GAMBARAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA PASANGAN INVOLUNTARY CHILDLESS

Main Article Content

Elsa Chai

Abstract

Sebagian besar pasangan menikah menginginkan kehadiran seorang anak dalam pernikahannya. Anak memiliki berbagai nilai penting dalam pernikahan. Namun kenyataannya, tidak semua pasangan menikah memiliki kesempatan untuk mempunyai keturunan. Permasalahan infertilitas merupakan salah satu permasalahan yang menyebabkan pasangan sulit untuk mendapatkan keturunan.  Infertilitas merupakan sebuah kondisi yang dapat menekan dan seringkali menyebabkan gangguan psikologis pada pasangan menikah. Namun demikian pada kenyataannya banyak pasangan mampu mempertahankan hubungan pernikahan mereka walaupun tidak dikaruniai keturunan. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai psychological well-being dari pasangan involuntary childless ditinjau melalui dimensi dalam teori psychological well-being oleh Ryff, yang meliputi self-acceptance, personal growth, purpose in life, enviromental mastery, otonomy, positive relation with others. Metode penelitian dilakukan melalui metode penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui in-depth interview. Kriteria partisipan terdiri atas (a) pasangan menikah yang tidak memiliki anak, (b) mengalami infertilitas primer, (c) usia pernikahan 1-5 tahun, dan (d) dewasa muda yang berusia 20-30 tahun. Peneliti menggunakan metode Interpretative Phenomenology Analysis (IPA) untuk menganalisis data. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa, (1) subjek involuntary childless memiliki kualitas psychological well-being yang cukup baik meskipun belum sepenuhnya sempurna (2) subjek mengungkapkan bahwa kondisi infertilitas membuat mereka memiliki kedekatan dan ikatan yang lebih erat dengan pasangannya. (3) subjek menjelaskan bahwa memiliki anak bukanlah tujuan satu-satunya yang harus mereka raih, namun kebahagiaan adalah hal utama dalam hubungan mereka, (4) subjek lebih nyaman untuk berada dekat dengan orang-orang sekitar yang memahami mereka, yakni pasangan dan keluarga. Kesimpulan dalam penelitian mengungkapkan bahwa keempat subjek penelitian belum sepenuhnya memenuhi 6 dimensi yang teradapat pada teori psychological well-being, namun mereka memiliki kualitas psychological well-being yang cukup baik.

Article Details

Section
Articles

References

Ardias, W. S., Bakhtiar, B., & Gustia, M. P. (2021). Psychologycal Well-being pada Perempuan yang Mengalami Infertilitas Sekunder. Majalah Ilmu Pengetahuan Dan Pemikiran Keagamaan Tajdid, 24(2), 176–198. https://doi.org/10.15548/tajdid.v24i2.3490

Cousineau, T. M., & Domar, A. D. (2007). Psychological Impact of Infertility. Best Practice & Research Clinical Obstetrics & Gynaecology, 21(2), 293–308. https://doi.org/10.1016/j.bpobgyn.2006.12.003

Duvall, E. M. (1977). Marriage and Family Development. Philadelphia: Lippincott.

Duvall, E. M., & Miller, B. C. (1985). Marriage and Family Development. New York: Harper & Row.

Lampic, C., Svanberg, A. S., Karlström, P., & Tydén, T. (2006). Fertility Awareness, Intentions Concerning Childbearing, and Attitudes Towards Parenthood Among Female and Male Academics. Human Reproduction, 21(2), 558–564. https://doi.org/10.1093/humrep/dei367

Ryff, C. D., & Singer, B. (1996). Psychological Weil-Being: Meaning, Measurement, and Implications for Psychotherapy Research. Psychotherapy and Psychosomatics, 65(1), 14–23. https://doi.org/10.1159/000289026

Sapphira, A. N. C., & Suryadi, D. (2022). Gambaran Psychological Well-Being Individu Dewasa Awal dengan Latar Belakang Keluarga Bercerai. Jurnal Muara Medika Dan Psikologi Klinis, 2(1), 211–216.

Winefield, H. R., Gill, T. K., Taylor, A. W., & Pilkington, R. M. (2012). Psychological Well-Being and Psychological Distress: Is it Necessary to Measure Both? Psychology of Well-Being: Theory, Research and Practice, 2(1), 3. https://doi.org/10.1186/2211-1522-2-3