KEJAHATAN PEDOFILIA SEBAGAI PERILAKU MENYIMPANG DAN UPAYA PENEGAKAN HUKUMNYA

Main Article Content

Delvina Alodia
Jesslyn Lie
Vini Anggreini

Abstract

Pedophilia is an obsession with children as sex objects. Overt acts, including taking sexual explicit photographs, molesting children, and exposing one's genitalia to children are all crimes. The problem with these crimes is that pedophilia is also treated as a mental illness, and the pedophiles are often released only to repeat the crimes or escalate the activity to the level of murder. This caused for the victims, in this case the children, and their families to feel insecure as there are still chances that the culprit is still targeting them. And there is also the physical and mental trauma that the children suffer as a result of the illicit act. Therefore pedophilia should be addressed seriously as the lives of children are at stake. Many regulations have been created in order to decrease this crime, but with technology’s rapid growth and increase of pedophilia communities that can be found all over the internet, it seems like it would be a long way before the crime could be eradicated completely. Because of that the government along with several other authority figures would occasionally search for sanctions that will hopefully decrease the number of pedophiles.

Pedofilia adalah obsesi terhadap anak-anak sebagai objek seks. Tindakan berlebihan, termasuk mengambil foto eksplisit seksual, menganiaya anak-anak, dan mengekspos alat kelamin seseorang kepada anak-anak adalah kejahatan. Masalah dengan kejahatan ini adalah pedofilia juga diperlakukan sebagai penyakit mental, dan pedofil sering dilepaskan hanya untuk mengulangi kejahatan atau meningkatkan aktivitas ke tingkat pembunuhan. Ini menyebabkan para korban, dalam hal ini anak-anak, dan keluarga mereka merasa tidak aman karena masih ada kemungkinan bahwa pelakunya masih menargetkan mereka. Dan ada juga trauma fisik dan mental yang diderita anak-anak sebagai akibat dari tindakan ilegal tersebut. Karena itu pedofilia harus ditangani dengan serius karena nyawa anak-anak dipertaruhkan. Banyak peraturan telah dibuat untuk mengurangi kejahatan ini, tetapi dengan pertumbuhan teknologi yang cepat dan peningkatan komunitas pedofilia yang dapat ditemukan di internet, sepertinya akan jauh sebelum kejahatan dapat diberantas sepenuhnya. Karena itu pemerintah bersama beberapa tokoh otoritas lainnya sesekali akan mencari sanksi yang diharapkan akan menurunkan jumlah pedofil. 

Article Details

Section
Articles

References

Anggadewi, B. E.T. (2007). Studi kasus tentang dampak psikologis anak korban kekerasan dalam keluarga. Makalah. Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.

Boeree, C. G. (2008). General psychology: Psikologi kepribadian, persepsi, kognisi, emosi & perilaku. Jogjakarta: Prismasophie

Gosita, A. (1993). Masalah korban kejahatan, kumpulan karangan Cetakan ke-3. Jakarta: CV Akademika Pressindo

Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606).

Indonesia, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4928).

Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5882).

Muhadar. (2006). Viktimisasai kejahatan pertanahan, edisi revisi. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo

Hidayati, N. (2014). perlindungan anak terhadap kejahatan kekerasan seksual (pedofilia). Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora. 14(1). 68-73

Salman, O. (2008). Beberapa Aspek sosiologi hukum Cetakan ke-2. Bandung: PT. Alumni

Soekanto, S. (2011). Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Zahra, P. R. (2007). Kekerasan seksual pada anak. ARKHE, Jurnal Ilmiah Psikologi, 12(2) 10-15