mengekspresikan identitasnya sebagai representasi budaya Asia Tenggara. Hal ini mendukung upaya pemerintah daerah untuk menghidupkan kembali pasar ini. Selama proses perencanaan, dilakukan tinjauan literatur dan studi komparatif untuk menentukan program ruang pasar yang paling tepat untuk skala layanan internasional. Untuk itu digunakan metode keseharian dan lokalitas yang mengkaji sejarah, kebudayaan, dan kebudayaan Betawi dan Rawa Belong. Selain itu, pertimbangkan nilai kontekstual tempat yang membentuk karakteristik pasar. Proses ini menciptakan pasar dengan fasilitas pendidikan, hiburan dan komersial.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30914MENINGKATKAN CITRA DAERAH LITTLE TOKYO-BLOK M UNTUK MASA DEPAN2024-06-28T12:01:02+00:00Hoky Kristian Augusthoky.315190080@stu.untar.ac.idTony Winatatonywinata@ft.untar.ac.id<p><em>Blok Blok M is one of the commercial areas in the South Jakarta area which has quite a big influence on the area. One of the famous places in the Blok M area is Little Tokyo Blok M. This area was previously an area built for Japanese people who worked in the Sudirman area. With regional characteristics that have a Japanese cultural concept which is expected to provide comfort for the Japanese people. However, this area is now starting to be abandoned by Japanese people. This can happen because the Japanese people, who are the main users of this area, are starting to move from Blok M to other places such as Karawaci. This has caused the Little Tokyo Blok M area to begin to lack visitors. Meanwhile, other areas in the Blok M area are still busy with visitors, but the majority of visitors are teenagers. Therefore, so that the Little Tokyo Blok M area can remain busy with visitors, changes are needed in this area. Implementing a new concept by no longer relying on Japanese users as the main target but starting to change to young people. Researchers believe that remodeling this area is one of the right methods. By providing new functions to areas such as shopping centers, cafes, clubs, karaoke and sports areas to attract the interest of young people such as Gen Z who were born from 1997 to 2012. In this way, it is hoped that this new function can create a new life that can return Little Tokyo Blok M to being busy with visitors again.</em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>Little Tokyo Blok M; Place; Placeless; </em><em>Teenager</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Ditulis Blok M merupakan salah satu kawasan komersil pada daerah Jakarta Selatan yang cukup berpengaruh besar pada daerah tersebut. Salah satu tempat yang terkenal pada Kawasan Blok M adalah Little Tokyo Blok M. Kawasan ini dulu merupakan kawasan yang di bangun untuk orang-orang Jepang yang bekerja pada daerah Sudirman. Dengan ciri khas kawasan yang memiliki konsep kebudayaan Jepang yang diharapkan dapat memberi kenyamanan bagi para orang-orang Jepang tersebut. Namun kawasan ini sekarang mulai ditinggalkan oleh orang-orang Jepang hal ini dapat terjadi karena, orang-orang Jepang yang merupakan <em>user</em> utama kawasan ini mulai berpindah dari Blok M ke tempat lain seperti Karawaci. Hal ini menyebabkan kawasan Little Tokyo Blok M mulai sepi pengunjung. Sedangkan kawasan lain pada daerah Blok M masih ramai dikunjungi namun dengan mayoritas pengunjung adalah remaja. Oleh karena itu agar kawasan Little Tokyo Blok M juga dapat tetap ramai dikunjungi diperlukan perubahan pada kawasan ini. Menerapkan konsep baru dengan tidak berpatokan pada <em>user</em> orang-orang Jepang lagi sebagai target utama namun mulai berganti menjadi anak-anak muda. Peneliti meyakini dengan merombak ulang kawasan ini adalah salah satu metode yang tepat. Dengan memberikan fungsi baru pada kawasan seperti <em>shopping center, cafe, Club, </em>Karaoke dan area olahraga untuk menarik minat kaum muda seperti Gen Z yang lahir pada tahun 1997 hingga 2012 . Dengan demikian diharapkan fungsi baru ini dapat menciptakan kehidupan baru yang dapat mengembalikan Little Tokyo Blok M kembali ramai dikunjungi.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30915DESAIN CREATIVE SPACE UNTUK MENGHIDUPKAN KAWASAN PASAR SENEN BLOK 62024-06-28T12:05:32+00:00Teresa Carmelia Wakeishateresacarmelia18@gmail.comTony Winatatonywinata@ft.untar.ac.id<p><em>Senen Market is in Central Jakarta, DKI Jakarta. Pasar Senen Block 6 is a part of Pasar Senen, located close to the Senen Bus Terminal. However, Senen Block 6 Market was closed due to delays in Anies Baswedan's revitalization plan in 2021 due to the Covid-19 pandemic. This revitalization plan provides a solution for traders occupying TPS (Temporary Shelters). Still, it has also resulted in their income over the last 5 years decreasing due to the lack of parking space for buyers. The condition of the TPS Pasar Senen Block 6 building is also poorly maintained, ranging from unsafe stairs to paths for visitors too narrow due to limited land. Senen Block 6 Market is the main target in this project. Over time, Pasar Senen Blok 6 changed significantly in physical condition and functionality. This project aims to revive Pasar Senen Blok 6 which had failed to be revitalized into a creative space with the main program being workshops and rental offices to help old traders have a suitable place to sell and visitors can express their creativity.</em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>Creative Center; Revitalization; Stalled</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Pasar Senen merupakan di Jakarta Pusat, DKI Jakarta. Pasar Senen Blok 6 merupakan salah satu bagian dari Pasar Senen, berada dekat dengan Terminal Bus Senen. Namun, Pasar Senen Blok 6 mangkrak dikarenakan tertundanya rencana revitalisasi oleh Anies Baswedan pada tahun 2021 akibat pandemi Covid-19. Perencanaan revitalisasi tersebut memberikan solusi untuk para pedagang menempati TPS (Tempat Penampungan Sementara), namun juga mengakibatkan pendapatan mereka selama 5 tahun terakhir semakin menurun karena tidak adanya lahan parkir untuk para pembeli. Kondisi bangunan TPS Pasar Senen Blok 6 juga kurang terawat, mulai dari tangga yang tidak aman untuk digunakan hingga jalur untuk pengunjung yang terlalu sempit akibat terbatasnya lahan. Pasar Senen Blok 6 menjadi target utama dalam proyek ini. Seiring berjalannya waktu perubahan pada Pasar Senen Blok 6 terjadi secara signifikan dalam kondisi fisik, dan fungsionalitas. Tujuan dari proyek ini adalah menghidupkan kembali Pasar Senen Blok 6 yang sempat gagal direvitalisasi menjadi <em>creative space</em> dengan program utamanya berupa <em>workshop</em> dan kantor sewa untuk membantu para pedagang lama memiliki tempat yang layak untuk berjualan dan para pengunjung dapat mengeluarkan kreativitasnya.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30916PENERAPAN KONSEP TERAS PADA RUANG KOMUNITAS SEBAGAI SRATEGI MENGHIDUPKAN KEMBALI MAKNA TEMPAT DI LITTLE TOKYO BLOK M2024-06-28T12:13:58+00:00Jonathan Immanueljnathann16@gmail.comOlga Nauli Komalaolga@ft.untar.ac.id<p>Little Tokyo, which is located in the Blok M area, is one of the entertainment venues that is popular with young people in Jakarta. This area has a historical background as a place for Japanese people in Jakarta. The Japanese community has a culture of spending time at entertainment venues after a long day of work. This culture was carried over by Japanese people in Jakarta and was the beginning of why Little Tokyo was formed. Initially, this area was dominated by culinary places, bars and karaoke, offices, and others. However, as time goes by, there is a decrease in the number of native Japanese people who are still in Jakarta, so that Little Tokyo increasingly loses its meaning as a place. The aim of the research is to explore design approaches that can revive Little Tokyo as a place or forum for a community of Japanese culture lovers. The method used is a qualitative descriptive method by tracing the influence of Japanese culture in the Little Tokyo area through observation, starting from physical elements such as buildings to non-physical elements such as activities. This research resulted in the application of the terrace concept in Little Tokyo. The terrace concept can be related to the location of the site as a gate or entrance to the Little Tokyo area. The terrace concept also creates open space on several connected floors. The terrace concept is related to the Japanese cultural activity program and has been accepted by Indonesian culture.</p> <p><strong>Keywords: </strong>community; Japan; terrace</p> <p>Abstrak</p> <p>Little Tokyo yang terletak di Kawasan Blok M merupakan salah satu tempat hiburan yang digemari oleh kalangan anak muda di Jakarta. Kawasan ini memiliki latar belakang sejarah sebagai tempat bagi orang-orang Jepang di Jakarta. Komunitas Jepang tersebut memiliki budaya untuk menghabiskan waktu ke tempat hiburan setelah seharian bekerja. Budaya tersebut terbawa oleh orang Jepang yang ada Jakarta dan menjadi awal mengapa Little Tokyo ini terbentuk. Awalnya, kawasan ini didominasi oleh tempat kuliner, bar dan karaoke, kantor, dan lainnya. Namun seiring berjalannya waktu, terjadi penurunan jumlah orang asli Jepang yang masih berada di Jakarta sehingga Little Tokyo semakin kehilangan makna tempatnya. Tujuan penelitian adalah untuk menelusuri pendekatan perancangan yang dapat membangkitkan kembali Little Tokyo sebagai tempat atau wadah bagi komunitas pecinta budaya Jepang. Metode yang dilakukan adalah metode deskriptif kualitatif dengan melakukan penelusuran terhadap pengaruh budaya Jepang di kawasan Little Tokyo melalui observasi, mulai dari unsur fisik seperti bangunan sampai pada nonfisik seperti kegiatan. Penelitian ini menghasilkan penerapan konsep teras di Little Tokyo. Konsep teras dapat berhubungan dengan letak site sebagai Gate atau pintu masuk kawasan Little Tokyo. Konsep teras juga menciptakan ruang terbuka di beberapa lantai yang saling terkoneksi. Konsep teras berhubungan terhadap program aktivitas budaya orang Jepang dan sudah diterima oleh budaya orang Indonesia.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30918PENERAPAN METODE DISPROGRAMMING DALAM PENINGKATAN IDENTITAS DAN PERKEMBANGAN HERITAGE TOURISM PADA GALANGAN VOC 2024-06-28T12:26:56+00:00Aurellia Ghasani Salsabilaaurellia.315200113@stu.untar.ac.idOlga Nauli Komalaolga@ft.untar.ac.id<p>Kawasan heritage merupakan sebuah kawasan dengan peninggalan sejarah yang perlu dilestarikan keberadaannya. Sunda Kelapa Kota Tua dikenal sebagai kawasan sejarah yang menjadikanya salah satu destinasi wisata bagi turis lokal hingga mancanegara. Sebagai kota metropolitan, Jakarta tak luput dengan kehidupan modernitas. Akibatnya, pada kawasan sejarah ini didapati sebuah area yang mengalami degradasi akibat paparan fenomena modernitas. Area tersebut adalah komplek bangunan Gedung Galangan VOC. Galangan VOC merupakan salah satu bangunan tua peninggalan era kolonial Belanda dengan begitu banyak cerita sejarah didalamnya. Kini bangunan Gedung GalanganVOC termasuk dalam golongan bangunan bersejarah dikawasan cagar budaya Kota Tua. Degradasi yang terjadi pada area Gedung Galangan VOC ini berupa degradasi fisik dan juga fungsi sehingga membuatnya kurang merespon dan tidak menyesuaikan secara konteks. Menanggapi permasalahan degradasi tersebut, dilakukan upaya perumusan solusi arsitektural dalam mengatasi isu-isu yang menghambat perkembangan Galangan VOC sebagai wisata sejarah dalam bentuk cagar budaya, dengan pendekatan metode Disprogramming guna menemukan peluang yang ada, diharapan kan mampu membantu menghidupkan kembali, menjaga keberadaan serta membantu melestarikan bangunan Gedung Galangan VOC ini. Temuan penelitian ini diharapkan mampu menjadi solusi yang tepat untuk menjaga keaslian Gedung Galangan VOC ini dan menjadi daya tarik yang lebih bagi wisatawan.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30919PENERAPAN KONSEP KONTEKSTUAL PADA MALL METROPOLIS TOWN SQUARE DALAM BENTUK PUSAT OLAHRAGA DI KOTA MODERN2024-06-28T12:30:58+00:00Stella Catherina Tamelan Barita Simarmatastellasimarmata94@gmail.comJ.M. Joko Priyono Santosojokop@ft.untar.ac.id<p>Marked by the closure of retailers and facilities such as cinemas, department stores, and food courts¸ making Metropolis Town Square Mall one of the shopping centers in Jabodetabek that experienced placelessness. The existence of a pandemic has also exacerbated the existing conditions, but after the pandemic has ended, the condition of the mall has not improved. The factors that cause placelessness are intense competition with other shopping centers, the development of e-commerce that is dominating, the lack of difference with other shopping centers, and the existence of vacant land on the site that is not used effectively. So that the impact obtained is that the Metropolis Town Square Mall has decreased attractiveness and visitors who come and resulted in many facilities in the mall that are no longer functioning or closed. Because of this, the research is expected to provide an intervention to revive, maximize the potential of the site and make the location back into place. Strategies that can be implemented are analyzing the target users around the site, using architectural approaches and methods, and promoting sustainability so that the building can last for a long time. Through the contextual architecture approach, the project produces a sports center by utilizing vacant land on the site to function more effectively. The resulting design proposal is expected to make the Metropolis Town Square Mall a place again.</p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>contextual; mall; placelessness; sports center</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Ditandai dengan ditutupnya retail-retail dan fasilitas seperti bioskop, department store, hingga foodcourt membuat Mall Metropolis Town Square menjadi salah satu pusat perbelanjaan di Jabodetabek yang mengalami placelessness. Adanya pandemi pun memperparah kondisi yang ada, namun setelah pandemi sudah berakhir kondisi mall pun belum membaik. Faktor-faktor penyebab placelessness tersebut berupa persaingan yang ketat dengan pusat perbelanjaan lain, perkembangan e-commerce yang sedang mendominasi, kurangnya perbedaan dengan pusat perbelanjaan yang lain, serta adanya lahan kosong di tapak yang tidak difungsikan secara efektif. Sehingga dampak yang didapat yaitu Mall Metropolis Town Square penurunan daya tarik serta pengunjung yang datang dan mengakibatkan banyak fasilitas dalam mall yang tidak lagi difungsikan atau tutup. Oleh karena ini, penelitian diharapkan dapat memberikan sebuah intervensi untuk menghidupkan kembali, memaksimalkan potensi yang dimiliki tapak dan menjadikan lokasi tersebut kembali menjadi place. Strategi yang dapat diimplementasikan yaitu menganalisis sasaran pengguna di sekitar tapak, menggunakan pendekatan dan metode arsitektur, serta mengedepankan keberlanjutan agar bangunan dapat bertahan dalam jangka waktu yang panjang. Melalui pendekatan arsitektur kontekstual menghasilkan proyek berupa pusat olahraga dengan memanfaatkan lahan kosong di tapak untuk difungsikan lebih efektif. Usulan perancangan yang dihasilkan tersebut diharapkan dapat menjadikan Mall Metropolis Town Square kembali menjadi place.</p> <p><strong> </strong></p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30920PENGEMBANGAN WISATA BUDAYA DI SETU BABAKAN DENGAN PENDEKATAN PLACEMAKING: MENINGKATKAN DAYA TARIK WISATA2024-06-28T12:35:37+00:00Namira Fitrinamira.315200097@stu.untar.ac.idJ.M. Joko Priyono Santosojokop@ft.untar.ac.id<p>The Betawi people, the indigenous people of Jakarta, have rich artistic heritage such as dance, culinary, and music. Over time, however, many Betawi art traditions were forgotten. The DKI Jakarta government developed the Setu Babakan Cultural Village to preserve and improve cultural tourism. Although initially successful in attracting tourists, Setu Babakan will experience a significant decrease in visits during the COVID-19 pandemic, influenced by the lack of physical and non-physical attraction as well as the cessation of art performances. This study aims to restore Setu Babakan's tourist attraction with the Placemaking approach and the application of interlock program. This study identified the factors that led to the degradation of Setu Babakan's tourist attraction, which strategized with placemaking principles and interlock program to create a cultural space integrated with existing tourism in Setu Babakan. Qualitative descriptive methods are conducted through literature studies, support theory studies, surveys and documentation. Through the results of the analysis, the programs found were interactive galleries, workshops, art training and informal schools using the concept of interlock program can overcome the degradation of tourist attraction and provide opportunities for visitors to travel to the existing Setu Babakan tourism so that tourism in Setu Babakan can become a tourist attraction again. To increase the maximum tourist attraction in Setu Babakan, further evaluation of the effectiveness of the proposed programs is needed. A survey on the satisfaction of visitors and the local community after new programs is urgently needed to receive input and continue to improve the quality of tourism in Setu Babakan.</p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>interlock program; placemaking</em>; Setu Babakan</p> <p>Abstrak</p> <p>Suku Betawi, suku asli Jakarta, memiliki warisan seni yang kaya seperti tari, kuliner, dan musik. Namun, seiring waktu, banyak tradisi seni Betawi terlupakan. Pemerintah DKI Jakarta mengembangkan Kampung Budaya Betawi Setu Babakan untuk melestarikan dan meningkatkan pariwisata budaya. Meskipun awalnya sukses menarik wisatawan, Setu Babakan mengalami penurunan kunjungan signifikan saat pandemi COVID-19, dipengaruhi oleh minimnya daya tarik fisik dan non-fisik serta penghentian dari pertunjukan seni. Studi ini bertujuan untuk mengembalikan daya tarik wisata Setu Babakan dengan pendekatan Placemaking dan penerapan interlock program. Studi ini mengidentifikasi faktor yang menyebabkan terjadinya degradasi daya tarik wisata Setu Babakan yang distrategikan dengan prinsip placemaking dan interlock program untuk menciptakan ruang budaya yang berintegrasi dengan wisata-wisata yang sudah ada di Setu Babakan. Metode desktiptif kualitatif dilakukan melalui studi literatur, kajian teori pendukung, survey dan dokumentasi. Melalui hasil analisis, program yang ditemukan berupa galeri interaktif, workshop, pelatihan seni dan sekolah informal dengan menggunakan konsep interlock program dapat mengatasi dari degradasi daya tarik wisata dan memberikan peluang bagi pengunjung untuk berwisata ke wisata Setu Babakan yang sudah ada sehingga wisata di Setu Babakan dapat kembali menjadi daya tarik wisata. Untuk meningkatkan daya tarik wisata di Setu Babakan secara maksimal, diperlukannya evaluasi lebih lanjut dari keefktifan program-program yang diusulkan. Survei kepuasan pengunjung dan masyarakat lokal setelah adanya program-program baru sangat diperlukan untuk mendapatkan masukan dan terus meningkatkan kualitas wisata di Setu Babakan. </p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30921MERAJUT BUDAYA DAN PERDAGANGAN PECINAN GLODOK MELALUI PENDEKATAN PLACEMAKING 2024-06-28T12:38:56+00:00Andrea Georgina Therikandreageorgina109@gmail.comJ.M. Joko Priyono Santosojokop@ft.untar.ac.id<p><em>Pecinan Glodok is the largest area in Jakarta with a rich Chinese cultural heritage, predominantly inhabited by ethnic Chinese descendants. Currently, the identity of Pecinan Glodok has faded over time. In the past, Glodok was known as a center of commerce and socio-cultural activities. However, today, Glodok's trade survives in a shabby and disorganized state, overshadowing the cultural activities that could thrive. This study aims to restore Pecinan Glodok's identity through a placemaking approach and traditional Chinese architectural concepts, particularly the principles of symmetry and balance. The study identifies factors contributing to the "Placeless Place" in Pecinan Glodok and concludes that integrating placemaking with traditional architectural principles can effectively revive Pecinan Glodok's identity, create an environment that supports social and cultural activities, and strengthen the sense of connection and place identity that has faded. Qualitative data collection methods include literature studies, supporting theoretical reviews, surveys, and documentation. The analysis found that with programs such as a Pecinan food market, cultural attractions, and improved public facilities using the concepts of symmetry and balance, the area's cultural identity can be restored, enhancing Pecinan Glodok's attractiveness to revive the local economy and help culture become visible and thrive. To optimize the improvement of Pecinan Glodok, further research is needed on the socio-economic impact of relocating street vendors, evaluation of area management, development of public spaces that support local culture, and surveys of visitor and business satisfaction.</em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong>Glodok; <em>placeless; place; placemaking</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Pecinan Glodok merupakan kawasan dengan warisan budaya Tionghoa yang kaya dan terbesar di Jakarta dengan mayoritas penghuninya adalah warga dengan keturunan etnis Tionghoa. Melihat Pecinan Glodok saat ini, Identitasnya telah memudar seiring dengan berjalannya waktu. Dahulu, Glodok dikenal dengan pusat perdagangan serta aktivitas sosial budayanya. Namun, Saat ini perdagangan Glodok hanya bertahan seadanya dengan kondisi kumuh dan semrawut sehingga menutupi aktivitas budaya yang seharusnya dapat berkembang. Studi ini memiliki tujuan untuk mengembalikan identitas Pecinan Glodok melalui pendekatan <em>Placemaking</em> dan konsep arsitektur tradisional Cina, khususnya prinsip simetri dan keseimbangan. Studi ini mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap "<em>Placeless Place" </em>yang terjadi pada pecinan Glodok dan menyimpulkan bahwa perpaduan <em>Placemaking</em> dengan prinsip-prinsip arsitektur tradisional dapat menjadi pendekatan yang efektif untuk menghidupkan kembali identitas Pecinan Glodok, menciptakan lingkungan yang mendukung aktivitas sosial dan budaya, serta memperkuat rasa keterhubungan dan identitas tempat yang kini telah memudar. Metode pengumpulan data kualitatif dilakukan melalui studi literatur, kajian teori yang mendukung, survei dan dokumentasi. Melalui analisis, Ditemukan bahwa dengan program berupa pecinan <em>food market</em>, atraktor budaya, dan peningkatan fasilitas publik menggunakan konsep simetri dan keseimbangan dapat mengembalikan identitas budaya dan meningkatkan daya tarik kawasan agar dapat membangkitkan ekonomi lokal pecinan Glodok dan membantu budaya untuk dapat terlihat dan berkembang. Untuk mengoptimalkan pembenahan Pecinan Glodok, diperlukan penelitian lanjutan tentang dampak sosial-ekonomi relokasi pedagang kaki lima, evaluasi pengelolaan kawasan, pengembangan ruang publik yang mendukung budaya lokal, serta survei kepuasan pengunjung dan pelaku usaha.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30922MENGHIDUPKAN KEMBALI IDENTITAS KELURAHAN KEBON JERUK MELALUI STRATEGI PLACEMAKING2024-06-28T12:42:48+00:00Cellina Wongcellina.wong.cw@gmail.comFermanto Liantofermantol@ft.untar.ac.id<p><em>Identity is an important factor in the meaning of a place. Identity here is formed from the authentic elements of a place that differentiate it from others. However, over time, a place can become placeless due to physical, economic or social degradation, which is known as a placeless place. Kebon Jeruk is one of them that experiences the placeless place phenomenon. It is named Kebon Jeruk because of its identity as the largest citrus fruit producing area since Dutch colonialism. It started with the implementation of a forced planting system policy which in this area focused on growing oranges. Shortly after independence, this area still maintained its identity as an orange plantation. The farmers grew crops in their yards without any coercion from the Dutch and then sold the harvests to the market, and some for their own consumption. This is a symbolic bond between nature and humans living side by side and complementing each other. However, this area has failed to adapt to an era where the identity of the name Kebon Jeruk is now not reflected in an area that is densely populated with residential areas and offices. Therefore, an architectural approach is needed with the aim of restoring the area's identity both in terms of culture and history, which can build a sense of place attachment among residents so that it has a long-term impact. With the programming method, it combines two main programs in the form of urban farming and edutainment into a new program, namely the agrotourism program. It is hoped that it can provide awareness of the importance of preserving the identity of Kebon Jeruk, as oranges have become a flavoring medium to build a sense of place attachment and have one's memory.</em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>Edutainment; Kebon Jeruk; Urban Farming; Placeless Place; Placemaking</em></p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Identitas menjadi faktor penting akan pemaknaan place dari suatu tempat. Identitas disini terbentuk dari unsur otentik suatu tempat yang membedakannya dengan yang lain. Namun seiring berjalannya waktu, place dapat berubah menjadi placeless dikarenakan degradasi dari segi fisik, ekonomi, atau sosial yang dikenal sebagai placeless place. Kebon Jeruk merupakan salah satunya yang mengalami fenomena placeless place. Dinamakan Kebon Jeruk karena identitasnya sebagai kawasan penghasil buah jeruk terbesar sejak penjajahan Belanda. Berawal dari diberlakukan kebijakan sistem tanam paksa yang pada kawasan ini berfokus menanam jeruk. Sesaat setelah kemerdekaan, kawasan ini tetap mempertahankan identitasnya sebagai perkebunan jeruk. Para petani bercocok tanam di halaman rumahnya tanpa adanya paksaan dari Belanda yang kemudian hasilnya dijual ke pasar, dan sebagian untuk konsumsi sendiri. Hal ini menjadi ikatan simbolis antara alam dan manusia hidup berdampingan saling melengkapi. Akan tetapi, kawasan ini gagal beradaptasi dengan zaman dimana identitas dari nama Kebon Jeruk sekarang tidak tercermin pada kawasan yang padat pemukiman, dan perkantoran. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan arsitektural dengan tujuan mengembalikan identitas kawasan baik dari segi budaya, dan sejarah terkandung yang dapat membangun rasa place attachment para warga sehingga berdampak secara jangka panjang. Dengan metode disprogramming menggabungkan dua program utama berupa urban farming dan edutainment menjadi suatu program baru, yakni program agrowisata. Diharapkan dapat memberikan kesadaran akan pentingnya melestarikan identitas Kebon Jeruk sebagai jeruk menjadi media perasa untuk membangun rasa place attacment dari memori seseorang.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30923REVITALISASI VIHARA AMURVA BHUMI DENGAN PENDEKATAN LIVABILITY SPACE2024-06-28T12:47:06+00:00Marcella Dwiyanda Larasatimarcella.315200077@stu.untar.ac.idFermanto Liantofermantol@ft.untar.ac.id<p>Jatinegara is known as one of the areas with a Chinatown environment in Jakarta, located on Jalan Pasar Lama as a trading area. Jatinegara has traditional, socio-economic and historical values with high architectural value. This neighborhood has a history of Chinese culture and bustling trade, but over time, Chinatown on Jalan Pasar Lama has begun to disappear and trade in this area has declined. With so many old buildings that are poorly maintained, the vitality of this neighborhood is decreasing and the characteristic elements of Chinatown and the trade itself are also fading. However, one ethnic Chinese heritage was still found that was still standing and well-maintained in an area that had lost its character, namely the Amurva Bhumi Vihara, which has stood for 326 years, and is a point of interest on Jalan Pasar Lama. Therefore, several updates will be carried out to improve the function of the area by revitalizing the Amurva Bhumi Vihara with the aim of increasing the vitality of the area with a Buddhist religious approach. This research uses a rationalistic method using livability space design methods, namely in terms of activities, accessibility, security and also environmental quality by collecting data through observing the surrounding environment. Livability space is the definition of a comfortable area by making public space environmentally friendly with the development of the Buddhist religious sector and educational tourism.</p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>Buddha; chinatown; livability; revitalization; Vihara</em></p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Jatinegara dikenal sebagai salah satu kawasan dengan lingkungan pecinan di Jakarta, terletak di Jalan Pasar Lama sebagai kawasan perdagangan. Jatinegara memiliki nilai tradisi, sosial ekonomi, dan juga sejarah dengan nilai arsitektur yang tinggi. Lingkungan ini memiliki sejarah akan kebudayaan Cina dan perdagangan yang ramai, namun seiring berkembangnya zaman, pecinan pada Jalan Pasar Lama sudah mulai hilang dan perdagangan di kawasan ini sudah menurun. Dengan banyaknya bangunan tua yang kurang terawat, vitalitas pada lingkungan ini pun menurun dan unsur ciri khas pecinan dan perdagangan itu sendiri juga memudar. Namun masih ditemukan satu peninggalan Etnis Tionghoa yang masih berdiri dan terawat di kawasan yang kehilangan karakternya, yaitu Vihara Amurva Bhumi yang sudah berdiri selama 326 tahun, menjadi <em>point of interest</em> dari Jalan Pasar Lama. Maka dari itu, akan dilakukan beberapa pembaruan sebagai peningkatan fungsi kawasan dengan melakukan revitalisasi Vihara Amurva Bhumi sebagai tujuan meningkatkan vitalitas kawasan dengan pendekatan keagamaan buddha. Penelitian ini menggunakan metode rasionalistik dengan menggunakan metode perancangan dari <em>livability space</em> yaitu berupa segi aktivitas, aksesibilitas, keamanan, dan juga kualitas lingkungan dengan mengumpulkan data melalui observasi lingkungan sekitar. <em>Livability space</em> merupakan definisi dari sebuah kawasan yang nyaman dengan menjadikan ruang publik yang ramah lingkungan dengan adanya pengembangan sektor keagamaan Buddha dan wisata edukasi.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30925REDEVELOPMENT PASAR SENI ANCOL DENGAN PENERAPAN ADAPTIVE ARCHITECTURE2024-06-28T16:36:29+00:00Fairuz Hayya Firdauzifairuzhayya@gmail.comFermanto Liantofermantol@ft.untar.ac.id<p><em>Ancol Art Market is the largest and oldest art market in Jakarta. The existence of the Ancol Art Market used to be a gathering place for artists and art lovers. Initially, the Art Market was built semi-permanently and because at that time, people had a high interest in the Ancol Art Market, Taman Impian Jaya Ancol decided to make the Art Market a permanent tourist attraction in Ancol. However, with globalization and technological advances, the Ancol Art Market, which has not been able to keep up with these developments, has lost its identity and appeal. 2015 was the time when they started to lack a lot of buyers and visitors at the Ancol Art Market. Many artists and craftsmen only rely on customers for their income. Therefore, this project aims to restore the identity of the Ancol Art Market and make the Ancol Art Market a new forum for young artists as well as give a new face to the Ancol Art Market without losing the old image and character of this art market. The method used in this research is content analysis with a design method using the adaptive architecture concept. The application of this method is to accommodate changes in the function of the art market over time and as technology develops. Ancol Art Market is designed in such a way that it can easily be repurposed from a traditional art exhibition venue into a space for modern art events, such as digital exhibitions, interactive art installations, or multimedia performances.</em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>Art; Innovation; Market; Modern; Technology</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Pasar Seni Ancol merupakan pasar seni terbesar dan tertua di Jakarta. Keberadaan Pasar Seni Ancol dahulu adalah sebagai tempat berkumpulnya para seniman dan penikmat seni. Awal mulanya Pasar Seni ini dibangun semi permanen dan karena pada masa itu, masyarakat memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap Pasar Seni Ancol, maka pihak Taman Impian Jaya Ancol memutuskan untuk membuat Pasar Seni sebagai objek wisata permanen di Ancol. Namun, dengan adanya globalisasi dan kemajuan teknologi membuat Pasar Seni Ancol yang tidak bisa mengikuti perkembangan tersebut kehilangan identitas dan daya tariknya. Tahun 2015 adalah masa dimana mereka mulai kekurangan banyak pembeli dan juga pengunjung di Pasar Seni Ancol. Banyak dari para seniman dan perajin yang hanya mengandalkan pelanggan sebagai pendapatan mereka. Oleh karena itu, tujuan dari proyek ini adalah untuk mengembalikan identitas Pasar Seni Ancol dan menjadikan Pasar Seni Ancol sebagai wadah baru bagi seniman muda serta memberikan wajah baru bagi Pasar Seni Ancol tanpa menghilangkan citra dan karakter lama dari pasar seni ini. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah <em>content analysis</em> dengan metode perancangan menggunakan konsep <em>adaptive architecture</em>. Penerapan metode ini adalah untuk mengakomodasi perubahan fungsi pasar seni seiring waktu dan teknologi yang berkembang. Pasar Seni Ancol dirancang sedemikian rupa sehingga dapat dengan mudah diubah fungsinya dari tempat pameran seni tradisional menjadi ruang untuk acara seni modern, seperti pameran digital, instalasi seni interaktif, atau performa multimedia.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30926GALANGAN VOC: MENGHIDUPKAN KEMBALI CITRA HISTORIS PESISIR MELALUI SPATIAL ADAPTIVE REUSE2024-06-28T16:43:14+00:00Raymond Christoperchristoperraymond08@gmail.comMaria Veronica Gandhamariag@ft.untar.ac.id<p><em>Modernization plays a crucial role in </em><em>spreading</em><em> trends and dynamic needs. </em><em>A location inability</em><em> to adapt</em><em> with modernity</em><em> can result in degradation leading to placelessness, including historic buildings. </em><em>Galangan VOC</em><em> is known as </em><em>one of the</em><em> historic building on the coast of Jakarta. Since it</em><em>’</em><em>s establishment, the VOC Shipyard has undergone several program changes, from shipyards to restaurants. However, due to accessibility issues and program </em><em>lagging behind to</em><em> modern needs, the building has become bankrupt</em> <em>and abandoned</em><em>. </em><em> </em><em>These factors make</em><em> accessibility and program adaptability the main causes of placelessness. The research approach uses qualitative descriptive and phenomenological methods with a spatial adaptive reuse</em><em> as design approach</em><em>, which is adaptive and </em><em>changeable</em><em>, while still reusing existing. The research findings indicate that the restaurant is not suitable for modern needs and context, and </em><em>expansion of the area towads</em><em> Tongkol Street has the potential </em><em>to be </em><em>attractor</em><em> and main access</em><em> to heritage site. Therefore, the research findings suggest the need for programs </em><em>that align</em><em> with modern needs and context, with the main entrance facing the cultural heritage site. These programs include the Shipyard program, aimed at reviving and preserving the coastal character, and the Modernity program, as a response </em><em>of adaptivity to </em><em> trendy and modern program needs, while still considering the local community.</em></p> <p><strong><em>Keywords</em></strong><strong><em>: </em></strong><em>adaptive; connector; modernity; reuse; shipyard</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Modernisasi memiliki peran krusial dalam penyebaran tren dan kebutuhan dinamis. Ketidakmampuan suatu lokasi untuk beradaptasi terhadap modernisasi dapat mengakibatkan degradasi yang mengarah pada <em>placeless</em>, tak terkecuali pada bangunan bersejarah. Galangan VOC dikenal sebagai salah satu bangunan bersejarah di pesisir Jakarta. Sejak berdiri, Galangan VOC telah mengalami sejumlah perubahan program, mulai dari perkapalan hingga restoran. Namun, sebagai akibat dari masalah aksesibilitas, serta ketertinggalan program pada kebutuhan modern membuat bangunan ini bangkrut dan akhirnya ditinggalkan. Faktor tersebut menjadikan aksesibilitas dan ketidakmampuan adaptasi program sebagai permasalahan utama penyebab <em>placeless place</em> pada Galangan VOC. Pendekatan penelitian menggunakan metode kualitatif deskriptif dan fenomenologi dengan pendekatan desain yaitu <em>spatial adaptive reuse</em> yang adaptif dan dapat berubah sesuai kebutuhan, serta tetap menggunakan kembali bangunan eksisting. Hasil penelitian menunjukkan bahwa program restoran kurang sesuai dengan kebutuhan modern dan konteks, serta perluasan area menuju jalan tongkol berpotensi sebagai <em>attractor</em> dan akses utama menuju cagar budaya. Sehingga, temuan penelitian berupa kebutuhan program yang selaras dengan kebutuhan modern dan konteks, serta akses masuk utama akan berseberangan dengan cagar budaya. Program tersebut yaitu program <em>Shipyard</em>, dalam mengangkat, menghidupkan, dan menjaga karakter pesisir kembali, serta program <em>Modernity</em> sebagai respon terhadap kebutuhan program yang adaptif terhadap tren dan modern, dengan tetap mengacu pada komunitas sekitar.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30927 PUSAT REKREASI ANTARGENERASI SEBAGAI SOLUSI UNTUK MENGHIDUPKAN KEMBALI KAWASAN KAMPUNG VIETNAM DI JAKARTA TIMUR2024-06-28T16:45:50+00:00Keren Happuch Goethekerenh2311@gmail.comMaria Veronica Gandhamariag@ft.untar.ac.id<p>The increasing population growth in East Jakarta is in line with the phenomenon of environmental degradation in Vietnamese villages. As the age of the population increases, their health condition decreases, because the needs received by the population are not appropriate. Vietnam Village itself is one of the long-neglected areas that has a history of being a place of refuge for Vietnamese citizens during the war with America in 1977. In 1980, the government began building a nursing home in this village, but the residents of the nursing home in this village had to be moved due to flooding in 2002. Until now, the condition of Vietnam Village is still abandoned, and there are no residents living in it. The research method used in this writing is a descriptive and qualitative method by analyzing existing data, observing, and conducting documentation studies. Through the application of elements to improve a person's quality of life both physically, socially, and emotionally, it is hoped that we can create a program with facilities that can support the health of users. This is in the form of a recreation center that can improve the quality of life for both children and the elderly. Where various generations can carry out activities or activities to improve health and quality of life. So that seniors remain active and feel needed, while children and adults can learn respect and tolerance, as well as other useful skills.</p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>health; intergenerational; recreation; vietnamese village </em></p> <p>Abstrak</p> <p>Peningkatan pertumbuhan penduduk yang terjadi di Jakarta Timur selaras dengan fenomena degradasi lingkungan pada Kampung Vietnam. Dimana semakin tinggi usia penduduk, kondisi kesehatannya semakin menurun, hal ini dikarenakan kebutuhan yang diterima oleh penduduk tidak sesuai. Kampung Vietnam sendiri merupakan salah satu wilayah yang sudah lama terbengkalai yang memiliki sejarah tempat pengungsian bagi warga Vietnam ketika terjadi perang dengan negara Amerika pada tahun 1977. Dan pada tahun 1980, pemerintah mulai membangun panti jompo di kampung ini, namun penghuni panti jompo di kampung ini terpaksa dipindahkan karena adanya banjir pada tahun 2002. Hingga saat ini, kondisi Kampung Vietnam masih terbengkalai, dan tidak ada penghuni yang tinggal didalamnya. Metode riset yang digunakan dalam penulisan ini merupakan metode deskriptif dan kualitatif dengan melakukan analisis terhadap data yang ada, observasi, dan melakukan studi dokumentasi. Melalui penerapan elemen dalam meningkatkan kualitas hidup seseorang baik secara fisik, sosial, maupun emosional, diharapkan dapat menciptakan suatu program dengan fasilitas yang dapat mendukung kesehatan bagi para pengguna. Hal ini berupa pusat rekreasi yang dapat meningkatkan kualitas hidup baik dari anak-anak hingga lansia. Dimana berbagai macam generasi dapat melakukan kegiatan atau aktivitas untuk meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup. sehingga para lansia tetap aktif dan merasa dibutuhkan, sementara anak-anak dan orang dewasa dapat belajar rasa hormat dan toleransi, serta keterampilan lain yang bermanfaat.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30928REKONSTRUKSI SUAKA MARGASATWA MUARA ANGKE: INTEGRASI LINGKUNGAN DALAM PENGEMBANGAN SEBAGAI PUSAT PENELITIAN DAN PARIWISATA EKOLOGI 2024-06-28T16:48:15+00:00Muhammad Vicko Kaspriyomuhammad.315200096@stu.untar.ac.idMaria Veronica Gandhamariag@ft.untar.ac.id<p><em>Based on the official decision of the Minister of Forestry of the Republic of Indonesia, as stated in Decree Number 097/Kpts-II/1988 on February 29, 1988, the Muara Angke Wildlife Sanctuary (SMMA), previously recognized as a nature reserve, has now been developed into a Conservation Area covering 25.02 hectares in the mangrove forests of North Jakarta. Although initially an intact wildlife sanctuary, the Muara Angke area has experienced significant pressure and damage, resulting in degradation of half of the nature reserve's area. Additionally, the Muara Angke Wildlife Sanctuary faces other challenges, such as a low number of visitors due to poorly maintained infrastructure and a lack of human resources to sustain the area's condition. The reconstruction efforts of the Muara Angke Wildlife Sanctuary involve a series of important steps. Improving the area's infrastructure and building an attractive entrance are necessary to increase visitor appeal. The main focus of this reconstruction is enhancing the quality of the refuge and developing research facilities to monitor the wildlife inhabiting the area. The Muara Angke Wildlife Sanctuary can become an ecotourism center that benefits environmental education, local economic growth, nature conservation, and tourism. The reconstruction process must be carried out sustainably to prevent ecosystem damage. The research methods used include observations in the style of Christopher Alexander and content-based data analysis. The results show that the reconstruction of the Wildlife Sanctuary is not only conservative but also an educational effort and community engagement in collective awareness of the importance of biodiversity conservation.</em></p> <p><strong>Keywords: </strong>degradation, ecology, facilities, research, reconstruction</p> <p>Abstrak</p> <p>Berdasarkan keputusan resmi Menteri Kehutanan Republik Indonesia yang tercantum dalam Surat Keputusan Nomor 097/Kpts-II/1988 pada tanggal 29 Februari 1988, Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA), yang sebelumnya diakui sebagai cagar alam, kini telah berkembang menjadi Kawasan Konservasi seluas 25,02 hektar di wilayah hutan mangrove di Jakarta Utara. Meskipun awalnya merupakan suaka alam yang utuh, Kawasan Muara Angke mengalami tekanan signifikan dan kerusakan yang menyebabkan setengah dari luas cagar alam tersebut mengalami degradasi. Selain itu, Kawasan Margasatwa Muara Angke juga menghadapi tantangan lain, seperti minimnya jumlah pengunjung akibat kondisi infrastruktur yang kurang terjaga dan kekurangan sumber daya manusia untuk menjaga keberlanjutan kawasan ini. Upaya rekonstruksi Suaka Margasatwa Muara Angke melibatkan serangkaian langkah penting. Perbaikan infrastruktur kawasan dan pembangunan pintu masuk yang menarik diperlukan untuk meningkatkan daya tarik pengunjung. Fokus utama rekonstruksi ini adalah peningkatan kualitas pengungsian dan pembangunan fasilitas penelitian untuk memonitor perkembangan satwa liar yang mendiami kawasan ini. Suaka Margasatwa Angke dapat menjadi pusat pariwisata ekologi yang menguntungkan pendidikan lingkungan, pertumbuhan ekonomi lokal, pelestarian alam, dan pariwisata. Proses rekonstruksi harus dilakukan secara berkelanjutan untuk menghindari kerusakan ekosistem. Metode penelitian yang digunakan melibatkan observasi ala Christopher Alexander dan analisis data berbasis konten. Hasilnya menunjukkan bahwa rekonstruksi Suaka Margasatwa tidak hanya bersifat konservatif, tetapi juga sebagai upaya edukasi dan keterlibatan masyarakat dalam kesadaran kolektif tentang pentingnya menjaga keanekaragaman hayati.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30929MENGINGAT KEMBALI BUDAYA TIONGHOA DI KOTA TANGERANG MELALUI INTERAKTIF GALERI DENGAN KONSEP AXIS INTERGRATED CIRCULATION2024-06-28T16:50:59+00:00Erick Prasetya Haryonoerickprasetya3008@gmail.comDenny Husindenny@ft.untar.ac.id<p>The disappearance of Chinese culture in Tangerang can be traced back to the main beliefs of the Cina Benteng community, namely Confucianism, and its relationship with other religious and cultural groups. The term "Cina Benteng" refers to the Chinese population in the Tangerang area, especially in Pasar Lama and its surroundings. The ancestors of the Cina Benteng community were Hokkien Chinese who came to Tangerang and settled in the area for several generations. However, over time, the Cina Benteng culture began to fade due to various factors, such as assimilation with local culture and modernization. The aim of this study is to propose a solution that can revive the lost Chinese culture in Tangerang. This can be achieved by creating spaces that depict the characteristics of Chinese culture. The method to be used is qualitative, by conducting surveys and observations regarding the current condition of Tangerang and then collecting data to determine if Chinese culture in Tangerang can be revived. The result of this study is an interactive gallery with an integrated axis circulation concept, allowing visitors to understand and experience the richness of Cina Benteng culture once again. This gallery will showcase artifacts, art, and traditions that are an important part of the Cina Benteng cultural heritage and provide a space for the community to interact and learn more deeply about the history and contributions of this community in Tangerang. It is hoped that with the existence of this gallery, the public can better appreciate and preserve the unique and valuable culture of Cina Benteng.</p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>architecture; chinese; gallery; interactive; Tangerang</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Hilangnya budaya Cina di Tangerang merupakan fenomena yang dapat ditelusuri kembali ke keberadaan keyakinan utama masyarakat Cina Benteng, yaitu Konfusianisme, dan hubungannya dengan kelompok agama dan budaya lainnya. Masyarakat Tionghoa Benteng adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada populasi Cina di daerah Tangerang, terutama di area Pasar Lama dan sekitarnya. Para leluhur masyarakat Cina Benteng adalah orang Cina Hokkien yang datang ke Tangerang dan tinggal di daerah ini selama beberapa generasi. Namun, seiring berjalannya waktu, budaya Tionghoa Benteng mulai memudar akibat berbagai faktor, seperti asimilasi dengan budaya lokal dan modernisasi. Tujuan dari penelitian ini yaitu mengusulkan salah satu solusi yang bisa membangkitkan budaya Tionghoa yang telah hilang di Tangerang. Hal ini dapat dicapai dengan menciptakan ruang-ruang yang menggambarkan khas dari budaya Tionghoa. Metode yang akan digunakan yaitu kualitatif dengan cara melakukan survei dan pengamatan mengenai kondisi Tangerang sekarang kemudian mengumpulkan data untuk mengetahui jika budaya Cina di Tangerang diangkat kembali. Hasil penelitian ini berupa galeri interaktif dengan konsep sirkulasi terintegrasi axis, yang memungkinkan pengunjung untuk memahami dan merasakan kembali kekayaan budaya Tionghoa Benteng. Galeri ini akan menampilkan artefak, seni, dan tradisi yang merupakan bagian penting dari warisan budaya Tionghoa Benteng, serta menyediakan ruang bagi masyarakat untuk berinteraksi dan belajar lebih dalam tentang sejarah dan kontribusi komunitas ini di Tangerang. Diharapkan, dengan adanya galeri ini, masyarakat dapat lebih menghargai dan melestarikan budaya Tionghoa Benteng yang unik dan berharga.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30930BUDAYA KOMUNITAS YANG DIBAWA KEMBALI DALAM PERBELANJAAN PEDESTRIAN DI PASEBAN SENEN2024-06-28T16:53:48+00:00Tania Arya Suryataniaaryasurya@gmail.comDenny Husindenny@ft.untar.ac.id<p>Phenomena ranging from the demise of mall buildings to the decline in people's interest in visiting malls are starting to occur more frequently in Jakarta. The issue that occurs is that the majority of mall buildings have a generic design, so there is no uniqueness that can attract people to visit and gather, especially in the Paseban area, which is in Senen sub-district, Central Jakarta, which at one time had a culture of gathering because of the presence of communities from Sultan Agung's troops were facing war. This also causes the function of mall buildings in general to become stagnant, therefore, this research aims to produce design proposals that can attract people to visit and revive the community culture that exists in Paseban in the form of a comfortable and modern place for shopping and productivity. The method used is by conducting surveys and also observing the Paseban area and its surroundings. The research step is carried out by visiting the selected site and then observing the environment, including roads, pedestrian conditions, and any facilities or buildings in the site area. The result of this research is a pedestrian shopping concept to provide new experiences to people with a different shape. The findings obtained are that unique and different designs can make buildings interesting to visit. The novelty of the design combines landscape with building forms which are still not often found in Jakarta.</p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>community; gather; pedestrian; shopping; stagnant</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Fenomena mulai matinya bangunan mall hingga menurunnya minat masyarakat mengunjungi mall mulai banyak terjadi di Jakarta. Isu yang terjadi adalah bahwa mayoritas bangunan mall memiliki desain yang generik, sehingga tidak adanya keunikan yang dapat menarik masyarakat untuk berkunjung dan berkumpul, terutama di daerah Paseban, yang berada di kecamatan Senen, Jakarta Pusat, yang pada masanya memiliki budaya berkumpul karena kehadirannya komunitas dari pasukan Sultan Agung saat sedang menghadapi masa perang. Hal ini juga menyebabkan bangunan fungsi mall pada umumnya menjadi stagnan, oleh karena itu, penelitian ini bertujuan menghasilkan usulan desain yang dapat menarik masyarakat untuk berkunjung dan menghidupkan kembali budaya berkomunitas yang ada di Paseban berupa tempat berbelanja dan berproduktifitas yang nyaman dan modern. Metode yang dilakukan yaitu dengan cara melakukan survei dan juga observasi terhadap daerah Paseban dan sekitarnya. Langkah penelitian dilakukan lewat mendatangi tapak terpilih dan kemudian melakukan observasi lingkungan baik jalanan, keadaan pedestrian, hingga fasilitas atau bangunan apa saja yang berada di daerah tapak. Hasil dari penelitian ini adalah konsep perbelanjaan berbentuk pedestrian untuk memberikan pengalaman baru kepada masyarakat dengan bentukan yang berbeda. Temuan yang didapatkan adalah desain yang unik dan berbeda dapat membuat bangunan menjadi menarik untuk dikunjungi. Kebaruan desain yang memadukan landscape dengan bentuk bangunan yang masih kurang banyak ditemui di Jakarta.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30944DESAIN VIHARA BUDDHA DENGAN KONSEP KESEDERHANAAN SEBAGAI IDENTITAS DI KAWASAN MANGGA BESAR2024-06-29T04:44:21+00:00Pricilia Angelina Theodoruspriciliatheodorus@gmail.comDenny Husindenny@ft.untar.ac.id<p><em>The negative impact phenomenon in the Mangga Besar area occurs because modernization and globalization have resulted in the transformation of an area that was once rich in Chinatown culture into a place famous for its nightlife. The issue of the area as the center of economic and cultural activities for the Chinese community, with its culinary diversity, religious rites and typical Chinatown architecture, is undergoing drastic changes. The biggest change that is clearly visible is the transformation of the area's function. The problem is, once filled with traditional shops, it has now been filled with the nightlife industry. This marks a shift in focus from traditional economic activities to a modern entertainment industry that accommodates Jakarta's rapidly growing urban lifestyle. This research aims to rebalance elements of Chinese culture and public perception and highlight the potential of the area through placemaking. The method used is qualitative with the concept of simplicity and naturalness of Buddhist Temple design. His findings by adding new functions that can balance activities in this area can be a solution to increase positive perceptions and achieve environmental balance in this area. The novelty is a building that can balance and provide calm amidst the busy nightlife in Mangga Besar.</em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>architecture;</em><em> degradation; function; placemaking; temple</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Fenomena dampak negatif di kawasan Mangga Besar terjadi karena modernisasi dan globalisasi terhadap transformasi sebuah kawasan yang dahulunya kaya akan budaya pecinan menjadi sebuah tempat yang terkenal akan kehidupan malamnya. Isu kawasan sebagai pusat kegiatan ekonomi dan budaya masyarakat Tionghoa, dengan keberagaman kuliner, ritus keagamaan, dan arsitektur khas pecinannya tengah mengalami perubahan yang drastis. Perubahan terbesar yang terlihat jelas adalah transformasi fungsi kawasan. Masalahnya, dahulu kawasan ini dipenuhi dengan toko-toko tradisional, kini telah dipenuhi oleh industri hiburan malam. Hal ini menandai pergeseran fokus dari kegiatan ekonomi tradisional ke industri hiburan modern yang mengakomodasi gaya hidup urban yang berkembang pesat di Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk menyeimbangkan kembali elemen budaya pecinan serta persepsi masyarakat dan menonjolkan potensi kawasan melalui placemaking. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan konsep kesederhanaan dan kealamian desain vihara Buddha. Temuannya dengan menambahkan fungsi baru yang dapat menyeimbangkan kegiatan di kawasan ini dapat menjadi solusi untuk meningkatkan persepsi positif dan mencapai keseimbangan lingkungan di Kawasan ini. Kebaruannya adalah bangunan yang dapat menyeimbangkan dan memberikan ketenangan di tengah kepadatan kehidupan malam di Mangga Besar.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30945RUANG KREATIF: REKREASI DI SENEN MELALUI KONSEP TERBUKA DAN MENGUNDANG2024-06-29T04:48:43+00:00Gunardi Naga Wijayawijayagunardi190@gmail.comPetrus Rudi Kasimunrudi.kasimun@gmail.com<p><em>The Senen area, which was once known as the center of the economy in Jakarta, is now abandoned, many of the building functions are not maintained, not keeping up with the times, and coupled with the lack of place needs for the people in Senen regarding the need for a place to relieve stress. The stress arises from the density of space and the busyness of its people. Along with the development of the era, the Senen area will become a dense place for housing, shops, and transportation centers. With the facilities in the Senen area that are quite complete, the Senen area is a suitable place to restore its image as before. From these emerging problems, an open space is needed that can be a recreation center. The lack of entertainment venues in the Senen area is the right strategy to add programs with entertainment functions. By implementing an open and inviting concept, it aims to invite people in the Senen area to have a new entertainment venue that functions as a place to pour out existing creative ideas. Using qualitative methods and figure of reasoning methods to find out what space program needs are suitable to respond to existing</em><em>.</em><em> problems.</em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>Stress; Open Space; Open and Inviting</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Kawasan Senen yang dahulu dikenal sebagai pusat perekonomian di Jakarta yang sekarang ditinggalkan, banyaknya fungsi bangunan yang tidak terawat, kurang mengikuti zaman dan ditambah dengan kurangnya kebutuhan tempat untuk masyarakat di Senen mengenerasiai kebutuhan tempat untuk menghilangkan rasa stress. Rasa stress yang muncul yang berasal dari kepadatan ruang dan kesibukkan dari masyarakatnya. Seiring dengan perkembangan zaman kawasan Senen akan menjadi tempat yang padat akan hunian, pertokoan, maupun pusat dari transportasi. Dengan adanya fasilitas yang ada di kawasan Senen yang sudah cukup lengkap, maka dari itu kawasan Senen menjadi tempat yang cocok untuk diangkat kembali citranya seperti dulu. Dari permasalahan yang muncul inilah dibutuhkannya ruang terbuka yang dapat menjadi pusat rekreasi. Kurangnya tempat hiburan yang ada di kawasan Senen menjadi strategi yang tepat untuk menambah program dengan fungsi sebagai hiburan. Dengan penerapan konsep terbuka dan mengundang (<em>open and inviting) </em>bertujuan agar mengundang masyarakat yang ada di kawasan Senen agar memiliki tempat hiburan baru yang berfungsi sebagai tempat untuk menuangkan ide kreatif yang ada. Menggunakan metode kualitatif dan metode <em>figure of reasoning</em> agar dapat mengetahui kebutuhan program ruang apa yang cocok untuk merespon masalah yang ada.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30946PENERAPAN PLACEMAKING PADA ANCOL BEACH CITY MALL MELALUI KONSEP DIVERSITY DAN CONNECTIVITY2024-06-29T04:51:29+00:00Yohanes Raymond Liemraymondliem123@gmail.comPetrus Rudi Kasimunrudi.kasimun@gmail.com<p>Ancol Beach City Mall is a tourist area located in Taman Impian Jaya Ancol, North Jakarta. Until now, the Ancol area still maintains its identity as a tourist destination. A tourist attraction is a place that is very attractive to visitors, with natural, cultural, or historical values. However, there is currently a phenomenon about the decline in the attractiveness of Ancol Beach City Mall along with the development of modern architecture. The area has experienced a functional loss of identity and only capitalizes on selling views (movement over dwelling), and prioritizes vehicle access over pedestrian. This resulted in Ancol Beach City Mall losing the competition with other modern tourism. The purpose of this topic is to conduct a placemaking design method with program changes at Ancol Beach City Mall in order to adapt to the latest developments, such as concert performance programs and exhibitions, so that it can be utilized effectively and still maintain its original purpose as one of the tourist destinations in Ancol. The writing method used in this research is a qualitative method, through the design concept of Diversity and Connectivity. By adjusting the program that is currently trending and to apply the design concept of Diversity and Connectivity as the new face of Ancol Beach City Mall can be a solution to revive Ancol tourist destinations. The novelty achieved in this research is a building that emphasizes flexibility of access and is environmentally friendly by having visual and contextual responses to the surrounding environment.</p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>connectivity; diversity; entertainment; icon; placemaking</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Ancol Beach City Mall merupakan kawasan wisata yang berlokasi di Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara. Sampai saat ini, Kawasan Ancol masih mempertahankan identitas nya sebagai destinasi wisata. Daya tarik wisata merupakan suatu tempat yang sangat menarik bagi pengunjung, dengan memiliki nilai-nilai alam, budaya, atau sejarah. Namun, saat ini terdapat fenomena tentang menurunnya daya tarik Ancol Beach City Mall seiring dengan perkembangan arsitektur modern. Kawasan tersebut telah mengalami kehilangan jati diri secara fungsional dan hanya bermodal menjual pemandangan (movement over dwelling), serta mementingkan akses kendaraan dari pada pedestrian. Hal tersebut mengakibatkan Ancol Beach City Mall kalah dalam persaingan dengan wisata modern lainnya. Tujuan dari topik ini adalah untuk melakukan metode desain placemaking dengan perubahan program pada Ancol Beach City Mall agar dapat beradaptasi dengan perkembangan terkini, seperti program pertunjukan konser dan pameran, sehingga dapat dimanfaatkan dengan efektif dan tetap mempertahankan tujuan awalnya sebagai salah satu destinasi wisata di Ancol. Metode penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, melalui konsep perancangan Diversity dan Connectivity. Dengan menyesuaikan program yang sedang tren pada saat ini dan untuk menerapkan konsep desain Diversity dan Connectivity sebagai wajah baru Ancol Beach City Mall dapat menjadi solusi untuk membangkitkan destinasi wisata Ancol. Kebaruan yang dicapai pada penelitian ini berupa bangunan yang mengedepankan fleksibilitas akses serta ramah lingkungan dengan memiliki visual dan respon yang kontekstual dengan lingkungan sekitar.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30947ERA BARU GALERI NASIONAL INDONESIA: MENGHIDUPKAN KEMBALI GALERI DI DALAM KAWASAN CAGAR BUDAYA DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL JUKSTAPOSISI2024-06-29T04:56:10+00:00Raden Auditya Hidayahradenaudy3@gmail.comPetrus Rudi Kasimunrudi.kasimun@gmail.com<p><em>The advancement of modern times has led to an increased interest in visiting galleries, making it a current trend. However, the public's interest in visiting galleries located in historic buildings has declined because they are perceived as unfamiliar and not adaptive. GNI (National Gallery of Indonesia) is one such gallery that has seen a decrease in visitors. This is due to the lack of exhibition space, which causes the current generation to avoid visiting GNI, ultimately leading to the building becoming placeless. This study uses descriptive qualitative and phenomenological methods with a juxtaposition design approach to meet the needs of the current generation while maintaining historical and cultural values. Additionally, this method serve as a strategy to prevent it from becoming placeless. The results show that from 1987 until now, there have been no changes in the program. The study findings suggest adding programs that respond to modern needs through disprogramming and contextual juxtaposition approaches. These programs can meet the needs of the current generation while maintaining local, historical, and cultural values.</em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>C</em><em>ultural </em><em>H</em><em>eritage; Gallery; Historic; Juxtaposition; Modernization</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Modernisasi akan mengakibatkan meningkatnya minat masyarakat untuk mengunjungi galeri yang merupakan sebuah tren pada saat ini. Namun, minat masyarakat mengunjungi galeri yang berada pada bangunan bersejarah menurun karena dianggap asing dan tidak adaptif. GNI (Galeri Nasional Indonesia) adalah salah satu galeri yang saat ini semakin sepi dikunjungi. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya jumlah ruang pameran yang menjadikan generasi saat ini tidak mengunjungi GNI dan pada akhirnya menyebabkan placeless pada bangunan ini. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dan fenomenologi dengan pendekatan desain jukstaposisi yang dapat menunjang kebutuhan akan generasi saat ini, namun tidak terlepas dengan nilai sejarah dan budaya. Selain itu, metode dan pendekatan ini juga berperan sebagai strategi untuk mewujudkan kembali visi dari GNI dan menghindari akan terjadinya placeless agar tetap menjadi place yang memiliki nilai historis. Hasil menunjukkan bahwa dari tahun 1987 hingga sekarang belum ada perubahan program dan fungsi sehingga tidak dapat merespon kebutuhan modern. Temuan penelitian ini memberikan solusi dengan menambahkan program yang merespon kebutuhan modern melalui disprogramming dan penataan lingkungan sekitar dengan pendekatan kontekstual jukstaposisi. Program tersebut diharapkan dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini dengan tetap mempertahankan lokalitas, sejarah, dan budaya. Selain itu, dalam program tersebut juga dirancang sebagai penghubung tren lampau dan tren saat ini, sehingga dapat menunjang generasi sebelumnya.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30948PENERAPAN STRATEGI URBANISME LANSKAP DALAM PLACEMAKING DI WADUK SETIABUDI 2024-06-29T05:05:32+00:00Michael Hanjayamichael.315200001@stu.untar.ac.idPriscilla Epifania Ariajipriscillae@ft.untar.ac.id<p>The reservoir in Setiabudi, Jakarta, has the potential to become a meaningful place for the surrounding community. By implementing Landscape Urbanism approaches, we can create spaces that integrate green and blue elements, enhancing residents' care and ownership of the reservoir. The main goal of this project is to transform the reservoir into an attractive and beneficial "place" for local residents. Here are some strategies that can be implemented: Green and Blue Open Spaces: Introducing green and blue open spaces can address the lack of green areas and provide attractions for residents. Green areas can be used for various activities such as sports, picnics, or relaxation. Meanwhile, the blue areas (water) can be utilized for education about water quality and how the reservoir works. Active and Passive Education: Education can encompass two aspects. Firstly, active education involves experiments with water conditions, planting water-cleansing plants, and understanding the benefits of the reservoir. Secondly, passive education includes information about how the reservoir works and observing related city utilities. Involving residents in the planning and management of the reservoir will enhance their ownership and care. Through community meetings, workshops, and other participatory activities, we can ensure that the reservoir truly becomes a beloved and community-owned place. With this approach, the Setiabudi reservoir can transform into more than just infrastructure but also an essential part of residents' daily lives.</p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>Green and Blue Open Spaces; Landscape Urbanism; Setiabudi Reservoir</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Waduk di Setiabudi, Jakarta, memiliki potensi untuk menjadi tempat yang berarti bagi komunitas sekitar. Mengimplementasikan pendekatan Landscape Urbanism, dapat menciptakan ruang yang menggabungkan elemen hijau dan biru, serta meningkatkan kepedulian dan rasa kepemilikan warga terhadap waduk tersebut. Tujuan utama dari proyek ini adalah mengubah waduk menjadi sebuah “<em>place</em>” yang menarik dan bermanfaat bagi warga sekitar. Berikut adalah beberapa strategi yang dapat diterapkan: Ruang Terbuka Hijau dan Biru: Ketika memperkenalkan ruang terbuka hijau dan biru, dapat mengatasi kekurangan area hijau dan memberikan atraksi bagi warga. Area hijau dapat digunakan untuk berbagai aktivitas, seperti berolahraga, berpiknik, atau sekadar bersantai. Sementara itu, area biru (air) dapat dimanfaatkan untuk edukasi tentang kualitas air dan cara kerja waduk, edukasi aktif dan Pasif dapat mencakup dua aspek. Pertama, edukasi aktif melibatkan eksperimen dengan kondisi air, penanaman tanaman yang memperbaiki kualitas air, dan pemahaman tentang manfaat waduk. kedua, edukasi pasif melibatkan informasi tentang cara kerja waduk dan observasi terhadap utilitas kota yang terkait, melibatkan warga dalam perencanaan dan pengelolaan waduk akan meningkatkan rasa kepemilikan dan kepedulian mereka. Ketika mengadakan pertemuan komunitas, <em>workshop</em>, dan kegiatan partisipatif lainnya, dapat memastikan bahwa waduk benar-benar menjadi milik dan tempat yang dicintai oleh warga sekitar. Dengan pendekatan ini, waduk di Setiabudi dapat bertransformasi menjadi tempat yang lebih dari sekadar infrastruktur, tetapi juga sebagai bagian penting dari kehidupan sehari-hari warga.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30949PENERAPAN URBAN ACUPUNCTURE DAN EVERYDAY URBANISM DALAM TRANSFORMASI RUANG JALAN JAKSA SEBAGAI DESTINASI WISATA URBAN2024-06-29T05:10:22+00:00Chaterine Edria AwalokiteswaraChaterine.315200015@stu.untar.ac.idPriscilla Epifania Ariajipriscillae@ft.untar.ac.id<p>Jalan Jaksa was an entertainment and recreation icon for both foreign and local tourists in Jakarta from the '60s to the '90s, leveraging its strategic location in the city center. However, after a series of riots and bombings in Indonesia, Jalan Jaksa experienced a decline in visitors, leading to a shift in its function and loss of identity. Urban acupuncture was employed to revitalize Jalan Jaksa as a cohesive strip by injecting programs at various points along the street. Using the everyday urbanism method, researchers identified the daily activities of residents and visitors, serving as a foundation for determining programmatic and sensitive acupuncture points. The goal of this study was to revive and develop the potential of Jalan Jaksa, located in the heart of Jakarta, by creating tourist attractions and a new network of programs in the area. This approach aimed to enhance interactions, activities, accessibility, and highlight Jalan Jaksa’s identity as an urban tourist destination. The resulting network of urban acupuncture points includes key attractions such as café bars and an active play area to attract visitors. Additionally, commercial amenities, capsule hotels, and improved accessibility were aligned with the street’s character, meeting the criteria for placemaking theory, including openness, social interaction, usage, comfort, image, and connectivity.</p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>everyday urbanism; jalan jaksa; placemaking; transforming space; urban acupuncture</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Jalan Jaksa merupakan ikon hiburan dan rekreasi bagi wisatawan asing maupun wisatawan lokal di Jakarta pada tahun ’60 hingga ‘90an dengan memanfaatkan lokasi strategis di pusat kota. Setelah rentetan peristiwa kerusuhan dan pengeboman yang terjadi di Indonesia, Jalan Jaksa mengalami penurunan pengunjung yang mengakibatkan perpindahan fungsi dan kehilangan identitas kawasannya. Urban acupuncture dilakukan untuk menghidupkan kembali Jalan Jaksa sebagai satu strip dengan cara melakukan injeksi program yang menyebar pada beberapa titik di Jalan Jaksa. Menggunakan metode everyday urbanism untuk mengidentifikasi keseharian masyarakat, baik pengunjung dan lokal terhadap aktivitas spasial dan temporal sebagai acuan dasar dari karakter masyarakat dalam menentukan program dan titik sensitif akupuntur. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghidupkan kembali dan mengembangkan potensi Jalan Jaksa yang terletak di pusat kota Jakarta dengan menciptakan atraksi wisata serta jaringan program baru di kawasan Jalan Jaksa sebagai penunjang sekaligus pemicu interaksi, aktivitas, aksesibilitas serta menonjolkan identitas Jalan Jaksa sebagai destinasi wisata perkotaan, serta memenuhi kriteria place dalam teori placemaking untuk berupa keterbukaan dan interaksi sosial, penggunaan dan aktivitas, kenyamanan dan citra, serta akses dan keterhubungan. Hasilnya adalah jaringan titik akupuntur kota dengan program yang mendukung elemen pariwisata meliputi atraksi utama berupa bar cafe dan active play area sebagai faktor penarik bagi pengunjung, amenitas berupa area komersil pertokoan, akomodasi berupa hotel kapsul, dan aksesibilitas kawasan dengan karakter yang sesuai dengan kriteria karakter jalan jaksa, yaitu karakter teras.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30950PENERAPAN TEORI PLACEMAKING PADA REDESAIN PASAR SENI ANCOL2024-06-29T05:15:04+00:00Nuraida Damar Larasatinuraidadamar@gmail.comPriscilla Epifania Ariajipriscillae@ft.untar.ac.id<p>An Art Market is a place where producers and consumers meet to transact art. In the context of tourism, an art market combines attractions, facilities and accommodation and acts as a place to market art through demonstrations, sales, exhibitions and performances. One of the Art Markets in Jakarta is Ancol Art Market, located in North Jakarta. However, Ancol Art Market faces significant challenges due to globalization and changing times, causing a decline in the number of visitors and active artists. This study uses a quantitative method in the form of a g-form survey aimed at the general public to find out what their interests and desires are for the arts. In addition, interviews were conducted with several experts such as artists and craftsmen in the research object area to gain insight into the context of the Ancol Art Market. This research is also supported by a case study method regarding Ancol Art Market in Indonesia, criteria collection based on placemaking theory, and qualitative research as an architectural approach. It was found that Ancol Art Market has the potential to become a re-active art district that reflects the fusion of contemporary art and open space. The buildings in this art district are designed with an open concept, providing flexible galleries, open spaces, and artist residency programs. With a design that integrates functional and aesthetic elements, as well as interactive spaces that encourage public participation, Ancol Art Market will be an art district that celebrates the creation and appreciation of art.</p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>public outdoor space; ancol art market; placemaking; urban tourism</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Pasar Seni adalah tempat di mana produsen dan konsumen bertemu untuk bertransaksi hasil karya seni. Dalam konteks pariwisata, pasar seni menggabungkan atraksi, fasilitas, dan akomodasi serta berperan sebagai tempat pemasaran seni melalui peragaan, penjualan, pameran, dan pertunjukan. Salah satu Pasar Seni yang terdapat di Jakarta adalah Pasar Seni Ancol, yang terletak di Jakarta Utara. Namun, Pasar Seni Ancol menghadapi tantangan signifikan akibat globalisasi dan perubahan zaman, menyebabkan penurunan jumlah pengunjung dan seniman yang aktif. Studi ini menggunakan metode kuantitatif dalam bentuk survey g-form yang ditujukan kepada masyarakat umum untuk mengetahui apa minat dan keinginannya terhadap kesenian. Selain itu, dilakukan wawancara terhadap beberapa ahli seperti seniman dan pengrajin di kawasan objek penelitian untuk menambah wawasan mengenai konteks Pasar Seni Ancol. Penelitian ini juga didukung dengan metode studi kasus mengenai Pasar Seni Ancol di Indonesia, pengumpulan kriteria berdasarkan teori placemaking, dan penelitian kualitatif sebagai pendekatan arsitektur. Ditemukan bahwa Pasar Seni Ancol memiliki potensi menjadi kawasan yang aktif kembali dalam kegiatan seni yang mencerminkan perpaduan seni kontemporer dan ruang terbuka. Bangunan di distrik seni ini dirancang dengan konsep terbuka, menyediakan galeri fleksibel, ruang terbuka, dan program residensi seniman. Dengan desain yang mengintegrasikan elemen fungsional dan estetika, serta ruang interaktif yang mendorong partisipasi publik, Pasar Seni Ancol akan menjadi distrik seni yang merayakan kreasi dan apresiasi seni.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30952PENERAPAN METODE PLACEMAKING DALAM REDESAIN PASAR BARANG BEKAS DI TAMAN PURING, JAKARTA SELATAN 2024-06-29T05:37:41+00:00Yustina Regitha Samosiryustinasamosir@gmail.comMieke Choandimiekec@ft.untar.ac.id<p><em>As time passed, Puring Park Market lost its identity as a place to sell used goods, reinforcing Edward Relph's (1976) theory of a Placeless Place, a phenomenon in which meaningful and unique places were replaced by monotonous and meaningless environments, due to a lack of sensitivity to the significance of places. The objective of this plan is to counteract the exploitation of public space that is not functioning optimally, to build a strong local identity by making it a bridge or space between individuals or communities in the Puring Park Market through proposed new programs such as commercial, creative Space, and communal areas. This research is qualitative. Data collection methods through the phase of interviews, site, and area observations, and then documentation. They also perform location analysis to obtain historical data, user, activity, and issues and problems on the location. The location of the research conducted at Puring Park Market, New Kebayoran - South Jakarta, aims to find out the role of architecture in restoring the identity of the Puring Garden Market. This design is adapted from the concept of modular design with the use of space in an adaptive time context, as well as elements of architecture undergoing changes or interactions of activity at different times. Create a comfortable public space with an attractive and unique impression with the processing of streetscape as an outdoor market. With the presence of a new identity at the Puring Park Market, it is expected to provide jobs to boost the local economy. </em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>architecture; identity; Taman Puring Market; placeless place</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Pasar Taman Puring dahulunya merupakan tempat berjualan barang-barang bekas. Seiring berjalannya waktu, Pasar Taman Puring kehilangan identitasnya sebagai tempat berjualan barang bekas, semakin memperkuat teori Edward Relph (1976) tentang <em>Placeless Place</em> yang merupakan fenomena di mana tempat-tempat yang bermakna serta unik digantikan oleh lingkungan monoton dan tidak bermakna, ini disebabkan oleh kurangnya kepekaan terhadap signifikansi tempat. Tujuan Perancangan ini untuk menanggulangi pemanfaatan ruang publik yang tidak berfungsi secara optimal, untuk membangun identitas lokal yang kuat dengan menjadikannya jembatan atau ruang antar individu atau kelompok masyarakat di Pasar Taman Puring melalui program baru yang diusulkan seperti <em>commercial, creative Space, </em>dan<em> communal area.</em> Penelitian ini bersifat kualitatif. Metode pengumpulan data melalui tahap wawancara, observasi tapak dan kawasan lalu dokumentasi. Lalu juga melakukan analisis lokasi dalam memperoleh data sejarah, pengguna, aktivitas, serta isu dan masalah pada lokasi. Lokasi penelitian dilakukan di Pasar Taman Puring, Jakarta Selatan, bertujuan untuk mengetahui Bagaimana peran arsitektur dalam mengembalikan identitas Pasar Taman Puring. Perancangan ini diadaptasi dari konsep desain modular dengan penggunaan ruang dalam konteks waktu yang <em>adaptive</em>, serta elemen-elemen arsitektur mengalami perubahan atau interaksi aktivitas pada waktu berbeda. Menciptakan ruang publik yang nyaman dengan kesan yang menarik dan unik dengan pengolahan <em>streetscape</em> sebagai <em>outdoor market</em>. Dengan hadirnya identitas baru pada Pasar Taman Puring diharapkan dapat memberikan lapangan pekerjaan meningkatkan perekonomian masyarakat setempat.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30955BATIK BERKELANJUTAN: TEKNOLOGI RAMAH LINGKUNGAN DI KAWASAN KARET KUNINGAN2024-06-29T05:56:58+00:00Angel Putroangel.315200011@stu.untar.ac.idFranky Liauwfrankyl@ft.untar.ac.id<p><em>A placeless place is a place or environment that has lost its identity or distinctive characteristics that differentiate that place from other places. One area of contemporary Jakarta that has lost its characteristics is Karet Kuningan, South Jakarta. Initially, the Karet Kuningan area was a fairly well-known center for batik making and batik convection. However, batik workshops have now been evicted and moved to Cikarang, Bekasi because their waste pollutes the environment, the Karet area which is the Golden Triangle (business area), and Karet which is the center of urbanization and infrastructure development. Today's advances in architecture and technology have developed very rapidly, so that factory waste can also be processed through water treatment so that it becomes environmentally friendly and safe for health. This can renew the identity of Karet Kuningan as an environmentally friendly stamped batik area and can become a new job opportunity for the local community. The aim of this research is to give a new identity to batik in the Karet Kuningan area that is environmentally friendly and to show visitors and architectural residents an introduction to environmentally friendly batik. The research method used is a qualitative approach by collecting data on the novelty of technology for making environmentally friendly batik and surveying the location of the current condition of Brass Rubber so that batik can be accepted by all groups.</em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>architecture; batik; waste; water-treatment</em></p> <p>Abstrak</p> <p><em>Placeless place</em> adalah suatu tempat atau lingkungan yang kehilangan jati dirinya atau karakteristik khas yang membedakan tempat tersebut dengan tempat yang lainnya. Salah satu wilayah Jakarta masa kini yang telah kehilangan karakteristiknya adalah Karet Kuningan, Jakarta Selatan. Awalnya wilayah Karet Kuningan merupakan pusat pembuatan batik dan konveksi batik yang cukup terkenal. Namun bengkel batik pun kini telah digusur dan dipindahkan ke Cikarang, Bekasi karena limbahnya yang mencemari lingkungan, wilayah Karet yang menjadi Segitiga Emas (kawasan bisnis), dan Karet yang menjadi pusat urbanisasi dan perkembangan infrastruktur. Kemajuan arsitektur dan teknologi masa kini sudah berkembang sangat pesat, sehingga dalam pengolahan dalam limbah pabrik pun dapat diolah melalui <em>water treatment</em> sehingga menjadi ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan. Hal ini dapat memperbaharui identitas dari Karet Kuningan sebagai kawasan batik cap ramah lingkungan dan dapat menjadi lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat sekitar. Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan identitas baru terhadap batik di kawasan Karet Kuningan yang ramah lingkungan dan memperlihatkan kepada para pengunjung maupun warga arsitektur dalam pengenalan batik yang ramah lingkungan. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan mengumpulkan data kebaruan teknologi membuat batik yang ramah lingkungan dan survei lokasi kondisi Karet Kuningan masa kini agar batik dapat diterima oleh semua kalangan.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30956PELEBURAN CINA BENTENG: POTENSI MENINGKATKAN SENSE OF PLACE KAWASAN KOTA LAMA TANGERANG SEBAGAI PUSAT BUDAYA KOTA TANGERANG2024-06-29T06:02:06+00:00Jon Vierryjon.315200021@stu.untar.ac.idFranky Liauwfrankyl@ft.untar.ac.id<p>The Old Town of Tangerang area is known for its Chinese Ethnic Settlement, commonly referred to as Chinatown, which has integrated with the local community. This is evidenced by the strong Benteng Community, cultural heritage, and the Kali Pasir mosque with distinctive Chinese characteristics. Unfortunately, the Tangerang City Government has yet to establish a Cultural Heritage Regulation, leading to the gradual fading of historical and cultural sites in the Old Town of Tangerang over time. The Tangerang City Government is currently making efforts to revitalize and focus on developing the old town area into a culinary center and traditional market to attract foreign tourists. The development of the area stimulates Chinatown to become more modern, especially with the emergence of modern eateries using shophouses with Chinese characteristics adapted to modern shophouse designs. Buildings that do not follow this trend are either repurposed or abandoned by their owners. The aim of this research is to explore the potential to enhance the sense of place in the Old Town of Tangerang. The method used is qualitative, gathering supporting data and conducting observations of the Old Town of Tangerang area, which are then identified using the sense of place elements theory by John Montgomery and John Punter. The research results indicate that the integration of the Cina Benteng culture not only enriches the cultural diversity of Old Town Tangerang but also strengthens the identity and solidarity among the local community.</p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>chinatown; Chinese; culture; identity</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Kawasan Kota Lama Tangerang dikenal dengan kawasan Perkampungan Etnis Tionghoa atau lebih dikenal dengan pecinan yang sudah melebur dengan masyarakat lokal. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan Komunitas Benteng yang kuat, warisan budaya, dan bangunan Masjid Kali Pasir berciri khas Tionghoa. Sangat disayangkan Pemerintah Kota Tangerang hingga saat ini tidak memiliki Perda Cagar Budaya sehingga seiring berjalannya waktu situs-situs bersejarah dan kebudayaan kawasan Kota Lama Tangerang mulai memudar. Pemerintah Kota Tangerang kini tengah berupaya untuk menata ulang dan memfokuskan perkembangan kawasan kota lama menjadi kawasan pusat kuliner dan pasar tradisional dengan meningkatkan minat para wisatawan asing. Pengembangan kawasan menstimulus kawasan pecinan menjadi lebih modern, terutama dengan munculnya tempat makan modern yang menggunakan bangunan ruko berciri Tionghoa diadaptasi mengikuti desain bangunan ruko modern dan bangunan yang tidak mengikuti perkembangan menjadi dialihfungsikan atau terbengkalai ditinggalkan pemiliknya. Tujuan dari penelitian untuk melihat potensi yang ada dalam upaya untuk meningkatkan sense of place dikawasan Kota Lama Tangerang Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan mengumpulkan data-data pendukung serta melakukan observasi terhadap kawasan Kota Lama Tangerang yang kemudian diidentifikasi menggunakan teori John Montgomery dan John Punter mengenai elemen sense of place. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggabungan budaya Cina Benteng tidak hanya menambah kekayaan keragaman budaya di Kota Lama Tangerang, tetapi juga menjadi potensi dalam memperkuat identitas dan solidaritas di antara masyarakat setempat.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30957PENERAPAN ARSITEKTUR BERTEMA BUNGA PADA REDESAIN PASAR BUNGA CIKINI2024-06-29T06:05:07+00:00Sheren SherenSherenbong1505@gmail.comFranky Liauwfrankyl@ft.untar.ac.id<p>Jalan Cikini Kramat, which was once famous as a flower paradise in Jakarta, now has a different face. Currently, this market operates on the side of the road, neatly lined up in an alley with partitions separating the stalls. The market atmosphere used to be increasingly lively with the presence of parcel traders selling their wares on the sidewalk, although this often made the market area look less neatly organized. Rather than the famous flowers, nowadays, street food in this area is better known even though it is a flower market. Unfortunately, the presence of these traders can make the area around Cikini Station look slummer than it should. The physical changes to this area are able to eliminate the initial character that formed on Jalan Cikini Kramat. The aim of this research is to revive the face of Cikini as an area with floral characteristics in Jakarta. This research was carried out through surveys, analysis and interviews with the perpetrators involved on Jalan Cikini Kramat. The results of the research are the redevelopment of the flower market and the development around the market with flower characters that can attract visitors. The main finding of this research is the change in Cikini public space into an area with a floral character with relationships between local residents and visitors. The new aspect that is expected is to reshape the face of Jalan Cikini Kramat into an area with character.</p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>character; flower; market</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Pasar Bunga Cikini yang dahulu terkenal sebagai surga bunga di Jakarta, kini hadir dengan wajah berbeda. Saat ini, pasar ini beroperasi di pinggir jalan, berjajar rapi di satu gang dengan sekat-sekat yang memisahkan antar kiosnya. Suasana pasar yang dulu semakin semarak dengan kehadiran para pedagang parsel yang menjajakan dagangannya di pinggir trotoar, meskipun tak jarang membuat kawasan pasar terlihat kurang tertata rapi. Daripada kembangnya yang terkenal, justru di masa kini, kuliner kaki lima di daerah ini lebih dikenal padahal merupakan pasar kembang. Sayangnya, keberadaan para pedagang ini mampu membuat sekitar Stasiun Cikini terlihat lebih kumuh dari yang seharusnya. Perubahan fisik dari kawasan ini mampu menghilangkan karakter awal yang terbentuk dari Pasar Bunga Cikini yang dulunya adalah penguasa di Jalan Cikini Kramat. Tujuan dari penelitian ini untuk membangkitkan kembali wajah Pasar Bunga Cikini menjadi pasar dengan edukasi tentang bunga yang ada di Jakarta. Penelitian ini dilakukan melalui kegiatan survey, analisis, serta wawancara terhadap pelaku-pelaku terlibat di Pasar Bunga Cikini. Hasil dari penelitian adalah pembangunan kembali pasar kembang dan pengembangan sekitar pasar dengan karakter dari bunga yang dapat menarik para pengunjung. Temuan utama dari penelitian ini adalah perubahan ruang publik Cikini menjadi kawasan berkarakter bunga dengan hubungan antara warga lokal dan pengunjung. Aspek baru yang diharapkan adalah membentuk kembali wajah Jalan Cikini Kramat menjadi kawasan berkarakter.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30943PEMANFAATAN FASILITAS UNTUK KEBERLANJUTAN RTH DAN RPTRA KALIJODO2024-06-29T04:12:16+00:00Faldo Susantofaldosusanto16@gmail.comSuryono Herlambangs.herlambang@gmail.com<p>Kalijodo is an area in Jakarta that was once known for its slum complex and famous for its nightlife and slums. In 2016, the Jakarta Government decided to demolish Kalijodo to renovate and clean up the area so that it turned into a park that has recreational facilities, sports fields, and green areas for family activities. Visitors to the Kalijodo RTH and RPTRA are dominated by children and teenagers who come from local residents, inside and outside the city. Currently, due to poor park maintenance, the current condition of the park is unsustainable or can be said to be declining in quality and visitors. If there is a maintenance program, community activities, and steps taken to ensure that the revitalization of Kalijodo continues to have a positive impact. By revitalizing this park, it can continue to provide ecological, economic, aesthetic and social benefits to the community and become an example of sustainability and a better quality of life. According to Law Number 26 of 2007 Paragraph 3, the proportion of public green open space of at least 20% provided by the city government is intended so that the proportion of green open space can be more guaranteed to be achieved so that it can be widely utilized by the community. The analysis tools used in this study are descriptive methods and IPA. To find out visitor perceptions dan provide recommendations in the form of policies, facilities, dan functions related to revitalization so that the sustainability of this object is maintained.<strong> </strong></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>Utilize Kalijodo RTH; Revitalization of Kalijodo RTH; Revitalization of Kalijodo RPTRA; Kalijodo RTH Facilities; Kalijodo RTH Functions</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Kalijodo adalah sebuah wilayah di Jakarta yang dulunya dikenal karena kompleks pemukiman kumuh dan terkenal dengan kehidupan malamnya dan kumuh. Pada tahun 2016, Pemerintah Jakarta memutuskan untuk merobohkan Kalijodo sebagai bagian dari upaya untuk merenovasi dan membersihkan daerah tersebut sehingga berubah menjadi sebuah taman yang memiliki fasilitas rekreasi, lapangan olahraga, dan area hijau untuk kegiatan keluarga. Pengunjung RTH dan RPTRA Kalijodo didominasi dengan anak” dan remaja yang datang dari warga sekitar, dalam kota, dan juga luar kota. Saat ini dikarenakan perawatan taman yang kurang baik, sehingga membuat kondisi taman saat ini menjadi tidak berkelanjutan atau bisa dibilang menurunnya kualitas dan pengunjung. Jika ada program pemeliharaan, kegiatan komunitas, dan langkah-langkah yang diambil untuk memastikan bahwa revitalisasi Kalijodo tetap berdampak positif. Upaya revitalisasi dapat diterapkan untuk keberlanjutan RTH dan RPTRA Kalijodo. Dengan melakukan revitalisasi pada taman ini dapat terus menyediakan manfaat ekologis, ekonomi, estetika dan sosial bagi masyarakat dan menjadi contoh keberlanjutan dan kualitas hidup yang lebih baik dalam perkotaan. Menurut Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2007 Ayat 3, Proporsi ruang terbuka hijau publik seluas minimal 20 (dua puluh) persen yang disediakan oleh pemerintah daerah kota dimaksudkan agar proporsi ruang terbuka hijau minimal dapat lebih dijamin pencapaiannya sehingga memungkinkan pemanfaatannya secara luas oleh masyarakat. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan metode deskriptif, dan IPA. Untuk mengetahui persepsi pengunjung dan memberikan saran rekomendasi berupa kebijakan, fasilitas, dan fungsi terkait revitalisasi agar keberlanjutan objek ini tetap terjaga.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30942EVALUASI TAMAN LITERASI MARTHA CHRISTINA TIAHAHU, BLOK M, JAKARTA SELATAN2024-06-29T03:58:23+00:00Ivan Derabdi Kasim Juhariivanderabdi@gmail.comSuryono Herlambangs.herlambang@gmail.com<p>Taman Literasi Martha Christina Tiahahu is one of the parks in South Jakarta Since 2020, This park is empty of visitors due to the absence of activities and facilities that attract visitors since 2020. In 2018, the government start to build public transportation facilities and infrastucture in the area around the park with the aim of making the use of public transportation the priority. The revitalization of Taman Literasi Martha Christina Tiahahu was carried out by PT Integrasi Transit Jakarta start from august 2021 until September 2022. Therefore, there needs to be further research of study regarding public perseptions and preferences for the Taman literasi Martha Christina Tiahahu. The objective of this research is to identify visitors' perceptions and preferences regarding the types of activities and facilities available at the park using interview methods and a Likert scale that uses several indicator questions. The benefits of studying visitor perceptions and preferences are to determine the performance of the facilities available in the park. Apart from that, to find out what facilities and activities do not yet exist and might be needed by park visitors. The indicators consist of facilities, literacy concepts, safety, social benefits, and environmental benefits. The research data used in this research is through observation, journals, secondary data, and the results of 80 questionnaires that have been distributed to visitors of Taman Literasi Martha Christina Tiahahu. Based on the analysis that has been carried out, the results show that the majority of visitors are satisfied with the park facilities, but there are still quite a lot of indicators that need to be improved to maximize the existing potential.</p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>f</em><em>acility; Martha Christina Tiahahu Literation Park; perception; preference</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Taman Literasi Martha Christina Tiahahu merupakan salah satu taman di Jakarta Selatan. Taman ini sepi oleh pengunjung dikarenakan tidak adanya aktivitas dan fasilitas yang menarik pengunjung sejak 2020. Pada tahun 2018 pemerintah mulai membangun sarana dan prasarana transportasi publik di area sekitar taman dengan tujuan agar penggunaan transportasi publik dapat lebih diprioritaskan. Revitalisasi Taman Literasi Martha Christina Tiahahu mulai dilakukan oleh PT Integrasi Transit Jakarta, yang merupakan anak perusahaan PT Mass Rapid Transit Jakarta mulai Agustus 2021 hingga September 2022. Oleh karena itu, perlu ada penelitian atau studi lebih lanjut mengenai persepsi dan preferensi masyarakat terhadap Taman Literasi Martha Christina Tiahahu. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi persepsi dan preferensi pengunjung mengenai jenis aktivitas dan fasilitas yang tersedia pada taman dengan menggunakan metode wawancara dan skala likert yang menggunakan beberapa indikator pertanyaan. Manfaat dari studi persepsi dan preferensi pengunjung untuk mengetahui kinerja dari suatu fasilitas yang tersedia pada taman. Selain itu, untuk mengetahui fasilitas dan aktivitas apa yang belum ada dan kemungkinan dibutuhkan oleh pengunjung taman. Indikator-indikator terdiri dari fasilitas, konsep literasi, keamanan, manfaat sosial, dan manfaat lingkungan. Data penelitian yang digunakan dalam penelitian ini melalui observasi, jurnal terkait, data sekunder, dan hasil dari penyebaran 80 kuisioner yang dibagikan kepada pengunjung Taman Literasi Martha Christina Tiahahu. Berdasarkan analisis yang sudah dilakukan, hasil menunjukkan bahwa sebagian besar pengunjung merasa puas dengan fasilitas taman, akan tetapi masih cukup banyak indikator yang perlu ditingkatkan untuk memaksimalkan potensi yang ada.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30940KONSEP PENATAAN TAMAN BMW SEBAGAI RUANG TERBUKA PUBLIK DI STADION JIS, JAKARTA 2024-08-20T14:51:32+00:00Choliel Bisricholielbisri123@gmail.comSuryono Herlambangs.herlambang@gmail.com<p><em>BMW Park or Wibawa Human Park is a park built by PT Jakarta Propertindo which is still located inside the JIS stadium. This park has an area of 2.02 hectares and functions as a public open space and as a sports facility and recreation area. The park began construction on March 14 2019 by the Governor of Jakarta Anies Baswedan who started construction. After three years of running, JIS was finally completed in 2022. BMW Park in the afternoon is usually used as a sports facility such as jogging, gymnastics and skateboarding. The main problem with this park is that the facilities and green open space are still few and the standard of the park as a public open space provided is still inadequate in accordance with the guidelines and provision and use of public open space according to the Minister of Public Works Number 05/PRT/M/2004. The location of the park is just an empty area with a few seats and minimal trees so the weather around the location of this object still feels hot during the day. The small number of trees and the large amount of empty land that has not been filled make this park feel very hot during the day and there is still minimal shade. The small vehicle parking capacity and limited number of toilets mean that this BMW park is not yet included in the criteria for a park as a public open space that meets standards and is adequate.</em></p> <p><strong><em>Keywords</em></strong><em>: </em><em>arrangement; park; public open space</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Taman BMW atau Taman Manusia Wibawa merupakan taman yang dibangun oleh PT Jakarta Propertindo yang lokasinya masih terdapat didalam stadion JIS. Taman ini memiliki luas 2,02 hektare dan memiliki fungsi sebagai ruang terbuka publik dan sebagai sarana olahraga maupun tempat rekreasi. Taman mulai dibangun pada 14 Maret 2019 oleh Gubernur Jakarta Anies Baswedan memulai pembangunannya. Setelah tiga tahun berjalan, JIS akhirnya selesai pada tahun 2022. Taman BMW pada sore hari biasa digunakan sebagai sarana olahraga seperti joging, senam, dan bermain <em>skateboard</em>. Masalah pokok dari taman ini yaitu mengenai fasilitas dan ruang terbuka hijau yang masih sedikit dan standar taman sebagai ruang terbuka publik yang disediakan masih belum memadai sesuai dengan pedoman dan penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka publik menurut Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2004. Lokasi taman hanya seperti lahan kosong dilengkapi beberapa tempat duduk dan pepohonan yang masih minim sehingga cuaca di sekitar lokasi objek ini masih terasa panas di siang hari. Jumlah pepohonan yang sedikit dan banyaknya lahan yang masih kosong belum terisi menjadikan taman ini terasa sangat panas bila di siang hari serta tempat peneduh yang masih minim. Kapasitas parkir kendaraan yang kecil, serta jumlah toilet yang terbatas membuat Taman BMW ini belum masuk ke dalam kriteria taman sebagai ruang terbuka publik yang memenuhi standar dan memadai.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30938ANALISA KEBUTUHAN RUANG PADA KAWASAN PERBELANJAAN CITRA NIAGA SAMARINDA2024-06-29T03:22:19+00:00Muhammad Akmal Alfaridzi Ramadhanakmal.alfaridzi15@gmail.comRegina Suryadjajareginas@ft.untar.ac.id<p>The Citra Niaga sector of Samarinda City is a commerce area that has grown to be one of the popular tourist spots for East Kalimantan suvenir buying. The Citra Niaga area, which competes with Soekarno Hatta Airport, was granted the Aga Khan Award for Architecture (AKAA) in 1989. It is a market area designed to serve small to large traders that offer suvenirs and other trade items. However, the Citra Niaga neighborhood started to become deserted in the late 1990s due to the construction of more contemporary commercial malls, which caused traders and tourists who had previously frequented the area to gradually move elsewhere. Because of this, Citra Niaga Samarinda had experienced its dark period, where visitors who came there were drastically reduced and the government's attention at that time, so that many problems then arose in the area, for example, the decline in building functions, inadequate supporting facilities, the emergence of illegal parking pockets, and so on. For this reason, this research aims to provide recommendations for the concept of utilization of space requirements which can then be proposed for the preparation of the concept of structuring the area to revive the Samarida Commercial Image area so that it can become a shopping tourist destination area for suvenirs typical of East Kalimantan. This research uses standard space requirements guidelines issued by the government and recognized institutions. The analysis used by the author is a descriptive analysis of the existing conditions in the Citra Niaga area.</p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>commercial area; shopping tourism; souvenirs</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Kota Samarinda memiliki sebuah kawasan perdagangan yang menjadi salah satu kawasan destinasi wisata perbelanjaan cenderamata khas Kalimantan Timur, kawasan tersebut adalah kawasan Citra Niaga. Citra Niaga merupakan kawasan perdagangan yang dimana diperuntukkan sebagai tempat usaha pedagang kecil hingga besar yang berjualan cenderamata dan barang dagang lainnya, kawasan Citra Niaga pernah memperoleh penghargaan Aga Khan Award for Architecture (AKAA) pada tahun 1989 yang bersaing dengan Bandara Soekarno Hatta. Namun sejak akhir dekade 90an kawasan Citra Niaga mulai ditinggalkan, dimana hadirnya pusat perbelanjaan yang lebih modern sehingga para pedagang dan pengunjung yang pada awalnya mengunjungi kawasan Citra Niaga mulai perlahan meninggalkan kawasan Citra Niaga. Dikarenakan hal itu Citra Niaga Samarinda sempat mengalami masa kelamnya, dimana para pengunjung yang datang kesana berkurang drastis dan perhatian pemerintah pada saat itu, sehingga banyak permasalahan yang kemudian muncul di kawasan tersebut contohnya saja adalah penurunan fungsi bangunan, fasilitas pendukung yang kurang memadai, munculnya kantong parkir liar, dan lain sebagainya. Atas hal tersebut penelitian ini bertujuan untuk memberikan rekomendasi konsep pemanfaatan kebutuhan ruang yang kemudian dapat usulan penyusunan konsep penataan kawasan untuk menghidupkan kembali kawasan Citra Niaga Samarinda sehingga dapat menjadi kawasan destinasi wisata perbelanjaan cenderamata khas Kalimantan Timur. Penelitian ini menggunakan standar pedoman kebutuhan ruang yang dikeluarkan oleh pemerintah dan lembaga yang diakui. Adapun analisis yang digunakan oleh penulis adalah analisis deskriptif kualitatif mengenai kondisi eksisting pada Kawasan Citra Niaga.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30937STUDI POTENSI PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KAWASAN TEPIAN SUNGAI KAPUAS, SINTANG, KALIMANTAN BARAT2024-06-29T03:17:49+00:00Yosua Teguh Situmorangyosuateguhh@gmail.comRegina Suryadjajareginas@ft.untar.ac.id<p><em>One of the regencies in the province of West Kalimantan is Sintang Regency. Within Sintang Regency, there are two major rivers that cross over: the Kapuas River and the Melawi River The local community refers to the point where these two large rivers meet as “Saka Tiga.” One of the green open spaces in Sintang Regency is Taman Bungur (Bungur Park). Taman Bungur is a green open space located along the Kapuas River, covering an area of 1.3 hectares with a length of 336 meters and a width of 40 meters. Since the COVID-19 pandemic until now, visitor activities in Taman Bungur remain sparse due to neglected facilities within the park area. Additionally, culinary activities, which used to be an attraction for visitors, are no longer available. As a result, Taman Bungur has become somewhat neglected, contributing to the decline in visitors. Recognizing the potential of Taman Bungur as the only riverside park in Sintang, it becomes an attraction for visitors. Therefore, a study is needed to explore the development potential of green open space</em><em> along riverbanks, considering ecological, economic, and aesthetic aspects to maximize its potential. This qualitative study employs descriptive analysis, including site analysis, location assessment, benchmarking, SWOT, and spatial potential analysis, aiming to optimize the riverbank green open space. The study’s findings will serve as a reference for the Sintang Regency government in conceptualizing riverbank development.</em></p> <p><strong><em>Keywords</em></strong><strong><em>: </em></strong><em>city park; development; green open space; kapuas river; river side</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Kabupaten Sintang merupakan salah satu Kabupaten yang ada di Provinsi Kalimantan Barat, yang dilewati oleh dua sungai besar yaitu Sungai Kapuas dan Sungai Melawi. Masyarakat sekitar menyebut titik bertemunya dua sungai besar tersebut dengan sebutan "Saka Tiga". Salah satu ruang terbuka hijau yang berada di Kabupaten Sintang adalah Taman Bungur. Taman Bungur merupakan ruang terbuka hijau yang berada di tepian sungai Kapuas yang memiliki Luas sebesar 1,3 Hektar dengan panjang sebesar 336 meter dan lebar sebesar 40 meter. Semenjak covid-19 sampai saat ini, aktivitas pengunjung di Taman Bungur masih terlihat sepi dikarenakan fasilitas yang ada pada kawasan Taman Bungur rusak kurang diperhatikan dan aktivitas kuliner yang merupakan salah satu atraksi bagi pengunjung kini tidak ditemui lagi, hal tersebut menyebabkan kawasan Taman Bungur menjadi kumuh, sehingga hal tersebut menjadi salah satu faktor menurunnya pengunjung. Melihat potensi dari Taman Bungur yang merupakan satu satunya taman di Kota Sintang yang berada di tepian sungai, sehingga hal tersebut menjadi sebuah atraksi bagi para pengunjung. Oleh karena itu perlu dilakukannya studi potensi pengembangan pada ruang terbuka hijau yang berada kawasan tepian sungai dengan memperhatikan aspek ekologis, ekonomi, dan estetika untuk memaksimalkan potensi. Selain itu penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis deskriptif. Beberapa analisis seperti analisis tapak, lokasi, <em>benchmarking</em>, <em>SWOT</em>, dan potensi ruang akan digunakan sebagai sebuah usulan pengembangan untuk memaksimalkan potensi RTH pada kawasan tepian sungai. Hasil dari studi ini akan diberikan kepada pemerintah Kabupaten Sintang sebagai referensi konsep pengembangan pada kawasan tepian sungai.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30936STUDI POTENSI PENGEMBANGAN PADA KAWASAN WISATA PANTAI HUNIMUA BERBASIS ADAPTASI BENCANA2024-06-29T02:57:40+00:00Meisyela Sipasultasyelasipasulta0505@gmail.comSuryono Herlambangsuryonoh@ft.untar.ac.id<p><em>Maluku Province is located in the Eastern Region of Indonesia, dominated by waters and islands rich in natural resources, culture and customs. This wealth makes Maluku an attractive and unique tourist destination in Indonesia. Tourism in Maluku has been developed from the past until now, starting from marine tourism, history, culture and culinary, and nature. In some areas of Maluku, there are marine tourism that has been famous to foreign countries, such as Hunimua Beach which is one of the popular beaches in Maluku Province that is visited by many people. Hunimua Beach has an existing land area of 8 hectares which is located in Salahutu District, Central Maluku Regency. Hunimua Beach has amazing natural potential which is the main attraction for tourists. This research aims to identify and analyze the potential of Hunimua beach for tourism development with disaster adaptation. The method used is primary data collection, which is carried out by conducting observations, and interviews. Observations were made to see the existing conditions, as well as to see the activities in the study object. Interviews were conducted to ask for more in-depth information with the Maluku Province Tourism Office, while for secondary data collection through journals, and open information ports. The secondary data contains policies and theories related to the research. The results of this research are in the form of proposals for development concepts with tsunami disaster adaptation in the Hunimua beach area.</em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>beach; disaster adaptation; tourism development potential</em></p> <p>Abstrak</p> <p><em>Provinsi Maluku terletak di Wilayah Timur Indonesia, didominasi oleh perairan dan kepulauan yang kaya akan sumber daya alam, budaya, dan adat istiadat. Kekayaan ini menjadikan Maluku sebagai destinasi wisata yang menarik dan unik di Indonesia. Pariwisata di Maluku sudah dikembangkan sejak dulu hingga sekarang, Mulai dari wisata bahari, sejarah, budaya dan kuliner, serta alam. Pada beberapa wilayah Maluku, terdapat wisata bahari yang sudah terkenal sampai mancanegara, seperti Pantai Hunimua yang merupakan salah satu pantai populer di Provinsi Maluku yang banyak sekali dikunjungi. Pantai Hunimua memiliki luas lahan eksisting 8 Ha yang terletak di Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah. Pantai Hunimua memiliki potensi alam yang menakjubkan hal tersebut menjadi daya tarik utama untuk para wisatawan. Dalam penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi serta menganalisis potensi yang dimiliki oleh Pantai Hunimua untuk pengembangan wisata dengan adaptasi bencana. Metode yang digunakan yaitu pengumpulan data primer, yang dilakukan dengan melakukan observasi dan wawancara. Observasi dilakukan untuk melihat kondisi eksisting, serta melihat aktivitas yang ada di objek studi. Wawancara dilakukan untuk menanyakan informasi lebih dalam dengan pihak Dinas Pariwisata Provinsi Maluku, sedangkan untuk pengumpulan data sekunder melalui, jurnal, serta porta informasi terbuka. Data sekunder tersebut berisi kebijakan serta teori yang berkaitan dengan penelitian. Hasil dari penelitian ini berupa usulan terhadap konsep pengembangan dengan adaptasi bencana tsunami pada kawasan Pantai Hunimua. </em></p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30935ANALISIS KEBUTUHAN RUANG KAWASAN REKREASI DAN KULINER RIMBA JAYA KOTA TANJUNGPINANG2024-06-29T02:54:31+00:00Chris Nathan Conrad Simanungkalitchrisnathann07@gmail.comPriyendiswara Agustina Bellapriyendiswaraa@ft.untar.ac.id<p>The Rimba Jaya area is an area of 9.8 hectares that has recreational activities along with trade and services that are the prima donna for Tanjungpinang City residents to spend time with family or friends in the afternoon until night. The Rimba Jaya area experienced a decrease in visitors due to the outbreak of the COVID-19 pandemic which resulted in many tenants also leaving the Rimba Jaya area, which further worsened the situation. Research in the Rimba Jaya area as the object of this research was carried out to see if there are several things that need to be done such as arranging the designation that is worth maintaining and by utilizing the spaces in it which are expected to attract the attention of visitors. The main purpose of this study is to identify the need for space and provide the minimum area needed in the arrangement of the Rimba Jaya Area. The identification of space utilization will refer to the results of the best practice analysis. Then the calculation of the area of space requirements from the best practice analysis is carried out by finding out the land capacity, then calculating the area needed from the concept adapted from the best practice analysis. The research method used is qualitative analysis through interviews, document collection, and observation. The results of this study show that there are several concepts that can be planned in the use of space in the Rimba Jaya Area, so that referring to this concept, the results of the area of space needed for additional space utilization in the Rimba Jaya Area are obtained.</p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>c</em><em>ullinary; recreation; spatial requirements; zoning<strong> </strong></em></p> <p>Abstrak</p> <p>Kawasan Rimba Jaya merupakan sebuah kawasan seluas 9,8 hektar yang memiliki aktivitas rekreasional beserta perdagangan dan jasa yang menjadi primadona bagi warga Kota Tanjungpinang untuk menghabiskan waktu bersama keluarga atau teman di sore hingga malam hari. Kawasan Rimba Jaya mengalami penurunan pengunjung akibat merebaknya pandemi COVID-19 yang mengakibatkan banyak <em>tenant</em> juga ikut meninggalkan Kawasan Rimba Jaya yang semakin memperburuk keadaan. Penelitian di Kawasan Rimba Jaya sebagai obyek penelitian ini dilakukan dengan untuk melihat apakah terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan seperti melakukan penaataan terhadap peruntukkan yang layak dipertahankan serta dengan memanfaatkan ruang-ruang di dalamnya yang diharapkan dapat menarik kembali perhatian pengunjung. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kebutuhan ruang serta memberikan luasan minimum yang dibutuhkan dalam penataan Kawasan Rimba Jaya. Identifikasi pemanfaatan ruang akan mengacu kepada hasil dari analisis <em>best practice</em>. Kemudian perhitungan luas kebutuhan ruang dari analisis <em>best practice</em> dilakukan dengan mencari tahu kapasitas lahan, kemudian menghitung luas yang dibutuhkan dari konsep yang diadaptasi dari analisis <em>best practice</em>. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis kualitatif melalui wawancara, pengumpulan dokumen, dan observasi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa konsep yang bisa direncanakan dalam pemanfaatan ruang di Kawasan Rimba Jaya sehingga mengacu kepada konsep tersebut didapati hasil luas ruang yang dibutuhkan untuk penambahan pemanfaatan ruang di Kawasan Rimba Jaya.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30934IDENTIFIKASI MASALAH KEKUMUHAN KAMPUNG TEPIAN SUNGAI STUDI KASUS KELURAHAN BANSIR LAUT, SUNGAI KAPUAS, KOTA PONTIANAK2024-06-29T02:49:27+00:00Yovi Biancayovibianca@gmail.comSuryono Herlambangsuryonoh@ft.untar.ac.idRegina Suryadjajareginas@ft.untar.ac.id<p>Development in Pontianak City tends to focus on land areas neglecting riverside communities in terms of proper water resource management. The living conditions in these communities, particularly those along the Kapuas River banks, are concerning. These villages are considered uninhabitable due to the emergence of slum organizational problems such as building irregularities, high levels of building density, the quality of building structures, environmental facilities and infrastructure that do not meet technical requirements and do not serve the organization, as well as public facilities and social facilities that do not affordable for its residents. One of them is Caping Village and Tudong Village. Even though there have been efforts to organize slum areas that have been realized by government programs, apart from the image of the organization area on the banks of the river in Kampung Caping and Kampung Tudong which has not been able to provide beauty and sustainable greening to its physical environment, the organization area also does not have the capability to providing the need for environmental infrastructure to support the activities of people living in villages on the banks of the Kapuas River. Therefore, this research was carried out with the hope of identifying the existing slum problems that occur in Kampung Caping and Kampung Tudong. This research will be carried out using descriptive methods, analysis of existing conditions, and analysis of regulatory standards in accordance with the provisions of ministerial regulations and national standards.</p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>kapuas river; riverside; slum area</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Orientasi kehidupan dan permukiman masyarakat kota Pontianak cenderung berkembang di daerah daratan sehingga permukiman yang ada pada tepian dan badan air Sungai Kapuas tidak mendapatkan perhatian pengelolaan sumber daya air yang baik. Secara eksisting, kondisi permukiman di tepian Sungai Kapuas sangatlah memprihatinkan. Terdapat banyak kampung yang tumbuh ditepian Sungai Kapuas. Kampung – kampung tersebut dinilai tidak layak huni karena munculnya masalah permukiman kumuh seperti ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, kualitas struktur bangunan gedung, sarana dan prasarana lingkungan yang tidak memenuhi syarat teknis dan tidak melayani permukiman, serta fasilitas umum dan fasilitas sosial yang tidak memadai bagi penduduknya. Salah satunya adalah Kampung Caping dan Kampung Tudong. Walaupun sudah ada upaya - upaya penataan kawasan kumuh telah direalisasikan oleh program-program pemerintah, namun secara eksisting selain citra kawasan permukiman tepian sungai Kampung Caping dan Kampung Tudong yang belum bisa memberikan keindahan dan penghijauan yang lestari pada fisik lingkungannya, kawasan permukiman juga belum berkapabilitas dalam pemenuhan kebutuhan akan sarana prasarana lingkungan untuk mendukung aktivitas masyarakat yang tinggal di dalam kampung tepian Sungai Kapuas. Maka, penelitian ini dilaksanakan dengan harapan dapat mengidentifikasi masalah kekumuhan yang terjadi di Kampung Caping dan Kampung Tudong secara eksisting. Penelitian ini akan dilakukan menggunakan metode analisis deskriptif, analisis kondisi eksisting, dan analisis standar regulasi sesuai ketentuan dari peraturan menteri dan standar nasional.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30933PELUANG APARTEMEN FATMAWATI CITY CENTER SEBAGAI APARTEMEN BERKONSEP TOD2024-06-29T02:46:07+00:00Sarina Ika Putrisarinaip15@gmail.comRegina Suryadjajareginas@ft.untar.ac.id<p><em>Housing is a primary need after food and clothing. Rapid population growth leads to rising land prices, making landed houses increasingly difficult to access. Therefore, apartments as vertical housing are an alternative, especially in Transit Oriented Development (TOD) areas. TOD is a land use concept that emphasizes a mix of activity, mobility, connectivity, density, and high intensity and is pedestrian-friendly. TOD areas have a distance of 400-800 meters that can be reached within 5-10 minutes walk from the transit point. The concept has three types: city, sub-city, and neighborhood transit-oriented areas. Sub-city transit-oriented apartment types are preferred because of their more affordable prices. The Fatmawati area is an example of a strategic sub-city TOD, located in South Jakarta near TB Simatupang, and has Fatmawati City Center Apartment adjacent to the MRT station. The main purpose of this study is to determine the opportunities and threats of Fatmawati City Center Apartment located in TOD. This data is collected through surveys, observations, journals, magazine articles, and 98 questionnaires that have been distributed to Fatmawati MRT users. The results of this study indicate that the majority of respondents are interested in buying apartments in TOD because of the factors that are taken into consideration, namely the ease of accessing public transportation, workplaces, other destinations, and traffic congestion that tends to be smooth, but financial limitations are a factor in their consideration in buying apartments in TOD. The majority are interested in the 2-bedroom type with a size of 42-71 m2 and in the price range of 500-750 million. It is hoped that the results of this study can provide input to developers who want to develop apartments in TOD.</em></p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>apartment; fatmawati; transit oriented development</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Kebutuhan rumah adalah kebutuhan primer setelah pangan dan sandang. Pertumbuhan penduduk yang cepat menyebabkan kenaikan harga tanah, membuat rumah (<em>landed houses</em>) semakin sulit diakses. Oleh karena itu, apartemen sebagai hunian vertikal menjadi alternatif terutama di area <em>Transit Oriented Development </em>(TOD). TOD adalah konsep penggunaan lahan yang menekankan pada campuran aktivitas, mobilitas, konektivitas, kepadatan, dan intensitas tinggi serta ramah terhadap pejalan kaki. Area TOD memiliki jarak 400–800 meter yang bisa ditempuh dalam 5-10 menit berjalan kaki dari tempat transit. Konsep ini memiliki tiga tipe: kawasan berorientasi transit kota, sub-kota, dan lingkungan. Tipe apartemen yang berada di transit sub-kota menjadi pilihan karena harga apartemennya lebih terjangkau. Kawasan Fatmawati adalah contoh TOD sub-kota yang strategis, terletak di Jakarta Selatan dekat TB Simatupang, dan memiliki Apartemen Fatmawati City Center yang berdekatan dengan stasiun MRT. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peluang dan ancaman dari Apartemen Fatmawati City Center yang berada di TOD. Data ini dikumpulkan melalui survei, observasi, jurnal, artikel majalah, dan 98 kuesioner yang telah disebarkan kepada pengguna MRT Fatmawati. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas responden berminat membeli apartemen di TOD karena faktor yang menjadi pertimbangan yaitu kemudahan dalam mengakses transportasi umum,tempat kerja, tempat destinasi lain, dan kemacetan lalu lintas yang cenderung lancar, namun keterbatasan finansial menjadi faktor pertimbangan mereka dalam membeli apartemen di TOD. Mayoritas tertarik pada tipe 2 kamar tidur dengan ukuran 42-71m<sup>2</sup> dan di kisaran harga 500-750 juta. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberi masukan kepada para pengembang yang hendak mengembangkan apartemen di TOD.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30932STUDI ANALISIS LOKASI PADA LAHAN GRAND RESIDENCE CITY DI CIMUNING, BEKASI2024-06-29T02:32:58+00:00Yohanes Leonandyohanesleonand@gmail.comPriyendiswara Agustina Bellapriyendiswaraa@ft.untar.ac.id<p>Grand Residence City is a highly promising property development project with a total land area of 100 hectares, consisting of 9 clusters and commercial areas. The project aims to develop a luxurious and modern residential area located in the city center. The development of Grand Residence City is in response to the increasing demand for residential housing. The Grand Residence City area boasts several attractive facilities, including a recreational lake, green parks, a football field, a clubhouse, and a commercial area featuring culinary centers. Grand Residence City has a vision of developing a sustainable and modern project. The research aims to assess the accessibility, proximity to activity centers, infrastructure, and infrastructure plans for the study object's location. The required data include primary data obtained through direct surveys and interviews, as well as secondary data from journals and open portals. Based on the conducted analysis, the research results indicate that the land location is relatively inaccessible due to its considerable distance from activity centers and the limited availability of public transportation passing in front of the study object, necessitating transit. However, it has two access points from nearby toll roads. Within a 2 km radius, the construction of the JORR 2 toll road, namely the Cibitung-Cimanggis toll road, is underway, facilitating access to the study object's land.</p> <p><strong><em>Keywords: </em></strong><em>accessibility; infrastructure; location</em></p> <p>Abstrak</p> <p>Grand Residence City merupakan sebuah proyek pengembangan properti yang sangat menjanjikan yang memiliki luas total lahan sebesar 100 Ha serta 9 cluster dan area komersial. Grand Residence City sendiri memiliki tujuan yaitu mengembangkan Kawasan hunian mewah serta modern yang terletak di pusat kota. Pembangunan proyek dari Grand Residence City sendiri dilakukan mengingat kebutuhan perumahan residensial semakin meningkat. Kawasan Grand Residence City memiliki beberapa fasilitas yang sangat menarik seperti danau rekreasi, taman hijau, lapangan sepak bola, club house dan area komersil berupa pusat kuliner. Grand Residence City memiliki visi yaitu mengembangkan proyek yang berkelanjutan/sustainable dan modern. Tujuan dari penelitian tersebut untuk mengetahui mengetahui aksesibilitas, kedekatan dengan pusat kegiatan, infrastruktur serta rencana infrastruktur dari lokasi objek studi. Data-data yang dibutuhkan terdiri dari data primer seperti survey secara langsung dan wawancara, sedangkan untuk data sekunder yang dibutuhkan seperti jurnal dan portal-portal terbuka. Berdasarkan analisis yang dilakukan, hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa lokasi lahan relatif tidak mudah diakses karena tergolong cukup jauh dari pusat kegiatan dan minim nya transportasi umum dari berbagai jurusan yang melewati depan objek studi yang mengharuskan untuk melakukan transit, tetapi memiliki 2 akses dari jalan tol yang relatif cukup dekat. Dalam radius 2 km sedang dibangun jalan tol JORR 2, yaitu jalan tol Cibitung-Cimanggis, yang mempermudah akses dari lahan objek studi.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)https://journal.untar.ac.id/index.php/jstupa/article/view/30867ANALISIS PENGELOLAAN TEPIAN SUNGAI MAHAKAM STUDI KASUS MAHAKAM LAMPION GARDEN DI KOTA SAMARINDA2024-06-28T06:05:42+00:00Alesya Gabriella Kahatgabriellagebyy2@gmail.comPriyendiswara Agustina Bellapriyendiswaraa@ft.untar.ac.id<p>Riverbanks play an important role in supporting the ecosystem, urban aesthetics, and the socio-economic life of the surrounding community. This study aims to analyze the management of the Mahakam Riverbanks with a case study of Mahakam Lampion Garden in Samarinda City. This research uses qualitative methods with a descriptive approach to explore how Mahakam Lampion Garden is managed and its impact on the environment and the local community. Data were collected through in-depth interviews with management officials, field observations, and related document analysis. The results of the study indicate that the management of Mahakam Lampion Garden has made a positive contribution to improving environmental quality, urban aesthetics, and community welfare. This area has become one of the leading tourist destinations that attract many visitors, which in turn has a significant economic impact on the local residents. However, this study also found several challenges that need to be addressed, such as cleanliness issues, maintenance of public facilities, and suboptimal waste management. Recommendations from this study include increasing community awareness and participation in maintaining environmental cleanliness, as well as developing more sustainable management policies. With the implementation of these recommendations, it is expected that the management of Mahakam Lampion Garden can be continuously improved to support environmental sustainability and community welfare along the Mahakam Riverbanks</p> <p><strong>Keywords</strong>: infrastructure; mahakam lantern garden; mahakam river; riverbank management; riverbanks</p> <p>Abstrak</p> <p>Tepian sungai memiliki peran penting dalam mendukung ekosistem, estetika kota, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekitar. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengelolaan tepian Sungai Mahakam dengan studi kasus Mahakam Lampion Garden di Kota Samarinda. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif untuk mengeksplorasi bagaimana Mahakam Lampion Garden dikelola serta dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat setempat. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan pihak pengelola, observasi lapangan, dan analisis dokumen terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan Mahakam Lampion Garden telah memberikan kontribusi positif dalam meningkatkan kualitas lingkungan, estetika kota, dan kesejahteraan masyarakat. Area ini telah menjadi salah satu destinasi wisata unggulan yang menarik banyak pengunjung, yang pada gilirannya memberikan dampak ekonomi yang signifikan bagi penduduk setempat. Penelitian ini juga menemukan beberapa tantangan yang perlu diatasi, seperti masalah kebersihan, pemeliharaan fasilitas umum, dan pengelolaan sampah yang belum optimal. Rekomendasi yang dihasilkan dari penelitian ini mencakup peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan, serta pengembangan kebijakan pengelolaan yang lebih berkelanjutan. Dengan implementasi rekomendasi tersebut, diharapkan pengelolaan Mahakam Lampion Garden dapat terus ditingkatkan untuk mendukung keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat di sepanjang tepian Sungai Mahakam.</p>2024-10-28T00:00:00+00:00Copyright (c) 2024 Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa)