Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
https://journal.untar.ac.id/index.php/jmishumsen
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni (P-ISSN 2579-6348 dan E-ISSN 2579-6356) merupakan jurnal yang menjadi wadah bagi penerbitan artikel-artikel ilmiah hasil penelitian dalam bidang Ilmu Sosial (seperti Ilmu Psikologi dan Ilmu Komunikasi), Humaniora (seperti Ilmu Hukum, Ilmu Budaya, Ilmu Bahasa), dan Seni (seperti Seni Rupa dan Design). Jurnal ilmiah ini diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Tarumanagara. Dalam satu tahun, jurnal ini terbit dalam dua nomor, yaitu pada bulan April dan Oktober. Jurnal ini terutama memuat artikel hasil-hasil penelitian ilmiah, termasuk penelitian normatif.Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagaraen-USJurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni2579-6348This work is licensed under a Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni <a href="https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/" target="_blank">Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.</a>ANALISIS KARAKTER BADANG DALAM MOBILE LEGENDS DENGAN MENGHUBUNGKAN DENGAN LEGENDA BATU AMPAR
https://journal.untar.ac.id/index.php/jmishumsen/article/view/32048
<p>Evolusi karakter Badang terjadi dengan sangat cepat setelah ditetapkannya karakter tersebut sebagai <em>hero</em> dalam game <em>Mobile Legends</em> pada tahun 2019. Hal ini mengakibatkan karakter Badang semakin dikenal luas di antara berbagai komunitas pemain di dalam <em>game</em> tersebut. Dalam konteks <em>Mobile Legends</em>, terdapat narasi populer bahwa karakter Badang berasal dari Malaysia. Namun demikian, analisis historis menunjukkan bahwa Badang diciptakan pada abad ke-13. Pada masa itu, negara Malaysia, Singapura, dan provinsi Riau belum terbentuk dan merupakan satu wilayah Melayu. Oleh karena itu, karakter Badang terkenal di tiga wilayah Melayu. Analisis ini bertujuan untuk memberikan informasi terkait perbedaan antara Badang yang digambarkan dalam Legenda Batu Ampar dengan Badang yang digambarkan dalam <em>Mobile Legends</em>. Analisis ini juga bertujuan untuk mengeksplorasi potensi untuk menciptakan representasi visual berdasarkan warisan budaya Melayu Indonesia yang ada, yang berada di sekitar Pulau Sumatera. Metodologi yang digunakan adalah pendekatan studi komparatif, yaitu dengan menganalisis data dan informasi yang diperoleh untuk memfasilitasi perbandingan karakter Badang Batu Ampar dan Badang Malaysia yang telah divisualisasikan. Hasil yang didapatkan bahwa Badang Batu Ampar menunjukkan visual yang berbeda-beda dan tidak menunjukkan seperti seorang yang memiliki kekuatan, berbeda dengan Badang dalam legenda Malaysia. Dengan penelitian yang dilakukan diharapkan dapat mengasilkan sebuah visual yang menarik dan dikembangkan.</p>Cherane LeonyEdy ChandraBudi Darmo
Copyright (c) 2024 Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0
2024-10-172024-10-178343143710.24912/jmishumsen.v8i3.32048.2024PERANAN TOXIC WORKPLACE TERHADAP PHONE-SNUBBBING
https://journal.untar.ac.id/index.php/jmishumsen/article/view/27891
<p>Penggunaan <em>smartphone </em>terus-menerus bertambah dari tahun ke tahun, sehingga menjadikan negara Indonesia dengan penggunaan <em>smartphone </em>tertinggi ke-4 di dunia. Akan tetapi, dibalik penggunaan <em>smartphone </em>yang bermanfaat, terdapat pula dampak negatif, diantaranya orang dapat menjadi kecanduan serta tidak menghargai orang lain. <em>Phone-snubbing </em>atau dikenal dengan <em>phubbing </em>merupakan salah satu bentuk tindakan seseorang tidak menghargai lawan bicara karena sibuk bermain dengan ponsel ketika sedang berinteraksi dengan orang lain. Tindakan <em>phubbing </em>ini menyebabkan beberapa dampak negatif, diantaranya dapat membatasi komunikasi serta interaksi dengan orang lain. Perilaku <em>phubbing </em>ini tidak hanya terjadi di lingkungan masyarakat, namun juga dapat terjadi di lingkungan kerja. Apabila hal ini terus berlanjut akan menimbulkan lingkungan kerja yang buruk bagi perusahaan atau dikenal dengan <em>toxic workplace</em>. Lingkungan kerja yang buruk dapat menimbulkan dampak negatif berupa kecemasan, selain itu perilaku <em>phubbing </em>diketahui juga ditandai dengan individu cenderung merasa cemas. Akan tetapi, belum ada penelitian lebih lanjut yang menghubungkan secara langsung antara <em>toxic workplace </em>dengan perilaku <em>phubbing</em>. Pada penelitian ini melibatkan sebanyak 224 karyawan yang bekerja di tiga perusahaan <em>entertainment </em>dengan jenis kelamin laki-laki maupun perempuan, karyawan dengan usia 20-63 tahun, karyawan yang memiliki <em>smartphone</em>, serta kebiasaan menggunakan <em>smartphone </em>ketika berinteraksi dengan orang lain. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan teknik <em>convenience sampling</em>. Terdapat dua alat ukur pada penelitian ini, yaitu <em>Toxic Workplace Environments </em>yang dikembangkan oleh McCulloch dan <em>Phubbing Scale </em>yang dikembangkan oleh Karadag. Hasil uji menunjukkan bahwa nilai <em>(p)</em> < 0,05, dengan nilai t sebesar 7.226 dan untuk nilai F = 52.209. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa <em>toxic workplace </em>berperan terhadap perilaku <em>phone-snubbing </em>dengan kontribusi atau nilai <em>R-Square </em>sebesar 0.190 atau 19%.</p>Angeline MonicaRostiana
Copyright (c) 2024 Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0
2024-10-152024-10-158341541910.24912/jmishumsen.v8i3.27891.2024HUBUNGAN KUALITAS BERPACARAN DAN KECEMASAN MENIKAH PADA GENERASI Z
https://journal.untar.ac.id/index.php/jmishumsen/article/view/27346
<p>Kualitas hubungan adalah hasil evaluasi subjektif mengenai evaluasi negatif atau positif individu kepada pasangannya untuk melihat apakah pasangannya sesuai atau tidak selama menjalani hubungan bersama. Kualitas hubungan yang baik dapat membuat individu lebih bahagia dan menurunkan resiko terkait kesehatan mental seseorang. Sebaliknya ketika individu memiliki kualitas hubungan yang buruk maka dapat mempengaruhi individu dalam menjalani hubungannya yaitu tidak adanya wellbeing antar satu sama lain karena merasa tidak memiliki hal yang akan terasa lebih baik. Kualitas hubungan mempunyai beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu: (a) Kepuasan (<em>Satisfaction</em>); (b) Kepercayaan (<em>Trust</em>); (c) Komitmen (<em>Commitment</em>); (d) Gairah (<em>Passion</em>); (e) Keintiman (<em>intimacy</em>); (f) Cinta (<em>Love</em>). Semakin tinggi tingkat kualitas hubungannya maka akan semakin rendah tingkat kecemasannya begitupun sebaliknya. Kecemasan adalah perasan ketakutan yang dirasakan oleh individu biasanya ketakutan ini berasal dari naluri manusia yang bersifat realistis maupun tidak realistis dan biasanya hal ini bersangkutan dengan masalah kejiwaan seseorang. Kecemasan biasanya digambarkan didalam kehidupan sehari-hari sebagai perasaan dimana individu merasa kurang nyaman dan tidak menemukan ketenangan dalam dirinya. Aspek-Aspek dari kecemasan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu : (a) Reaksi emosional; (b) Reaksi Kognitif; (c) Reaksi Fisiologis. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif korelasional yang melibatkan 295 partisipan dengan teknik <em>purposive sampling</em> menggunakan 2 alat ukur yaitu menggunakan <em>Perceived Relationship Quality-Component (PRQ-C)</em> untuk variabel kualitas hubungan dan <em>Taylor Manifest Anxiety Scale</em> untuk variabel kecemasan menikah. Pada hasil penelitian ini menjelaskan bahwa adanya hubungan negative signifikan antara kualitas hubungan dan kecemasan menikah dimana semak (r = -0,756, p>0,05).</p>Argea Intania MutiasariRiana Sahrani
Copyright (c) 2024 Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0
2024-10-152024-10-158342043010.24912/jmishumsen.v8i3.27346.2024HUBUNGAN LONELINESS DENGAN NOMOPHOBIA PADA DEWASA AWAL PENGGUNA APLIKASI INSTAGRAM
https://journal.untar.ac.id/index.php/jmishumsen/article/view/27711
<p>Perkembangan teknologi menghasilkan media sosial yang dapat dengan mudahnya diakses Internet melalui <em>smartphone. </em>Media sosial memberikan kenyamanan terhadap pengguna smartphone. Salah satu aplikasi media sosial yang digemari adalah Instagram. Penggunaan <em>smartphone</em> berlebih dapat membuat penggunanya mengalami ketergantungan dan akan merasa cemas apabila tidak dapat menggunakan <em>smartphone </em>atau bisa disebut dengan istilah <em>nomophobia</em>. Kondisi <em>nomophobia</em> dapat diperkuat oleh perasaan <em>loneliness</em> atau kesepian yang ada pada diri seseorang. Usia dewasa dapat lebih leluasa dalam mengakses internet dan merupakan usia yang rentan mengalami kesepian karena memiliki tanggung jawab yang besar terhadap hidupnya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan <em>loneliness</em> dengan <em>nomophobia</em> pada dewasa awal pengguna aplikasi Instagram<em>. </em>Penelitian ini dilakukan pada 357 partisipan dengan rentang usia 20-40 tahun yang aktif menggunakan aplikasi Instagram. Alat ukur <em>loneliness</em> yang digunakan adalah <em>University of California (UCLA) Loneliness Scale</em> dan alat ukur <em>nomophobia</em> yang digunakan adalah <em>Nomophobia</em> <em>Questionnaire (NMP-Q). </em>Melalui hasil uji korelasi Spearman terhadap loneliness dan nomophobia terhadap dewasa awal pengguna aplikasi Instagram, diperoleh hasil r = 0,08 dan p > 0,05. Berdasarkan hasil penelitian tersebut tidak terdapat hubungan yang signifikan terhadap <em>loneliness</em> dengan <em>nomophobia</em> pada dewasa awal pengguna aplikasi Instagram.</p>Fernaldo Prima PutraRaja Oloan Tumanggor
Copyright (c) 2024 Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0
2024-10-192024-10-198343844610.24912/jmishumsen.v8i3.27711.2024HUBUNGAN ANTARA MINDSET DENGAN PEMILIHAN KARIR PADA GENERASI Z
https://journal.untar.ac.id/index.php/jmishumsen/article/view/27244
<p>Pemilihan karir dianggap sebagai sikap inisiatif karena seseorang dapat mengontrol sendiri karir yang ingin mereka jalani. Hal yang dapat diukur dalam melihat kesuksesan seseorang adalah dengan memperhatikan keberhasilan jenjang karir yang dijalankannya. Pemilihan karir yang terencana saat berada dilingkungan sekolah atau kampus memiliki dampak yang luar biasa dalam kesuksesan seseorang. Pada saat ini, generasi Z memiliki kesulitan dalam mencari kerja. Kesulitan pada generasi ini terjadi akibat dari pandemik COVID-19 yang berlangsung kurang lebih selama dua (2) tahun. Mindset adalah rancangan pikiran seseorang atau perspektif yang dimiliki seseorang untuk melihat dan mempelajari berbagai hal yang menurutnya menarik. Seorang individu yang mempunyai <em>fixed mindset </em>memiliki kecenderungan menerapkan tujuan kinerja yang berpusat pada menampilkan kemampuan untuk memenuhi harapan orang lain. Seorang individu yang mempunyai <em>growth mindset</em> memiliki kecenderungan yang berpusat pada tujuan pembelajaran dan mengedepankan perkembangan intelektual serta menyukai tugas yang bersifat menantang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara <em>mindset</em> dengan pemilihan karir pada generasi Z. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan melibatkan 372 partisipan yang berusia 17 – 24 tahun. Terdapat 2 alat ukur yang digunakan pada penelitian ini yaitu <em>Dweck Mindset Instrument</em> dari Dweck dan Hanson dan <em>Career Decision Scale</em> dari Osipow et al. Analisis data utama diolah dengan menggunakan uji korelasi. Hasil menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara <em>mindset</em> dengan pemilihan karir arena hasil korelasi p = 0.877 > 0.05.</p>Cindy FebriyantiRiana Sahrani
Copyright (c) 2024 Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0
2024-10-192024-10-198344745810.24912/jmishumsen.v8i3.27244.2024HUBUNGAN SELF ESTEEM DENGAN PSYCHOLOGICAL WELLBEING PADA REMAJA PENGGUNA INSTAGRAM
https://journal.untar.ac.id/index.php/jmishumsen/article/view/27766
<p>Sosial media terutama Instagram merupakan salah satu hal yang bisa dikatakan wajib untuk dimiliki setiap remaja dengan tujuan yang beragam. Ada banyak aktivitas dan konten menarik yang dapat dijelajahi dan dinikmati di Instagram. mereka bisa menjalin hubungan dengan teman-teman dari seluruh mancanegara dan mengikuti akun selebriti atau orang populer lainnya. Dengan mereka terjun ke sosial media, dengan banyak hal yang mereka lihat dan temui baik positif maupun negatif, hal ini bisa mempengaruhi self-esteem mereka yang tentunya juga akan mempengaruhi tingkat <em>psychological well-being</em> mereka. Penelitian ini dibuat bertujuan untuk menguji hubungan antara tingkat self-esteem dengan psychological well-being pada remaja pengguna Instagram. Penelitian ini menggunakan teknik <em>purposive sampling. </em>Penelitian ini juga mengambil partisipan yang berada di DKI Jakarta yang berumur 18-19 tahun yang menggunakan Instagram dan yang masih diberikan uang jajan. Penelitian ini terdapat 313 partisipan yang terdiri dari 105 partisipan yang berusia 18 tahun dan 208 partisipan yang berusia 19 tahun. Penelitian ini menggunakan alat ukur <em>self-esteem </em>yang sudah diadaptasi oleh Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara yang menggunakan dasar teori Rosenberg dan menggunakan <em>Ryff’s Scales of Psychological Well-Being (PWB) </em>untuk mengukur tingkat <em>psychological well-being</em>. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara <em>self-esteem </em>dan <em>psychological well-being.</em> Hubungan dari kedua variabel tersebut tergolong cukup kuat. Data diolah menggunakan SPSS versi 25, data tidak terdistribusi secara normal maka digunakan <em>spearman correlation</em>. Skor yang didapatkan yaitu r= 0.475, dengan p= 0.000 > 0.05.</p>khanti antoviaDebora Basaria
Copyright (c) 2024 Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0
2024-10-192024-10-198345946410.24912/jmishumsen.v8i3.27766.2024HUBUNGAN NARSISTIK DENGAN CYBERBULLYING PADA GENERASI Z
https://journal.untar.ac.id/index.php/jmishumsen/article/view/27461
<p>Kemajuan teknologi telah berkembang pesat di seluruh dunia, termasuk pada media sosial. Hal ini didukung dengan keragaman media sosial dan kemudahan bagi penggunanya dalam mengakses fitur yang terdapat didalamnya. Melalui kemudahan tersebut, media sosial memberikan dampak positif sesuai dengan penggunaannya, akan tetapi, bila penggunaan media sosial digunakan secara berlebihan juga dapat menimbulkan masalah yang berdampak bagi diri sendiri dan juga orang lain. Media sosial kerap dijadikan tempat mengekspresikan emosi dari penggunanya, namun kerap disalahgunakan bagi penggunanya untuk melakukan perundungan yang mengarah pada <em>cyberbullying. </em>Perilaku <em>cyberbullying</em> salah satunya karena faktor kepribadian dari pelaku. Kepribadian yang cenderung gelap berkemungkinan mendukung seseorang dalam melakukan tindak kejahatan terutama yang lebih mudah dilakukan yakni di dunia maya. Peneliti berasumsi bahwa kepribadian terutama narsistik berhubungan dengan perilaku negatif <em>cyber bullying </em>yang dilakukan generasi Z. Adapun penelitian ini ditujukan untuk mengetahui hubungan narsistik dengan <em>cyberbullying </em>pada generasi Z. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif berjenis non eksperimental menggunakan survei dan sampel yang diambil berdasarkan teknik <em>convenience sampling</em>. Partisipan pada penelitian ini sebanyak 353 partisipan pengguna aktif media sosial yang memiliki rentang usia 17-28 tahun. Dalam penelitian ini menggunakan dua alat ukur, yakni <em>The Short Dark Triad (SD3) </em>oleh Jones dan Paulhus (2013)<em> dan</em> <em>Cyberbullying Questionnaire (CBQ) </em>oleh Guadix et al. (2014)<em>. </em>Hasilnya didapatkan bahwa narsistik tidak berhubungan dengan perilaku <em>cyberbullying </em>pada generasi Z (r = -0.016 dengan nilai p > 0.05).</p>Nidya ChristiantyRostiana
Copyright (c) 2024 Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0
2024-10-192024-10-198346547010.24912/jmishumsen.v8i3.27461.2024GAMBARAN LOVE LANGUAGE PADA DEWASA AWAL KORBAN BROKEN HOME
https://journal.untar.ac.id/index.php/jmishumsen/article/view/27239
<p><em>Love language </em>merupakan konsep yang dijelaskan oleh Chapman (1992) sebagai ekspresi cinta yang memiliki lima bentuk yaitu: (a) <em>word of affirmation, </em>(b) <em>quality time,</em> (c) <em>receiving gifts,</em> (d) <em>act of service,</em> dan (e) <em>physical touch. </em>Pertama kali <em>love language </em>terbentuk di lingkungan keluarga dengan pengalaman kasih sayang dari orang tua. Chapman dan Campbell (2016) menyebutkan bahwa anak yang kurang mendapatkan kasih sayang juga mengembangkan <em>love language </em>namun dalam bentuk yang menyimpang. Tidak ada penjelasan lebih lanjut akan bentuk <em>love language </em>yang menyimpang tersebut. Jika menyebutkan keluarga yang kurang kasih sayang salah satu contohnya adalah <em>broken home </em>yaitu keluarga dengan keretakan. Anak dalam keluarga <em>broken home </em>mengalami dampak buruk karena kurang mendapatkan kasih sayang dari orang tua. Anak korban <em>broken home </em>jadi diliputi dengan perasaan negatif dan sulit mengekspresikan perasaannya. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kuantitatif deskriptif dan alat ukur <em>love language scale </em>hasil adaptasi Surijah dan Septiarly (2016). Teknik <em>purposive sampling </em>digunakan untuk mendapatkan responden dengan kriteria khusus yaitu berusia 20-40 tahun dan pernah mengalami <em>broken home </em>di usia 1-19 tahun. Peneliti mendapatkan 380 responden yang menunjukkan <em>love language scale </em>berada pada kategori sedang dengan bentuk <em>love language </em>terbanyak adalah <em>word of affirmation. </em>Responden dengan bentuk <em>love language</em> <em>word of affirmation </em>mengekspresikan kasih sayang dengan kata-kata seperti apresiasi, pujian, dan dukungan. Ditemukan juga bahwa tidak ada perbedaan signifikan hasil skor <em>love language </em>berdasarkan jenis kelamin, usia, dan tingkat pendidikan.</p>Mulan PhungRiana Sahrani
Copyright (c) 2024 Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0
2024-10-192024-10-198347147910.24912/jmishumsen.v8i3.27239.2024HARGA DIRI SEBAGAI MODERATOR DALAM HUBUNGAN RELASI PARASOSIAL DAN INTENSI MEMBELI
https://journal.untar.ac.id/index.php/jmishumsen/article/view/27413
<p>Perkembangan Globalisasi mempengaruhi berkembangnya teknologi mempermudah akses informasi dari berbagai hal. Maraknya <em>Korean Wave</em> yang didominasi oleh <em>boygroup</em> dan <em>girlgroup</em> menjadi salah satu dampak adanya perkembangan teknologi dan informasi yang terjadi, dengan dukungan perkembangan tersebut mempermudah terjadinya interaksi antara penggemar dan artis berasal Korea Selatan tersebut. Interaksi yang terjadi dapat menimbulkan perilaku parasocial relationship terutama pada remaja dalam masa mencari jati diri mereka. Adanya perilaku tersebut juga dapat menimbulkan tindakan intensi membeli yang juga dapat dipicu oleh tingkat <em>self-esteem</em> seseorang. Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan <em>parasocial relationship</em> dan intensi membeli pada remaja penggemar <em>K-Pop</em> yang dimoderasi dengan self-esteem. Penelitian ini melibatkan 267 responden dengan metode pengumpulan data menggunakan kuesioner yang disusun atas <em>Parasocial Interaction</em> (PSI) Scale (α = 0.831), <em>Purchase Intention Scale </em>(α = 0.814), dan <em>Rosenberg Self-Esteem Scale</em> (RSES) ) (α = 0.803). Hasil yang ditemukan dalam penelitian ini bahwa harga diri terbukti memiliki peran dalam hubungan yang terjadi pada <em>parasocial relationship</em> dan intensi membeli pada remaja yang merupakan penggemar <em>K-Pop</em>.</p> <p> </p>Shavina LathifahFransisca Iriani Roesmala Dewi
Copyright (c) 2024 Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0
2024-10-192024-10-198348048710.24912/jmishumsen.v8i3.27413.2024KOMERSIALISASI ATAS PENGGUNAAN POTRET IDOLA K-POP PADA BUKU FIKSI & NONFIKSI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG HAK CIPTA INDONESIA
https://journal.untar.ac.id/index.php/jmishumsen/article/view/32193
<p>Globalisasi telah memengaruhi perkembangan budaya di negara Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari budaya populer <em>K-Pop </em>telah masuk ke Indonesia. Perkembangan <em>K-Pop</em> telah membuka peluang pasar bisnis di Indonesia dengan adanya penjualan <em>merchandise</em> yang diproduksi oleh agensi yang menaungi idola tersebut, seperti album, poster, buku dokumenter, <em>photocard, lightstick,</em> dan lain sebagainya yang berkaitan dengan idola. Penjualan <em>merchandise</em> <em>K-Pop</em> resmi selalu dijual dengan harga yang tinggi dan susah didapatkan. Sehingga memunculkan karya cipta yang memanfaatkan potret idola <em>K-Pop </em>sebagai media promosi dan nilai ketertarikan bagi penggemar <em>K-Pop</em>. Salah satunya adalah buku fiksi dan nonfiksi mengenai idola <em>K-Pop.</em> Hal ini menimbulkan permasalahan hukum terkait pelanggaran hak cipta yang bertentangan dengan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta dalam pemanfaatan potret tanpa izin dan dikomersialkan. Oleh karena itu, Penulis ingin mengkaji terkait bentuk pelanggaran hukum terhadap komersialisasi atas penggunaan potret idola <em>K-Pop</em> pada buku fiksi dan nonfiksi berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan. Hasil penelitian menggambarkan bahwa bentuk pelanggaran hukum atas komersialisasi penggunaan potret idola <em>K-Pop </em>pada buku fiksi dan nonfiksi merupakan perbuatan melawan hukum yang tertuang pada Pasal 1365 KUH Perdata dengan adanya kesalahan, kerugian yang ditimbulkan, dan hubungan kausalitas antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang timbul.</p>Sylvia ShasmitaGunardi Lie
Copyright (c) 2024 Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0
2024-10-192024-10-198348849410.24912/jmishumsen.v8i3.32193.2024