FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN PERMASALAHAN RELOKASI BANTARAN SUNGAI (STUDI KASUS: KAMPUNG PULO KE RUSUNAWA JATINEGARA BARAT)

Main Article Content

Rani Chien Silalahi

Abstract

Salah satu bantaran sungai yang dijadikan permukiman oleh Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) adalah bantaran Sungai Ciliwung. Menurut sumber Dinas Perumahan dan Gedung DKI, jumlah permukiman di bantaran Sungai Ciliwung adalah sebanyak 34.051 KK. Jumlah yang besar mengakibatkan kondisi yang semakin kumuh di bantaran Sungai Ciliwung, menyebabkan penyempitan ekstrim pada DAS. Dalam penanganan bencana banjir Sungai Ciliwung Pemerintah Kota DKI Jakarta mengeluarkan Program Penataan Sungai Ciliwung yaitu Kerangka Kebijakan Permukiman Kembali (KKPK) relokasi hunian, normalisasi sungai, penataan kawasan permukiman dan permukiman kembali. Saat relokasi, terjadi bentrokan fisik warga Kampung Pulo dan Satpol PP yang melakukan pembongkaran hunian di sepanjang bantaran Sungai Ciliwung. Bentrokan fisik menyebabkan hambatan relokasi, pembakaran alat berat pemerintah, korban luka kedua pihak. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Penelitian ini membatasi lingkup penelitian di kawasan DAS Ciliwung yaitu Kampung Pulo. Tujuan penelitian untuk mengetahui persepsi masyarakat menolak kebijakan relokasi, mengetahui persepsi masyarakat menerima kebijakan relokasi, permasalahan yang menjadi dasar protes masyarakat terhadap relokasi, mengetahui tingkat keberhasilan relokasi bantaran sungai Ciliwung di Kampung Pulo ke Rusunawa Jatinegara Barat. Selain meneliti dari persepsi masyarakat Kampung Pulo dan warga Rusunawa Jatinegara Barat, penelitian ini juga meneliti persepsi dari pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Dinas Perumahan & Gedung Pemda DKI/Pengelola Rusunawa Jatinegara Barat, serta Lembaga Swadaya Masyarakat Ciliwung Merdeka. Dari hasil wawancara mendalam dengan masyarakat serta LSM terkait, penolakan masyarakat Kampung Pulo dilatarbelakangi kehilangan hak milik atas tanah dan bangunan, pekerjaan, status sosial, komunikasi sosial antar warga, kehilangan akses umum, ketidakcocokan tinggal di rusun, serta faktor paling dominan adalah kurangnya sosialisasi pemerintah. Alasan masyarakat akhirnya menerima relokasi adalah karena tidak memiliki pilihan lain. Dasar bentrokan fisik yang terjadi antara lain adanya tuntutan ganti rugi atas kerugian tanah maupun bangunan yang tidak dipenuhi oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Karena menurut pemerintah, tanah Kampung Pulo adalah sepenuhnya milik Pemprov DKI Jakarta, sehingga tidak ada dasar untuk mengganti rugi apapun ke masyarakat. Kompensasi yang diberikan pemerintah adalah bantuan dalam bentuk Rusunawa. Walaupun pada akhirnya seluruh warga dapat direlokasi, relokasi Kampung Pulo ke Rusunawa Jatinegara Barat belum bisa dikatakan berhasil, karena dari awal pelaksanaan relokasi sudah mendapatkan penolakan bahkan kerusuhan, serta jumlah masyarakat yang menolak untuk direlokasi lebih banyak daripada yang menerima relokasi.

Article Details

Section
Articles

References

Adi, W. (2016, April 22). Dulu Ikon Banjir, Kini Kampung Pulo Bebas Banjir. Kompas.

Diunduh dari

http://megapolitan.kompas.com/read/2016/04/22/07170501/Dulu.Ikon.Banjir.Kini.Kam

pung.Pulo.Bebas.Banjir

Asian Development Bank. (2002). Handbook on resettlement: A guide to good practice.

Manila, Phillipines: ADB

Belarminus, R. (2016, Maret 8). Setelah dinormalisasi, begini situasi kampung pulo saat banjir.

Kompas. Diunduh dari

http://megapolitan.kompas.com/read/2016/03/08/09511521/Setelah.Dinormalisasi.Begin

i.Situasi.Kampung.Pulo.Saat.Banjir.

Oliver, A., & Smith. (1991). Successes and failures in post disaster resettlemet disaster. The

Journal of Disaster Studies and Management,.15(1).

Cernea, M, M. (1998, October). Impoverishment risk, risk management, and reconstruction: A

model of population displacement and resettlement. In M. M. Cernea (Chair),

Hydropower and sustainable development. Symposium conducted at the UN

Washington, DC.

Dewi, A., Ratna, A., Syahrani. (2014). Persepsi Masyarakat Terhadap Kebijakan Relokasi

Penduduk Bantaran Sungai Karangmumus Samarinda Kalimantan Timur. Surabaya.

Pembangunan Rusunawa dan Rusunami di DKI Jakarta. Dinas Perumahan Provinsi DKI Jakarta

Tahun Anggaran (2006)

Kementerian Sosial Republik Indonesia tentang Rencana Penanganan Daerah Aliran Sungai

Ciliwung.

Laras, Hartono (2012). Rencana Penanganan DAS Ciliwung, Kementerian Sosial Republik

Indonesia

Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Susun Sederhana Bertingkat Tinggi. Peraturan Menteri

Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2007 ( 2007 )

Pembangunan Rumah Susun Sederhana. Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 27 Tahun

(2009)

Rencana Tata Ruang Wilayah 2030. Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 1 Tahun (2012)

Pedoman Pemberian Santunan Kepada Penggarap Tanah Negara. Peraturan Gubernur DKI

Jakarta Nomor 190 (2014)

Perumahan dan Kawasan Permukiman. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

( 2011)

Rencana Tata Ruang Wilayah 2030. Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 1 Tahun (2012)

Sungai.Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun (2011)

Susanto, Y. (2016). Dampak Sosial Ekonomi Masyarakat Bantaran Sungai Pasca Permukiman

Kembali ke Rusunawa. Jakarta.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rumah

Susun) pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1985.