PEMANGKASAN HUKUMAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN GENDER DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM

Main Article Content

Shintamy Nesyicha Syahril
Rasji Rasji

Abstract

Corruption is an extraordinary crime that is detrimental to state finances and violates the social and economic rights of the community at large. Cases of corruption in Indonesia are increasing so that penalties are needed that create a deterrent effect for the perpetrators so that they can prevent corruption in the future. However, there is a court decision that reduced criminal penalties for perpetrators of corruption based on gender. If viewed from the perspective of legal philosophy, then there should be justice in the law. Justice according to Aristotle emphasizes the principle of equality and proportionality, while according to Bentham, justice must achieve the greatest happiness for the people. Basically justice is a concept of assessment by giving to anyone according to what is their right, namely by acting proportionally and not violating the law. Based on the judge's consideration, it raises many questions about whether the justice which is the objective of the law has been achieved. If viewed from the perspective of legal philosophy, both from the flow of natural law and utilitarianism, then this decision does not achieve the goal of law. Justice must pay attention to the right to legal protection and the right to equality before the law. However, with the gender bias, justice is not achieved. The decision related to reduced penalties for criminal acts of corruption based on gender has indirectly discriminated against other genders. On the one side, the decision seems to be concerned with the human rights,  but on the other side, it ignores the rights of citizens who have been deprived of them. Judges in making a decision need to understand the concept of justice, so that it will produce a good legal product.

Korupsi merupakan suatu kejahatan luar biasa yang merugikan keuangan negara serta melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Kasus korupsi di Indonesia semakin meningkat sehingga diperlukannya hukuman yang membuat efek jera bagi para pelaku sehingga dapat mencegah tindak pidana korupsi kedepannya. Namun, terdapat putusan pengadilan yang memangkas hukuman pidana pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan gender. Jika dilihat dari perspektif filsafat hukum, maka seharusnya di dalam hukum terdapat suatu keadilan. Keadilan menurut Aristoteles menekankan pada prinsip kesamaan serta proporsionalitas, sedangkan menurut Bentham, keadilan harus mencapai kebahagiaan sebesar-besarnya kepada masyarakat. Pada dasarnya keadilan adalah suatu konsep penilaian dengan memberikan kepada siapapun sesuai dengan apa yang menjadi haknya, yakni dengan bertindak proposional dan tidak melanggar hukum. Atas pertimbangan hakim tersebut, menimbulkan banyak pertanyaan tentang apakah keadilan yang menjadi tujuan hukum tersebut telah tercapai. Jika dilihat dari persperktif filsafat hukum, baik dari aliran hukum alam maupun utilitarianisme, maka putusan ini tidak mencapai tujuan hukum. Keadilan memang harus mempertimbangkan hak perlindungan hukum serta hak perlakuan yang sama di hadapaan hukum. Namun, dengan adanya bias gender tersebut, maka keadilan tidak tercapai. Putusan terkait pemangkasan hukuman terhadap pidana pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan gender tersebut secara tidak langsung telah mendiskriminasi gender lainnya. Putusan tersebut di satu sisi terlihat mementingkan hak asasi manusia yang dimiliki terdakwa, namun di sisi lain justru mengabaikan hak warga negara yang telah dirampas. Hakim dalam membuat suatu putusan perlu memahami konsep keadilan, sehingga akan menghasilkan produk hukum yang baik.

Article Details

Section
Articles

References

Suhariyanto, Budi. (2019). Putusan Pemidanaan Melebihi Tuntutan Dalam Perkara Korupsi Politik. Jurnal Yudisial, Volume 12, (No 1), 40.

Wicipto Setiadi, Wicipto. (2018). Korupsi Di Indonesia (Penyebab, Bahaya, Hambatan Dan Upaya Pemberantasan, Serta Regulasi). Jurnal Legislasi Indonesia, Vol 15, (No.3), 250.

Tiameledau, Meril. (2016). Percobaan Sebagai Alasan Diperingkannya Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Menurut KUHP. Lex Administratum, Vol. IV (No. 3), 161.

Amin, Subhan. (2019). Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Hukum Terhadap Masyarakat. El-Afkar, Vol. 8, (Nomor I), 2.

Ifrani. (2017). Tindak Pidana Korupsi Sebagai Kejahatan Luar Biasa. Al’Adl, Volume IX, (Nomor 3), 321.

Fios, Frederikus. (2012). Keadilan Hukum Jeremy Bentham Dan Relevansinya Bagi Praktik Hukum Kontemporer. Humaniora, Vol.3 (No.1), 302.

Nasution, Bahder Johan, (2014). Kajian Filosofis Tentang Konsep Keadilan Dari Pemikiran Klasik Sampai Pemikiran Modern. Yustisia, Vol. 3, (No.2), 122.

Kurniawan, Moch Ichwan. (2021). Penerapan Asas Persamaan di Hadapan Hukum dalam Praktik Peradilan Pidana (Studi Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor: 221/Pid.B/2019/PN. Bdg). Jurnal Studi Hukum Pidana, Volume 1, (Nomor 1), 37.

Jawahir Gustav Rizal, “Kilas Balik Kasus Jaksa Pinangki, Dari Viral Di Medsos Hingga Keengganan JPU Ajukan Kasasi.”, https:// www. kompas. com/ tren/ read/ 2021/ 07/07/ 200500965/kilas-balik-kasus-jaksa-pinangki-dari-viral-di-medsos-hingga-keengganan-jpu? page=all, diakses pada tanggal 5 Juli 2021.

Rivan Awal Lingga, “Hukuman Jaksa Pinangki Dipotong Dari 10 Tahun Menjadi Empat Tahun”, https:// mediaindonesia. com/politik-dan-hukum/411779/ xxxx , diakses pada 14 Juni 2021.

CNN Indonesia, “Alasan Hakim Potong Vonis Jaksa Pinangki: Punya Anak 4 Tahun” https://www. cnnindonesia. com/ nasional/ 20210615073849-20-654352/alasan-hakim-potong-vonis-jaksa-pinangki-punya-anak-4-tahun, diakses pada tanggal 15 Juni 2021