PENINGKATAN PENGETAHUAN PETERNAK TERHADAP PENYAKIT DAN KEBUNTINGAN KELINCI DI KELOMPOK TERNAK SUMBER REJEKI KOTA KEDIRI

Main Article Content

Mubarak Akbar
Efi Rokhana
Diah Arie

Abstract

Rabbits are easily animal bred in Indonesia. The potential for meat production and reproduction very good. Rabbits can give birth 6-8 times a year with a gestation period of approximately 30 days. Each time giving birth can produced until 8 kit. However, this potential is constrained by the high mortality rate and the decline in the quality of adult rabbit production. Most of the deaths occurred when the rabbit was still young and had not yet been weaned, some occurred when the rabbit was an adult. Sometimes the mated mother also does not give birth, after checking it turns out that the mate was unsuccessful or failed to conceive. The cause of this problem is the low knowledge of breeders about rabbit diseases and the success of pregnancy after mating. The solution that can be given is to provide counseling about the characteristics of sick rabbits, the symptoms experienced and their handling. Farmers are taught how to hold and inject sick rabbits. The second solution is to provide training on how to mate rabbits until they are successful and detect pregnancy rabbits after 12-14 days of mating. So breeders do not need to wait 30 days for re-breeding. The method used is counseling, pretest and post test, mentoring and training for group members and final evaluation. The results of this activity indicate an increase in the knowledge and ability of farmers in the Sumber Rejeki group in Kediri City regarding disease handling and detection of pregnant rabbits.


Kelinci merupakan hewan ternak yang mudah dikembangbiakkan di Indonesia.  Potensi produksi daging dan reproduksi anak yang dihasilkan sangat baik. Kelinci mampu melahirkan sebanyak 6 – 8 kali dalam setahun dengan lama kebuntingan kurang lebih 30 hari. Setiap kali melahirkan jumlah anak yang dihasilkan bisa mencapai 8 ekor per induk.  Namun potensi ini terkendala dengan banyaknya angka kematian dan penurunan kualitas produksi kelinci dewasa. Kematian banyak terjadi ketika kelinci masih kecil dan belum lepas sapih sebagian terjadi ketika kelinci sudah dewasa. Kadang induk yang sudah dikawinkan juga tidak kunjung melahirkan, setelah dicek ternyata perkawinan tidak berhasil atau gagal bunting. Penyebab masalah ini  adalah rendahnya pengetahuan peternak terhadap penyakit kelinci dan keberhasilan bunting pasca dikawinkan. Solusi yang dapat diberikan adalah dengan memberikan penyuluhan mengenai ciri ciri ternak sakit, gejala yang dialami dan penangannnya. Peternak diajari cara memegang dan menyuntik kelinci yang sakit. Solusi kedua adalah dengan memberikan  pelatihan mengenai cara mengawinkan kelinci sampai berhasil dan mendeteksi kebuntingan kelinci setelah 12 – 14 hari dikawinkan. Sehingga peternak tidak perlu menunggu 30 hari lamanya untuk dikawinkan ulang. Metode yang digunakan dalam kegiatan ini adalah penyuluhan, adanya pre test dan post test, pendampingan dan pelatihan pada anggota kelompok dan evaluasi akhir. Hasil kegiatan ini menunjukkan peningkatan pengetahuan dan kemampuan peternak di kelompok ternak Sumber Rejeki Kota Kediri terkait penanganan penyakit dan deteksi kelinci bunting. Kegiatan ini penting untuk meningkatkan kesejahteraan peternak kelinci dikemudian hari.


Article Details

Section
Articles

References

Bahar, S. 2018. Pedoman Teknologi Budidaya Kelinci Di Perkotaan. BPTP. Jakarta

Brahmantiyo B, Raharjo Y.C, Prasetyo L.H. 2017. Production Performance Of Hycole, New Zealand White Rabbits And Its Reciprocal. JITV 22(1): 16-23. Doi: Http://Dx.Doi.Org/10.14334/Jitv.V22i1.1590

Brahmantiyo, B , Setiawan, M. A., Dan M. Yamin. 2014. Sifat Fisik Dan Kimia Daging Kelinci Rex Dan Lokal (Oryctolagus Cuniculus). Jurnal Peternakan Indonesia. 16 (1) : 1 – 7. DOI: https://doi.org/10.25077/jpi.16.1.1-7.2014

Utami, P., Samsudewa, D., dan Lestari C.M.S., 2019. Pengaruh Perbedaan Sistem Perkawinan Kelinci Terhadap Lama Bunting dan Litter Size Kelinci New Zealand White. Jurnal Sain Peternakan Indonesia. 14 (1): 70 – 74. DOI: https://doi.org/10.31186/jspi.id.14.1.70-74